Pasca dipindahkannya pedagang buku dari Lapangan Merdeka ke Jalan Pegadaian, ratusan pedagang buku bekas tadi belum merasakan apa yang disebut keuntungan.
Pasalnya, omset yang mereka raih kini ternyata belum mampu menutupi kerugian yang diakibatkan dari proses pemindahan yang dilaksanakan pada September 2013, yang ternyata menimbulkan persoalan baru yang membelit mereka hingga kini.
Betapa tidak, ketika pembeli tak kunjung datangn para pedagang tadi tetap harus memenuhi kebutuhan keluarganya. Salah satu cara yang harus dilakukan adalah menempuh jalan pintas dengan meminjam “uang panas” (pinjaman ke rentenir, Red).
Seorang wanita yang mengaku Boru Napitupulu (55) bersama rekannya, Ilham (45) adalah dua orang pedagang buku yang terpaksa melakukan hal itu.
Saat ditemui Sumut Pos, Minggu (12/1), mereka terlihat duduk santai sembari mengobrol di depan kios bukunya. Setiap kali mobil lewat di depan kiosnya yang berada di ujung Jalan Pegadaian menuju Jalan Pandu itu, mereka pun langsung menutup hidung dan mulutnya dengan tangan. Jarak kios dengan jalan lintas terlalu dekat, mereka pun mengeluh.
“Sudah panas, debu di sini pun sangat tebal. Siapalah yang nyaman berbelanja di tempat seperti ini. Mau parkir kereta pun orang tak bisa. Sudah jalan satu arah, tersembunyi pulak. Sakit kali lah pokoknya setelah pindah ke sini,” ujar br Napitupulu kepada Sumut Pos.
Pantauan Sumut Pos, banyak kios penjual buku bekas yang tidak buka. Pengunjung juga terlihat sepi. Bahkan, kurang dari satu jam, kios Panjaitan pun tak ada pembeli. “Lihatlah tak ada pembeli. Belum buka dasar sampai mau sore begini. Padahal ini kan bulan Januari, saat mana biasanya mahasiswa, anak SMP dan anak SMA rame mencari buku,” keluhnya.
Br Napitupulu mengaku sejak bulan Desember 2013, pihaknya terpaksa meminjam uang kepada saudaranya untuk proses pemindahan kiosnya. Sayangnya, kios yang disiapkan Pemko Medan itu ternyata tidak dapat langsung ditempati karena banyak material, seperti papan untuk dinding, penutup depan dan atap yang tak layak dan harus direnovasi sendiri.
“Pertengahan bulan Desember kami digusur dan diperintahkan untuk pindah kemari. Sampai disini, ternyata kios tak layak dipakai, makanya sampai memasuki bulan Januari, saya pribadi belum bisa berjualan karena kios harus dibuat raknya, dibenari penutup depan hingga didingnya,” ujar wanita beranak delapan ini.
Lanjutnya, berjualan buku bekas sudah dilakukan bertahun-tahun. Dari hasil dagangannya itu dirinya bersama sang suami Panjaitan dapat menyekolahkan anaknya hingga kuliah.
“Anak saya ada 8 orang, 3 orang masih sekolah. Penghasilan keluarga saya hanya dari dagang buku ini saja. Suami saya yang mencari bukunya, dan saya yang menjualnya. Sebelumnya hasil yang kami dapat mencapai Rp100 ribu hingga Rp200 ribu. Tapi sekarang sulit. Tak bisa lagi didapat. Yang didapat paling debu yang diterbangkan angin akibat mobil yang melintas,” keluhnya.
Karenanya br Napitupulu berharap agar Wali Kota secepatnya mempercepat pembangunan lokasi revitalisasi di Lapangan Merdeka. Lantai 1 untuk parkir dan lantai 2 untuk pedagang buku. “Kami disuruh sabar hinga 9 bulan ke depan. Jadi kami berharap agar Wali Kota menwujudkan janjinya sehingga pembeli merasa nyaman untuk beli buku dengan kami,” katanya.
Hal yang sama juga disampaikan oleh ketua Persatuan Pedagang Buku Lapangan Merdeka (P2BLM), Sainan (50). Ia mengaku omsetnya berkurang drastis setelah dipindahkan. “Saya jual buku pelajaran SD, SMP, SMA serta buku-buku umum lainnya. Kalau biasanya bulan Januari bisalah meraih keuntungan Rp100 ribu sehari. Kalau antara bulan Juli hingga Desemeber, biasanya keuntungan mencapai Rp1 juta hingga Rp2 juta. Tapi sekarang kayaknya sulit,” katanya.
“Makanya saat ini, kami akan tetap mengawal sejauh mana upaya Pemko yang yang katanya akan merevitalisasi lokasi. Kita ingin itu secepatnya terwujud,” ujarnya didampingi sekretarisnya, M Hasrah Siregar. (put/ije)