Jelang tutup tahun 2013, Indonesia dihebohkan dengan penangkapan terduga teroris kelompok Fadli Sadama dari Medan. Tiga orang yang merupakan saudara Fadli langsung diangkut ke Jakarta. Nah seperti apa sebenarnya jaringan kelompok Fadli Sadama ini?
Fadli Sadama, gembong kelompok teroris yang sempat kabur dari Rutan Tanjunggusta, Medan, ketika terjadi kerusuhan dan akhirnya ditangkap kembali di Malaysia, konon merupakan seorang pria pendiam dan memiliki jaringan di kawasan pesisir pantai sebelah utara Kota Medan.
Dari informasi diperoleh, salah satu perkampungan yang dulunya sering disinggahinya adalah Pajak Baru Ujung Banting Kelurahan Belawann
Bahagia Kecamatan Medan Belawan.
Untuk memasuki wilayah pinggiran pantai ini tidaklah mudah karena warga di sana kerap curiga kepada setiap pendatang yang tak dikenal memasuki perkampungan mereka. Siang itu, beberapa waktu lalu, sebelum memasuki pemukiman kumuh nelayan pesisir itu, Sumut Pos lebih dulu menyinggahi sebuah warung kopi di Pasar Kapuas, Belawan.
Setelah memesan segelas kopi panas, seorang narasumber pun coba dihubungi. Bukan tanpa alasan, keinginan untuk menelusuri jejak kelompok terorisme ini muncul pascaditangkapnya 3 pria terduga teroris di kawasan Marelan dan Deliserdang oleh tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror, beberapa hari lalu.
“Sekitar 10 menit lagi ya bos, saya masih dalam perjalanan. Tunggu saja dulu di warung itu,” sebut seorang narasumber dari seberang telepon selular, Rabu (18/12) lalu.
Sambil menghisap sebatang rokok dan menikmati tegukan kopi yang tinggal tersisa setengah gelas lagi, narasumber yang dinantikan itu akhirnya tiba. Usai berbincang-bincang, iapun lalu menghubungi temannya yang akan dikenalkan dan membawa Sumut Pos ke perkampungan tersebut.
Tidak berapa lama pria itu pun datang. Setelah dikenalkan kami lalu beranjak berboncengan naik sepeda motor menuju ke kawasan Pajak Baru Ujung Banting, Belawan. Di dalam perjalanan kami melewati sebuah pasar tradisional dengan badan jalan yang digenangi air. Persis di sebelah pasar tradisional kumuh itu, tampak areal kuburan Taman Makam Pahlawan.
“Kondisi jalan disini seperti ini, jarang kering. Kalau genangan air hujan, sisa air laut pasang pun terkadang membuat jalanan becek,” ujar pria bertubuh kurus itu.
Sekitar lebih dari setengah kilometer sepeda motor yang kami kenderai berbelok ke kiri, di sisi kanan terlihat plang bertuliskan Jl Belanak. Ya, rata-rata sebutan jalan di kawasan ini menggunakan nama-nama ikan sesuai dengan kondisi daerahnya yang berada di pinggiran pantai.
Perkampungan yang lebih dikenal dengan sebutan Ujung Banting adalah sebutan bagi pemukiman masyarakat yang berada di wilayah paling sudut kawasan Pajak Baru, Belawan. Pemukiman ini persis di pinggiran laut dengan puluhan tangkahan kecil milik masyarakat setempat dan pengusaha perikanan.
Sepintas pinggiran perairan yang membentang dan berbatasan langsung dengan Selat Malaka ini hanya terlihat biasa dan disibukan oleh aktivitas nelayan. Jadi tidak heran jika praktik-praktik ilegal di pesisir utara Kota Medan ini tidak begitu terlihat.
“Kita nanti berhenti di warung kopi di depan sana karena sebagian warga di tempat ini sering nongkrong di warung itu, cocoklah untuk cari-cari informasi. Pastinya, di sini tidak semua warga bermata pencarian sebagai nelayan karena ada juga berprofesi sebagai pedagang ikan dan lainnya,” kata dia.
Persis tak jauh dari warung kami pun berhenti. Seorang pria separuh baya berkulit hitam dari atas warung kopi panggung berlantai papan itu menyapa pria kenalan Sumut Pos sambil mengangkat salah satu tangannya.”Kalau di sini jangan kaku, biasa saja biar mereka tidak curiga,” bisiknya sembari memarkirkan sepeda motor.
