26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Geram Kelompok 78, Wartawan Lempari Televisi

Cerita Lain di Balik Kisruh Kongres PSSI

Kongres PSSI berlangsung memalukan. Diwarnai adu interupsi yang tidak jelas, kongres akhirnya dibubarkan. Ada banyak cerita menarik di balik kongres yang berujung ancaman sanksi dari FIFA itu. Seperti apa?

M ALI MACHRUS, Jakarta

Matahari bersinar terang ketika kongres PSSI hendak dimulai Jumat siang (20/5). Tapi, meski sinar matahari masih menyengat, hujan lumayan deras mengguyur seputaran Hotel Sultan, tempat kongres PSSI dihelat.

Hujan di tengah sinar matahari itu membuat puluhan orang yang tidak jelas dari mana asalnya, yang awalnya ingin “meramaikan” kongres, kocar-kacir. Massa yang sudah siap berbaris di seberang pintu masuk hotel itu pun lari tunggang langgang untuk mencari tempat berteduh.

Sebenarnya tidak ada gangguan berarti untuk kongres yang agenda utamanya memilih ketua umum, wakil ketua umum, dan anggota Executive Committee (Exco) PSSI periode 2011–2015 itu, selain gangguan dari peserta kongres sendiri. Sebelum rencana demo oleh massa yang akhirnya dibubarkan oleh hujan tersebut dilaksanakan, setelah salat Jumat massa Forum Betawi Rembug (FBR) mendekat ke arena kongres. Massa berseragam hitam-hitam itu meneriakkan yel-yel dan membawa poster bertulisan ajakan menyukseskan kongres. Salah satu poster yang dibawa bertulisan “Nyok Kita Selesaikan Masalah tanpa Masalah”.

“Kami hanya ingin mengamankan jalannya kongres PSSI,” kata Panglima FBR Harul Ghozali kepada wartawan. “Sebagai orang Jakarta, kami wajib ikut mengamankan jalannya kongres itu. Kami menurunkan sekitar 2.000 anggota untuk mengamankan kongres tersebut,” lanjutnya.

Tidak ingin peristiwa Pekanbaru terulang, kala banyak orang tidak jelas, yang mayoritas berambut cepak, masuk arena kongres, komite normalisasi (KN) bersama pihak kepolisian merancang sistem keamanan dengan sangat ketat. Jika tidak memiliki ID card peserta, panitia, atau peninjau, jangan berharap bisa mendekati Golden Ballroom, lokasi kongres. Di ujung lorong menuju ballroom, pemeriksaan ketat dilakukan oleh pihak keamanan.

Dengan alasan mengamankan kongres pula, para awak media harus rela ber-home base di tenda besar yang disiapkan di halaman hotel, yang kira-kira berjarak 100 meter dari hotel. Agar tetap bisa mengikuti jalannya kongres, panitia menyedikan tiga set pesawat televisi flat di tenda. Sayang, hanya satu set yang sound system-nya menyala. Akibatnya, awak media yang berjumlah lebih dari 150 orang itu harus berdesak-desakan di depan salah satu televisi.

Para awak media sangat antusias dalam mengikuti jalannya kongres mulai awal sampai akhir sambil menikmati makanan dan minuman yang disiapkan oleh panitia. Kumpulan wartawan tulis, fotografer, kamerawan, wartawan radio, dan media online itu menyimak dengan saksama menit per menit yang terjadi di ruang kongres dari layar televisi. Ada yang menyimak sambil lesehan di karpet. Ada juga yang duduk di kursi sambil pencet-pencet laptop atau BlackBerry ketika ada pernyataan menarik dari peserta kongres.

Tapi, setelah sekian lama dicekoki tayangan “drama kongres” yang memuakkan, emosi sebagian awak media terpancing. Teriakan huuuuu atau paraaaaah menggema jika ada anggota Kelompok 78 yang melakukan interupsi dan melontarkan kalimat-kalimat kacau. Saking tidak tahannya dengan kelakuan para pentolan Kelompok 78, apalagi salah seorang di antara mereka berbicara dengan kata-kata kasar dan menghina, salah seorang awak media tak bisa menahan emosi dan melempari pesawat televisi itu dengan bungkus makanan. Yang dilakukan oleh awak media tersebut pun mendapatkan aplaus dari awak media lain.

Sekitar pukul 22.00 WIB, debat kusir atau saur manuk seperti yang dipamerkan oleh salah seorang peserta kongres masih saja terjadi. Beberapa wartawan semakin tidak kuasa menahan emosi. Selain muak dengan tingkah orang-orang yang katanya melakukannya demi sepak bola itu, mereka dikejar deadline dari kantor masing-masing.

“Teman-teman, bagaimana kalau kita ambil alih saja kongres di dalam dan orang-orang yang banyak bicara itu kita suruh keluar. Masak pukul segini kongres masih ribut begitu-begitu saja,” teriak Wimbo Satwiko, wartawan Jakarta Globe, yang disambut teriakan setuju sambil tawa ngakak beberapa wartawan lain.

Soal adu interupsi dan caci maki saat kongres, sumber Jawa Pos mengungkapkan bahwa semua itu sudah dirancang dengan matang. Malam sebelum kongres, bertempat di salah satu hotel di Jakarta, mereka melakukan geladi resik tentang hal yang akan mereka “pentaskan” di kongres. “Awalnya, bahkan dirancang sampai ada aksi saling cekik. Tapi entah kenapa, itu tidak jadi dilakukan saat kongres. Mungkin karena Pak Agum menutup kongres sebelum selesai,” ucap sumber tersebut. (c11/nw/jpnn)

Cerita Lain di Balik Kisruh Kongres PSSI

Kongres PSSI berlangsung memalukan. Diwarnai adu interupsi yang tidak jelas, kongres akhirnya dibubarkan. Ada banyak cerita menarik di balik kongres yang berujung ancaman sanksi dari FIFA itu. Seperti apa?

