Mendapatkan kesempatan beasiswa melanjutkan pendidikan S2 di salah satu Universitas ternama di Amerika Serikat, USA bukan hal yang mudah, apalagi bisa menjadi pengajar atau dosen di sana. Tidak perlu kepandaian atau kemampuan yang tinggi. Simpel, yang diperlukan hanyalah kemauan, usaha, dan doa.
Puput Julianti Damanik, Medan
Setidaknya, hal itulah yang dimiliki Elwin Tobing (45). Anak dari pasangan mantan anggota DPRD-GR tahun 1960, M Kladius Tobing dan Gusta Panjaitan ini bisa menjadi Profesesor Ilmu Ekonomi di Azusa Pacific University California, USA berkat keseriusan dalam menggapai impiannya dan tentunya berkat dari Tuhan.
Saat ditemui Sumut Pos usai memberikan kuliah umum di USU beberapa hari lalu, Elwin sangat lepas menceritakan kisahnya. Pengetahuannya mengenai dunia ekonomi pendidikan cukup tinggi. Ini terbukti dari pengalamannya yang mendapatkan beasiswa S2 ke Northeastern University di Boston usai menyelesaikan S1 jurusan Statistik di Institut Pertanian Bogor (IPB). Setelah itu, dia pun meraih S3 bidang Ekomomi di University of Lowa.
“Saya ke AS sejak 1995 untuk melanjutkan pendidikan S2 bidang Perencanaan dan Kebijakan Ekonomi di Northeastern University di Boston. Di sana saya belajar bahasa Inggris karena kemampuan berbahasa Inggris saya pun pas-pasan. Kemudian saya lanjut S3 dan pada tahun 2006 akhirnya saya menyelesaikan pendidikan doktor di bidang Ekonomi di Universitas of Lowa,” ujarnya.
Hal itu juga tidak mudah, setelah 2 tahun ia tinggal di negara adidaya tersebut, terjadi krisis ekonomi Amerika pada 1997. Tak hanya itu, setelah lulus master dan mendaftar doctor ada 400 orang yang juga mendaftar di tempat yang sama dan yang akan dipilih hanya 15 orang. Namun akhirnya Elwin terpilih menjadi satu di antaranya.
“Krisis ekonomi AS, akhirnya saya pun kerja di sana, dengan modal master jadi tidak susah. Saya sempat kerja menjadi analis di American Internasional Group. Nah, yang paling susah, ketika saya mencoba doktor, ada sebanyak 400 orang yang mendaftar dan itu dari seluruh dunia. Hanya terpilih 15 orang dan saya masuk, setelah setengah tahun kuliah disaring lagi menjadi 4 orang dan saya terpilih,” katanya.
Tambah Elwin, hal ini merupakan pengalaman terhebat baginya. Terlebih, saat ia lulus doktor dan memasukkan lamaran ke 200 Universitas, akhirnya sebanyak 7 universitas memanggilnya dan diterima di Azusa Pacific University, California, USA. “Masing-masing orang punya keyakinan yang lain. Nah, kalau kekuatan sendiri saya tidak mampu sampai sini, ini kekuatan dari Tuhan, Yang Berkuasa yang bisa ini, kalau kemampuan hanya sedikit saja. Saya rasa kalau ada doktor lulusan AS balik ke Indonesia itu bukan karena ia tak punya kemampuan, cuma kurang berkat Tuhan mungkin,” ujar suami Rosida Nababan ini.
Tak hanya itu, selama 18 tahun tinggal di Amerika Serikat (AS) ternyata Elwin pun tidak lupa dengan negaranya, khususnya pada kampung halamannya, Sumatera Utara (Sumut). Keahliannya dalam dunia pendidikan dan kemampuannya sebagai peneliti mendorongnya melihat apa kelemahan ekonomi pendidikan di Indonesia, khususnya Sumut. Ia pun semakin terdorong untuk membangun negaranya terkhusus daerah asalnya.
Bahkan, secara terbuka, ia ceritakan semua alasan kembali ke Medan, karena rencananya dia akan tinggal di Sumut dan meninggalkan istri dan anaknya Erica yang berusia 7 tahun dan Mathias usia 1,5 tahun. Simpel, ia hanya menjawab, karena usia masih produktif dan ingin memberikan konstribusi demi kemajuan negara.
“Yah, saya kemari memang memiliki tujuan tersendiri dan itu demi kemajuan Sumut. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya saya di sana sudah nyaman, tidak pakai sopir, tidak ada kemacetan, bisa memprediksi sendiri mau ke mana saja, anak kuliah bagus. Tapi, mau sampai kapan seperti itu, selagi usia masih muda dan saya memang datang memiliki perjuangan tertentu. Saya punya ide besar dan saya tidak mau kalau ide ini orang yang melaksanakannya. Kalau orang yang mengerjakannya berarti saya tidak serius nanti,” ujar pria yang lahir di Tarutung ini.