Di warung berada di depan teras rumah pemiliknya itu kami memesan kopi dan meminta wanita pengelola warung untuk membuat dua gelas kopi panas lagi untuk pria yang lebih dulu berada di warung tersebut.
Awalnya, kami sempat bingung harus memulai pembicaraan dari mana. Untungnya, di atas meja terletak sebuah koran kriminal terbitan Medan dan di halaman depannya terdapat berita penangkapan, Thomas Hasibuan, Ayat Hasibuan, dan Fahrur Rozi Lubis tiga terduga teroris oleh Densus 88 Anti Teror di Marelan.
“Ini berita penangkapan yang di Marelan kemarin. Mungkin ini kawan-kawannya si Abdul Gani dan Pautan orang sini yang ditangkap waktu di Dolok Masihul, Serdang Bedagai (kasus pada 2010 lalu, Red),” kata pria berkulit gelap ini.
Warga di sekitar perkampungan ini sepertinya terus mengikuti perkembangan lewat media soal perburu teroris oleh Tim Densus. Meski demikian, mereka tidak terlalu peduli dan tak terusik dengan aktivitas jaringan kelompok ini.
“Mereka melakukan kejahatan di luar dari kampung ini. Kalau di sini mereka baik, sopan malah ikut menjaga keamanan di sekitar kampung. Istri-istrinya pun berbusana sopan dan memakai cadar. Contohnya, Pautan yang saat ini masih di penjara Tanjunggusta karena terlibat kasus perampokan CIMB Niaga,” sambungnya.
Pembicaraan soal kelompok teroris kian menarik saat seorang pria warga setempat mampir dan duduk bersama kami. Mendengar pembahasan soal terorisme, dia pun langsung nimbrung dan ikut berkomentar.
Sedikit demi sedikit informasi mulai terkumpul dari celotehan warga di warung kopi. Bahkan, yang lebih menarik warga menyebutkan pernah melihat Fadli Sadama gembong teroris berkunjung ke perkampungan mereka.
“Fadli Sadama, itu tinggal di Sei Mati. Sebelum terjadi perampokan Bank CIMB Niaga Medan dia pernah beberapa kali datang ke sini. Kabarnya dia (Fadli Sadama), Dedi, Rahmad dan Yusuf yang ditembak mati di Dolok Masihul satu pengajian,” ucapnya.
Ya, Dedi, Rahmad dan Yusuf merupakan tiga dari sembilan warga Belawan yang tewas dalam baku tembak di Dolok Masihul Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai). Mereka dikepung petugas di areal perkebunan karena terlibat dugaan berbagai perampokan bersenjata salah satunya Bank CIMB Niaga Cabang Aksara, Medan.
Tidak hanya itu, mereka termasuk di antaranya Abdul Gani dan Pautan, juga terlibat dalam kasus penyerangan Mapolsek Hamparan Perak, yang menewaskan 3 orang anggota polisi saat sedang bertugas dan berada di pos SPK (Sentra Pelayanan Kepolisian).
Meski mengaku tidak tahu pasti bentuk perkumpulan dan sistem pengajiannya seperti apa, namun jaringan kelompok ini sering bepergian meninggalkan anak, istri, serta keluarganya di rumah selama berhari-hari.
“Mereka tak pernah menggelar pengajian di kampung ini, tapi sesekali terkadang mereka pergi keluar kota alasannya ikut pengajian. Kalau pekerjaan mereka umumnya adalah pedagang ikan di Gabion, Belawan,” tuturnya.
Profesi sebagai pedagang ikan dengan keuntungan pas-pasan, tidak membuat warga begitu peduli terhadap kehidupan ekonomi keluarga para pelaku yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan penghasilan para pedagang ikan pada umumnya.
“Kondisi kehidupan mereka memang berbeda, hanya saja tipe warga di sini tidak begitu mau peduli sama urusan orang lain. Apalagi, mereka baik dan suka membantu sama orang-orang susah di kampung ini, itu yang buat warga segan,” ungkapnya.
Saat asyik berbincang, seorang pria yang tak lain adalah orangtua kandung Pautan menyinggahi warung tempat kami berkumpul. Pria yang akrab disapa, Agam ini berusia sekitar 50-an tahun. Di warung kopi yang cuma tersedia dua meja panjang ini, Agam pun mulai buka mulut. (bersambung/rbb)