JAKARTA – Ada atau tidaknya putaran kedua pemilihan presiden mendatang akan sangat bergantung kepada Partai Golkar dan Partai Demokrat.
Kalau Golkar dan Demokrat bersekutu mengusung poros baru, maka Pilpres akan diikuti tiga pasangan calon. Yaitu pasangan yang diusung poros PDI-P, poros Gerindra, dan pasangan yang diajukan oleh Golkar dan Demokrat. Itu artinya membuka peluang adanya pilpres putaran kedua.
Menurut Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, adanya tiga pasangan calon, akan cenderung membuat suara pemilih menyebar. Apalagi kalau Golkar dan Demokrat memunculkan capres alternatif yang disenangi oleh pemilih.
“Capres yang diusung oleh koalisi Golkar dan Demokrat itu bisa saja memecah suara Jokowi dan Prabowo. Akibatnya, Jokowi atau Prabowo akan kesulitan memenangkan Pilpres dalam satu putaran,” katanya di Jakarta, Selasa (13/5).
Said mengungkapkan hal tersebut karena melihat tren yang ada, dukungan publik kepada Jokowi dan Prabowo kini relatif mulai berimbang. Karena itu ketika muncul pasangan alternatif lain, akan membuat ketatnya persaingan menyulitkan salah satu dari keduanya menang satu putaran dengan memperoleh suara lebih dari 50 persen, dengan minimal 20 persen suara di 17 provinsi.
“Ganjalannya karena adanya capres yang diusung oleh Golkar dan Demokrat itu. Sekalipun poros Golkar-Demokrat sepertinya sia-sia dibentuk karena menurut saya Jokowi dan Prabowo terlalu tangguh untuk dihadapi, tetapi poros itu bisa saja tetap direalisasikan oleh Golkar dan Demokrat untuk tujuan politik yang lain,” katanya.
Yaitu sebagai strategi meningkatkan bargaining politik di hadapan Jokowi dan Prabowo, pada saat akan memasuki putaran kedua. Apabila suara Jokowi dan Prabowo berbeda tipis pada putaran pertama, maka pada putaran kedua Golkar dan Demokrat bisa menawarkan dukungan kepada salah satu pasangan dengan meminta imbalan yang tinggi.
“Bentuk kompensasi dukungan itu bisa berupa permintaan jatah kursi menteri dalam jumlah yang lebih banyak daripada partai lain yang sudah lebih awal berkoalisi dengan Jokowi dan Prabowo,” katanya.
Menurut Said, Golkar dan Demokrat bisa beralasan mereka ‘sudah habis banyak’ pada Pilpres putaran pertama, sehingga wajar jika meminta jatah kursi menteri lebih banyak. Lebih dari itu, Golkar dan Demokrat juga punya alat tawar yang lain, yaitu berupa kepemilikan kursi parlemen dalam jumlah yang cukup signifikan.
Jadi kata Said, boleh saja hari ini Golkar dan Demokrat seperti diabaikan atau dianggap ‘tidak laku’, karena Jokowi dan Prabowo merasa sudah punya tiket untuk berlaga di Pilpres.
“Tetapi kelak apabila Pilpres berlangsung dua ronde, Golkar dan Demokrat bisa sambil ‘berkacak pinggang’ saat bernegosiasi dengan Jokowi dan Prabowo,” katanya. (gir/jpnn)