Proyeksinya pun tak tanggung-tanggung, Elwin memiliki list pencapaiannya. Di antaranya, 5 tahun di Sumut harus ada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang menyebar di daerah. Ia bertekad untuk merestrukturisasi pendidikan tinggi agar geliat pembangunan dan ekonomi dapat meningkat.
“Khususnya di Sumatera Utara, paling tidak tiap lima tahun sekali bertambah satu perguruan tinggi negeri di daerah. Karena untuk peningkatan kualitas kehidupan harus dilihat juga gimana di daerahnya. pembangunan daerah yang unggul akan menjadikan pembangunan nasional yang bagus. Tidak pernah nasionalnya dulu baru ke daerah,” ujarnya.
Untuk mewujudkan keinginannya, sebelumnya, pria yang juga mendapatkan penghargaan sebagai peneliti terbaik tahun 2012/2013 di Azusa pacific University ini mendirikan organisasi The Indonesian Institute (TII). Namun tak puas, ia kembali ke Sumut dengan target baru. Bahkan Sarjana Ilmu Statistik di IPB ini siap meninggalkan AS selama 5 tahun untuk Sumut.
Pria berkacamata ini juga berpikir, salah satu cara agar pertumbuhan perguruan tinggi di daerah bisa cepat dilakukan, diperlukan perubahan undang-undang pendidikan tinggi, izin mendirikan PT dan untuk mengubah undang-undang, maka perlu kesamaan visi dan misi di anggota dewan dalam melihat masalah tersebut.
“Nah, untuk mengembangkan ide tersebut menjadi kenyataan, kita harus ikut berjuang didalamnya. Kalau kita punya ide dan kita titip ide kita sama orang lain, sama saja kita tidak seriuskan, makanya saya sekarang rela meninggalkan kedua anak saya, juga istri demi itu dan saya harus berusaha terus dan harus bisa,” ujarnya.
Penulis buku The Indonesia Dream ini pun tak segan mengatakan ia akan ikut mencalonkan diri menjadi Calon anggota DPR dan ia akan menjadikan isu masalah pendidikan tinggi ini menjadi hal yang harus diperjuangkan. Mengingat, pertumbuhan penduduk terus meningkat. Angka generasi muda yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi juga meningkat.
“Kalau di daerah ada perguruan tinggi yang berkualitas, minimal sedikit di bawah USU saja, maka daerah itu akan berkembang. Akan terjadi peningkatan kualitas pembangunan. Pertumbuhan ekonomi juga kian maju,” ujarnya.
Dia mencontohkan, perkembangan ekonomi yang begitu pesat di Korea Selatan karena pertumbuhan perguruan tinggi negeri yang mampu menyerap generasi muda. “Kuantitas penduduk diimbangi dengan serapan kualitas. Korea Selatan misalnya, 30 tahun yang lalu, mereka sama dengan kita. Tapi, sekarang, pendapatan per kapita mereka saja 13 kalilipat dibanding kita,” ucapnya.
Tak hanya itu, ia juga terus memberikan edukasi mengenai pendidikan model AS dan Korea Selatan kepada para mahasiswa dan pemerintah. Lantaran, di negara tersebut, jumlah penduduk 50 jutaan jiwa, namun memiliki 135 perguruan tinggi negeri dan dua di antaranya berkualitas internasional. “Kita di Sumut penduduk 13 jutaan jiwa, perguruan tinggi negeri yang ada tetap yang ada juga,” ujarnya.
Apa yang dicita-citakan menantu dari Dewan Gereja se-Dunia, Pdt DR SAE Nababan ini juga mendapat dukungan penuh dari pihak universitas tempat ia bekerja. “Awalnya saya sempat bingung, karena saya juga harus mengajar dan juga harus ke Sumut untuk misi saya ini, saya juga bingung kalau saya tidak mengajar, gaji saya tidak ada, namun setelah saya jelaskan akhirnya pihak universitas mendukung dan gaji saya tetap keluar,” ujarnya.
Sementara itu, Elwin juga tampak lesuh. Kesempatan kembali ke Sumut dalam waktu 11 hari tetap tak dapat ia gunakan untuk menjenguk keluarganya di Tarutung. “Itulah yah, perjuangan ini sampai ketemu keluarga saja tak sempat. Padahal, saya sudah berada di Samosir dan Dairi tapi tak bisa ke sana,” ujarnya.
Begitupun Elwin tetap bersahaja, ia tetap bersemangat menceritakan kisahnya. Saat ini, Elwin juga sesekali menulis di media. “Saya juga menulis, saya memang suka menulis dari dulu SMP kelas 1, saya menulis tentang bola dan saya belum punya TV, berita bola itu saya dengar melalui omongan orang dan koran dan saya kirim ke media lokal di Medan,” ujarnya sembari tertawa mengenang.(*)