Oleh: Syaifullah
“Semua orang di sekolahku selalu membicarakan kartun sepak bola dari Jepang ini. Dan aku mulai menggocek bola juga karena kartun itu. Terlebih Abangku juga sering memaksaku agar ikut dengannya bermain bola.”
AKHIR 2012 lalu, Daily Mail berkesempatan mewancarai Fernando Torres, striker elegan punya Chelsea. Kutipan di atas adalah salah satu bait wawancaranya. Kartun apa yang dimaksud eks anak sekolah bola Atletico Madrid itu?
Captain Tsubasa! Yes, animasi sepak bola asal negeri matahari terbit itu memang sungguh populer. Hampir di semua negara kartun ini disiarkan. Judul dan pemerannya beda-beda sesuai kultur negara bersangkutan. Sama halnya di Spanyol, Captain Tsubasa berjudul Oliver y Benji. Oliver ini tokoh utama yang kita kenal sebagai Tsubasa Ozora. Sedangkan karakter Benji kita kenal di Indonesia sebagai Genzo Wakabayashi, kiper berwibawa yang kerap pakai topi.
Oliver y Benji ini berkisah tentang dua pemain bola asal Jepang yang akhirnya sukses menggapai mimpi merumput di Eropa. Keduanya main di klub papan atas berbeda. Satu di Barcelona satunya di Bayern Munchen.
Kenang Torres, dia dan Abangnya itu ‘ecek-eceknya’ berperan sebagai Oliver dan Benji. Karena begitu jatuh cinta kepada Oliver aka Tsubasa ini, Torres pun memilih jadi penyerang. Betapa sang Tsubasa menghiasai otaknya bahwa Torres kecil juga biasa menjadi pemain seperti itu suatu hari nanti.
Begitulah, latihan intensif dan profesionalitas membentuk diri membawa Torres mencapai mimpinya. Dimulai dari Atletico Madrid, Torres menjelma menjadi penyerang mengerikan. Dapat bola di kotak penalti, Torres pasti bikin gol. Dialah mesin gol selanjutnya setelah era Raul Gonzales pudar.
Ketajamannya membuat Liverpool kepincut. Tsubasa dari Spanyol pun pindah dengan linangan air mata. Betapa sedih hatinya meninggalkan Atleti, klub Ibukota Madrid yang dicintainya sebagai sebuah keluarga. Tapi profesionalitas sepak bola papan atas tak mengenal air mata. Uang dan jenjang karir plus pengalaman mentas di luar negeri menjadi impian setiap pemain top dunia.
Di Liverpool, pemain bernama lengkap Fernando Jose Torres Sanz itu tak surut membobol gawang lawan. Aksinya semakin brilian dan dipuja-puji publik Anfield. Kostum bertuliskan namanya laris manis menyamai kostum Steven Gerrard.
Datanglah Chelsea yang sampai saat ini berstatus klub kaya yang doyan belanja. Tak peduli berapa harga, jika Roman Abrahimovic ‘sor’ siapapun bisa diangkat ke Stamford Bridge. Diam-diam Chelsea menaruh hati kepada sang Tsubasa. Harganya disepakati, bernilai mencengangkan saat itu. Lebih setengah triliun jika dirupiahkan. Liverpool ogah menahan sebab mereka butuh suntikan dana untuk menambah skuad. Sepakat! Torres harus segera ganti kostum dari merah jadi biru.
Kisah pedih dimulai di Stamford Bridge. Entah kenapa Torres seolah terkutuk. Ketajamannya pudar. Beberapa kali dimainkan sebagai starter, Torres urung bikin gol. Tekanan media yang melabel dia sebagai striker termahal dalam sejarah Liga Inggris saat itu mungkin membebaninya. Pernah suatu ketika, saat melawan Manchester United, Torres sudah lolos dari kepungan bek dan tinggal berhadapan dengan penjaga gawang baru United saat itu, David De Gea. Juniornya di Atletico Madrid itu tampaknya sudah pasrah akan dibobol Torres. Apa lacur, bola yang tinggal dicocor dengan cara apapun 99 % jadi gol malah terbang jauh di atas mistar. Cemooh semakin menjadi-jadi kepada striker bertifikal number nine murni itu.
Efeknya, sampai hari ini, ketika The Blues sudah dibesut lagi oleh Jose Mourinho, ketajaman Torres masih menghilang bak ditelan rumput Stamford Bridge. Mourinho yang tenar jago menyulap pemain pun tampaknya sulit berbuat banyak meng-abrakadabra Torres. Bahkan Mou tak mau ambil risiko sehingga dia putuskan beli striker gaek bernama Samuel Eto’o. Musim ini, Eto’o yang didaulat melapis Torres malah sudah bikin enam gol, sedangkan Torres baru buat empat.
Sebelum-sebelumnya, Torres sudah merasakan dampak kemandulannya. Timnas Spanyol yang sudah dibawanya sukses meraih gelar Eropa back to back 2008-2012 dan Piala Dunia 2010, pelan-pelan mulai menyingkirkannya. Sang gafter, Vicente Del Bosque berdalih sedang ganti gaya dengan memainkan strategi tanpa striker murni yang disebut false number nine. Dengan strategi itu, Torres tak dibutuhkan. Ironisnya strategi itu sukses besar dan Spanyol sukses jadi juara Eropa 2012.
Dalam beberapa uji coba hingga duel kualifikasi, Torres juga mulai ditinggalkan. Hari-hari ini, berita dari Eropa menulis kans Torres ikut Piala Dunia Brasil Juni mendatang. Banyak yang menduga Del Bosque akan mencoret namanya dari daftar skuadnya. Nama Alvaro Negredo lebih menyakinkan sebab sejauh ini sudah bikin dua digit gol di klub barunya, Manchester City.
Inti dari kisah ini adalah, Piala Dunia 2014 mendatang sangat berpotensi minim aksi bintang. Zlatan Ibrahimovic sudah pasti tidak ikut lantaran negaranya disingkirkan Portugal di play off. Radamel Falcao cedera parah di lututnya sehingga kans dia bergaya di Brasil sangat tipis. Bintang timnas Jerman di Piala Dunia 2006, 2010, dan Euro 2008, 2012, Lukas Podolski juga menurun bersama Arsenal dan mungkin ditinggal timnas Jerman.
Jika nama-nama terakhir ini tak beraksi di Piala Dunia ya sudahlah. Tapi jika seorang Torres sang pecinta Tsubasa yang tak main, rasa-rasanya kurang asam garam hajatan pesta bola terbesar di planet bumi itu. Kenapa? Saya pribadi bukan fans Torres dan klubnya. Tapi melihat gaya dan aksinya di kotak penalti lawan, sungguh itulah kenikmatan menonton sepak bola. Gaya seorang striker yang berkarakter dan punya kualitas akting mumpuni. Intinya, aksi demi aksi di turnamen sekaliber Piala Dunia tak semata main bola. Ada sisi lain yang ingin kita lihat. Torres ‘naga-naganya’ punya kualitas untuk menghibur. (*)