Fenny Ambaratih, Batam
Perjalanan hidup itu ibarat mengarungi lautan. Kadang bisa berlayar dengan tenang, kadang juga bisa terancam oleh hantaman ombak yang menerjang. Adalah Rida K Liamsi, seorang pemuda Melayu dari Kampung Sekanak yang akhirnya berhasil menaklukkan ombak kehidupannya.
Lewat buku memoar dan kumpulan puisi, ia menceritakan perjuangan dan asanya. Musik bernuansa melayu mengiring lembut di seluruh penjuru Patros Cafe, Harbour Bay tadi malam. Puluhan set ‘round table’ terhampar luas bagi pengunjung yang akan datang diperhelatan malam apresiasi dan baca puisi bersama Rose dan Ombak Sekanak, dua buku yang diluncurkan oleh Rida K Liamsi tersebut. Disuguhi pemandangan laut, samar-samar terdengar deburan ombak yang menggulung di antara iringan musik.
Pengunjung mulai ramai. Acara yang direncanakan mulai pukul 19.00 WIB ini dihadiri sejumlah pejabat, tokoh masyarakat, budayawan, seniman, teman semasa kecil Rida K Liamsi, serta sejumlah unsur Muspida Batam dan Kepri. Di antara pejabat yang hadir yaitu Gubernur Kepri H Muhammad Sani dan Wakil Gubernur Kepri H Soerya Respationo.
Akhirnya acara pun dimulai pada pukul 19.40 WIB. MC pun mulai memandu acara dengan suasana yang santai namun tetap terkesan agak formal. Sebagai pembukaan, tokoh budayawan Kepri, Nyat Kadir pun memberi kata sambutan. Dengan setelan batik melayu ditambah dengan jaket bewarna kuning pupus ia pun dengan yakin melangkah kearah ke pentas.
“Untuk pidato kali ini saya sengaja dibatasi 10 menit saja,” ujarnya tersenyum tipis sembari mengeluarkan lipatan kertas dari sakunya. “Saya sangat mengenal Rida sudah sejak lama, dia adalah putra terbaik Kepri yang gigih dan sukses membangun bisnis media. Dan buku memoar yang beliau tulis ini sangat sedap dibaca dan mudah dipahami oleh semua kalangan, bahkan orang desa sekalipun,” tuturnya dengan semangat.
Nyat Kadir juga menceritakan bagaimana ia pernah terlibat dalam kegiatan dengan Rida K Liamsi. “Ia begitu punya ambisi yang tinggi dan sulit dicari tandingannya di Sumatera,” tambahnya. Di akhir pembukaan, ia sempat membacakan sajak yang berjudul ‘Hang Rida di Negeri Hang Tuah’ yang kemudian disambut riuh oleh para hadirin.
Kata-kata sambutan yang tak kalah hebatnya dilontarkan oleh Gubernur Kepri H Muhammad Sani. “Rida is my best friend. Setiap kali bertemu, ia selalu memberikan pemikiran-pemikiran kreatif,” ujarnya. Ia mencontohkan salah satu kreativitas Rida dalam penamaan kota Tanjungpinang dengan slogan Kota Bahari yang kemudian menjadi Kota Bistari. Sani juga menceritakan tentang kekagumannya pada sosok teman yang sudah ia kenal sejak puluhan tahun lalu itu. “Semoga akan muncul Rida satu, Rida dua dan Rida lainya,” ujarnya yang ditutup dengan membacakan puisi yang berisikan nasihat untuk pengembangan diri.
Acara dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter tentang kisah kehidupan Rida K Liamsi yang merupakan sinopsis buku memoarnya yang berjudul ‘Ombak Sekanak’. ‘Ombak Sekanak’ yang merupakan sebuah memoar Rida K Liamsi, CEO Riau Pos. Setelah film singkat tersebut diputar, Rida pun muncul di depan hadirin. “Saya mengulur waktu hingga 10 tahun untuk menyelesaikan buku ini karena terlalu banyak yang harus saya edit. Namun saya sangat bersyukur karena bisa menyelesaikan buku ini di hari ultah saya yang ke 70 tahun,” ujarnya dengan wajah penuh rasa syukur. Ia berjanji akan akan menerbitkan lebih banyak buku tersebut untuk dibagi-bagikan sebagai oleh-oleh atau kenangan bagi para hadirin.
Buku yang ditulis dengan bentuk novel ini menceritakan tentang lika liku kehidupannya yang ia tulis awalnya dari sebuah kamar asrama mahasiswa di Northridge,pinggiran Los Angeles. Saat itu ia sedang menjalani studi banding (commonity news) di negara Paman Sam tersebut. Karena sudah berada di penghujung milenium, tiba-tiba ia sudah merasa sangat tua di usianya yang 56 tahun.Walaupun sudah sering keliling Eropa. Ia sangat merindukan keluarga. Kesepian dan tidak ada teman bicara.
Ia ingat akan kampung halaman dan mulai mencatat ulang semua kembara. Bagaikan kembara ombak laut. Rida berasal dari Desa Bakong yang juga disebut sebagai Desa Sekanak yang memiliki arti ‘tak terkalahkan’ karena sangat mistis,ekslusif, dan nyaris primitif. Cerita pun mengalir dengan ringan pengalaman unik saat membanting teripang agar perahu joget tidak jadi berlayar pun menjadikan kisahnya sangat bewarna.