M ALI MACHRUS, Jakarta

Matahari bersinar terang ketika kongres PSSI hendak dimulai Jumat siang (20/5). Tapi, meski sinar matahari masih menyengat, hujan lumayan deras mengguyur seputaran Hotel Sultan, tempat kongres PSSI dihelat.

Hujan di tengah sinar matahari itu membuat puluhan orang yang tidak jelas dari mana asalnya, yang awalnya ingin “meramaikan” kongres, kocar-kacir. Massa yang sudah siap berbaris di seberang pintu masuk hotel itu pun lari tunggang langgang untuk mencari tempat berteduh.

Sebenarnya tidak ada gangguan berarti untuk kongres yang agenda utamanya memilih ketua umum, wakil ketua umum, dan anggota Executive Committee (Exco) PSSI periode 2011–2015 itu, selain gangguan dari peserta kongres sendiri. Sebelum rencana demo oleh massa yang akhirnya dibubarkan oleh hujan tersebut dilaksanakan, setelah salat Jumat massa Forum Betawi Rembug (FBR) mendekat ke arena kongres. Massa berseragam hitam-hitam itu meneriakkan yel-yel dan membawa poster bertulisan ajakan menyukseskan kongres. Salah satu poster yang dibawa bertulisan “Nyok Kita Selesaikan Masalah tanpa Masalah”.

“Kami hanya ingin mengamankan jalannya kongres PSSI,” kata Panglima FBR Harul Ghozali kepada wartawan. “Sebagai orang Jakarta, kami wajib ikut mengamankan jalannya kongres itu. Kami menurunkan sekitar 2.000 anggota untuk mengamankan kongres tersebut,” lanjutnya.

Tidak ingin peristiwa Pekanbaru terulang, kala banyak orang tidak jelas, yang mayoritas berambut cepak, masuk arena kongres, komite normalisasi (KN) bersama pihak kepolisian merancang sistem keamanan dengan sangat ketat. Jika tidak memiliki ID card peserta, panitia, atau peninjau, jangan berharap bisa mendekati Golden Ballroom, lokasi kongres. Di ujung lorong menuju ballroom, pemeriksaan ketat dilakukan oleh pihak keamanan.

Dengan alasan mengamankan kongres pula, para awak media harus rela ber-home base di tenda besar yang disiapkan di halaman hotel, yang kira-kira berjarak 100 meter dari hotel. Agar tetap bisa mengikuti jalannya kongres, panitia menyedikan tiga set pesawat televisi flat di tenda. Sayang, hanya satu set yang sound system-nya menyala. Akibatnya, awak media yang berjumlah lebih dari 150 orang itu harus berdesak-desakan di depan salah satu televisi.

Para awak media sangat antusias dalam mengikuti jalannya kongres mulai awal sampai akhir sambil menikmati makanan dan minuman yang disiapkan oleh panitia. Kumpulan wartawan tulis, fotografer, kamerawan, wartawan radio, dan media online itu menyimak dengan saksama menit per menit yang terjadi di ruang kongres dari layar televisi. Ada yang menyimak sambil lesehan di karpet. Ada juga yang duduk di kursi sambil pencet-pencet laptop atau BlackBerry ketika ada pernyataan menarik dari peserta kongres.

Tapi, setelah sekian lama dicekoki tayangan “drama kongres” yang memuakkan, emosi sebagian awak media terpancing. Teriakan huuuuu atau paraaaaah menggema jika ada anggota Kelompok 78 yang melakukan interupsi dan melontarkan kalimat-kalimat kacau. Saking tidak tahannya dengan kelakuan para pentolan Kelompok 78, apalagi salah seorang di antara mereka berbicara dengan kata-kata kasar dan menghina, salah seorang awak media tak bisa menahan emosi dan melempari pesawat televisi itu dengan bungkus makanan. Yang dilakukan oleh awak media tersebut pun mendapatkan aplaus dari awak media lain.

Sekitar pukul 22.00 WIB, debat kusir atau saur manuk seperti yang dipamerkan oleh salah seorang peserta kongres masih saja terjadi. Beberapa wartawan semakin tidak kuasa menahan emosi. Selain muak dengan tingkah orang-orang yang katanya melakukannya demi sepak bola itu, mereka dikejar deadline dari kantor masing-masing.

“Teman-teman, bagaimana kalau kita ambil alih saja kongres di dalam dan orang-orang yang banyak bicara itu kita suruh keluar. Masak pukul segini kongres masih ribut begitu-begitu saja,” teriak Wimbo Satwiko, wartawan Jakarta Globe, yang disambut teriakan setuju sambil tawa ngakak beberapa wartawan lain.

Soal adu interupsi dan caci maki saat kongres, sumber Jawa Pos mengungkapkan bahwa semua itu sudah dirancang dengan matang. Malam sebelum kongres, bertempat di salah satu hotel di Jakarta, mereka melakukan geladi resik tentang hal yang akan mereka “pentaskan” di kongres. “Awalnya, bahkan dirancang sampai ada aksi saling cekik. Tapi entah kenapa, itu tidak jadi dilakukan saat kongres. Mungkin karena Pak Agum menutup kongres sebelum selesai,” ucap sumber tersebut. (c11/nw/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/