Rida merupakan anak dari seorang dai pengikut Muhammadiyah, yakni Abdul Kadir bin Samad. Seorang Qari yang suaranya sangat merdu yang sekaligus adalah petugas penjaga mercusuar. Namun karena sifatnya yang tegas dan lugas. Ia tidak disukai Belanda, dan akhirnya dipecat. Abdul pun pindah ke Bakong dengan alasan untuk meluaskan dakwah. Di sanalah ia membangun banyak surau dan dikenal sebagai dai yang disegani.
Memoar ini juga dibumbui dengan kisah sedih saat ayahanda Rida meninggal saat ia berlayar. Saat ia melego jangkar kapal ada orang yang mengabarinya. Dengan perasaan lemas, Rida muda mengingat semua kenangan tentang ayahnya. Sejak itu, ia selalu berlutut di pusara ayahnya sambil menyesali ketidakmampuannya memberikan kasih sayang yang pada orang yang telah membesarkannya dengan kasih sayang.
Rida awalnya hanyalah kelasi kapal. Namun demikian, ia memiliki bakat menulis. Rida suka sekali menulis puisi dan cerpen. Ia sering mengirimkan karya-karyanya ke surat kabar terbitan lokal, tepatnya koran di Tanjungpinang yang kini menjadi Ibukota Provinsi Kepri. Tidak bisa dilukiskan betapa senangnya Rida muda ketika melihat karyanya dibaca orang ramai.
Karena karyanya sering muncul di surat kabar, Rida ingin beralih profesi menjadi jurnalis. Ada kesenangan tersendiri saat tulisannya dibaca banyak orang. Awalnya, wartawan adalah pekerjaan sambilan karena ia tetap menjalani pekerjaan utamanya sebagai ABK. Baginya saat itu, menekuni dua pekerjaan sekaligus sangat membutuhkan ketekunan. Hingga pada akhinya kerja kerasnya membuahkan hasil. Pada tahun 1978, Rida dipercaya sebagai koresponden majalah Tempo di Tanjungpinang.
Rida diperlukan karena posisi Kepri yang saat itu menjadi salah satu gudang berita soal penyelundupan serta pengerukan harta karun di laut Kepri. Lalu dia diberi kesempatan ke Jakarta untuk menekuni dunia jurnalistik yang digembleng Tempo. Usai itu, Rida dihadapkan sebuah pilihan yang sangat berat. Dia ditawari menjadi koresponden berstatus tetap dengan konsekuensi harus meninggalkan profesinya yang saat itu sudah menjadi guru.
Meninggalkan profesi guru bukan hal yang gampang. Saat itu Rida berusia 35 tahun dan sudah dikaruniai satu orang anak. Orangtua dan keluarga besarnya sempat memprotes pilihan Rida yang harus meninggalkan pekerjaannya sebagai guru.
Dari jurnalis media bergengsi setara Tempo, lagi-lagi Rida kembali harus dihadapkan dengan pilihan pada tahun 1987. Ia mendapatkan tawaran untuk menjadi wartawan media lokal yang dikelola Jawa Pos. Saat itu Dahlan Iskan yang mengajaknya untuk membuat koran di Riau.
Rida akhirnya tertarik pada ajakan tersebut. Pria kelahiran 17 Juli 1943 ini mengaku awalnya tidaklah mudah mengibarkan Riau Pos. Berbagai tantangan pun ia hadapi. Contohnya beberapa agen di Pekanbaru banyak yang keberatan dititipi koran Riau Pos. Alasannya, koran ini hanya bisa terbit sebentar saja. Namun, berkat keuletan, kegigihan, dan ketekunannya, pada tahun ketiga Riau Pos semakin mantap dan berhasil memberikan kepercayaan pada masyarakat Riau. Ia memperkenalkan motto “Koranmu, Koranku, dan Koran Kita”. Tujuannya, Riau Pos bisa menjadi kebanggaan orang Riau. Riau Pos Group kini mempunyai bisnis media di Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Nangroe Aceh Darussalam. Juga punya beberapa TV Lokal.
Dalam malam apresiasi tersebut Rida juga memperkenalkan buku puisi terbarunya yang berjudul ‘Rose selected Poem’ yang berisikan kumpulan puisi-puisi pilihan yang ditulis dalam dwibahasa; Indonesia-Inggris. Acara kemudian dilanjutkan oleh pembacaan puisi 6 orang sastrawan kondang Kepri yang tidak lain adalah Husnizar Hood, Hasan Aspahani, Ramon Damora, dan Rekaveni.
Ramon yang kesehariaannya menjabat Pimpinan Umum Posmetro Batam, tampil dengan gaya khasnya. Aksi panggung Ramon yang kadang tak terduga dan meletup-letup mampu diimbangi Yose, Redaktur Pelaksana (Redpel) Batam Pos lewat petikan guitarnya.
Namun, kejutan tak terduga dari Oktavio Bintana . Tidak seperti sastrawan lain yang tampil sebelumnya, anak ketiga Rida K Liamsi ini membacakan puisi dari atas boat pancung yang merapat di pelantar De’Patros Cafe. Aksi inipun langsung mendapat aplaus dari undangan yang hadir.
Tidak hanya itu, dalam kesempatan ini Oktavio mewakili saudara-saudaranya memberikan testimoni atas buku ‘Ombak Sekanak Sebuah Memoar’. “Dari buku inilah baru saya tau betapa berat dan pedihnya perjuangan bapak saya. Ia adalah seorang best father. Ini juga yang membuat saya sadar dan berubah,” kata Vio sambil meneteskan air mata. Acara peluncuran buku akhirnya ditutup dengan penampilan Rida K Liamsi yang membawakan sejumlah karya puisi terbaiknya salah satunya Ombak Sekanak. (*)