SUMUTPOS.CO – Kejaksaan Agung (Kejagung) bertindak cepat menangani kasus dugaan korupsi di tubuh Universitas Sumatera Utara (USU). Setelah menetapkan dua tersangka, menggeledah dan menyita barang bukti serta memeriksa sejumlah saksi, Kejagung akhirnya melakukan penahanan terhadap pejabat pembuat komitmen di USU, Abdul Hadi.
Abdul Hadi merupakan satu dari dua tersangka yang statusnya telah ditetapkan terlebih dahulu. Selain pegawai negeri sipil (PNS) yang kini bertugas di Departemen Etnomuskilogi Fakultas Ilmu Budaya itu, tersangka lainnya adalah Dekan Fakultas Farmasi USU, Prof Dr Sumadio Hadisaputra Apt. Namun, penahan masih dilakukan pada Abdul Hadi.
Penahanan dilakukan setelah yang bersangkutan dilakukan serangkaian pemeriksaan di Gedung Bundar Pidana Khusus Kejagung, Jakarta, sepanjang Kamis (14/8), mulai dari Pukul 10.00 WIB.
Setelah diperiksa lebih dari enam jam, penyidik baru terlihat menggelandang Abdul Hadi masuk ke dalam mobil tahanan, guna dibawa ke Rumah Tahanan Negara Salemba, cabang Kejaksaan Agung, yang terletak sekitar 200 meter dari Gedung Pidana Khusus, sekitar Pukul 18.45 WIB.
“Penahanan dilakukan berdasarkan surat perintah penahanan yang ditandatangani Direktur Penyidikan, selaku penyidik, Suyadi, berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor prrint 14/F.2/Fd.1/08/2014. Penahanan dilakukan di Rutan Salemba Cabang Kejagung selama 20 hari. Terhitung sejak 14 Agustus,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Tony T Spontana di Gedung Kejagung, Jakarta, Kamis petang.
Abdul Hadi yang diketahui saat ini berprofesi sebagai pegawai negeri sipil di lingkungan USU, ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan perbuatan korupsi saat menjabat sebagai pejabat pembuat komitmen pada kegiatan pengadaan peralatan farmasi di Fakultas Farmasi USU tahun 2010 lalu.
“Penahanan dilakukan atas pertimbangan untuk kepentingan penyidikan. Beliau diduga keras melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan peralatan farmasi dan pengadaan lanjutan (peralatan farmasi) pada Fakultas Farmasi USU. Diduga melanggar pasal 2 Ayat 1 jo Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,” katanya.
Abdul Hadi juga disangkakan melanggar Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999.
“Penahanan juga dilakukan atas alasan berhubung adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana,” katanya.
Menurut Tony, perbuatan korupsi yang disangkakan pada pria kelahiran Pekantan, Mandailing Natal 20 Januari 1963 dilakukan, tahun 2010 lalu. Bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara 2010, Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) USU Nomor 0120/023-04.2/iI/2009. Dengan pagu anggaran Rp25.000.000.000.
Pelaksana proyek pada kegiatan pengadaan peralatan farmasi dimaksud, dilakukan PT Exatech Technologi Utama, dengan nilai kontrak Rp 24.357.000.000. Waktu pelaksanaan 120 hari, terhitung 1 April hingga 30 Juli 2010. Akibat perbuatan tersangka, negara diduga mengalami kerugian hingga Rp7.116.436.425.
Perbuatan korupsi juga diduga dilakukan tersangka pada proyek pengadaan peralatan farmasi lanjutan di tubuh Fakultas Farmasi USU tahun 2010. Pelaksana proyek pada kegiatan ini PT Sean Hulbert Jaya, dengan Niilai 14.770.184.000. Dilaksanakan selama 78 hari terhitung hingga 31 Desember 2010. Atas dugaan tersangka, dalam proyek kedua ini negara diduga mengalami kerugian sebesar Rp7.308.200.921.
“Jadi dari dua pengadaan yang bernilai total Rp39,7 miliar, negara diduga mengalami kerugian hingga mencapai Rp14 miliar lebih,” katanya.
Saat ditanya bagaimana dengan tersangka lain dan apakah ada kemungkinan Kejagung akan menambah jumlah tersangka, Tony mengaku belum dapat memberi keterangan lebih lanjut. Ia hanya menyatakan bahwa Kejagung tentu tidak akanmembiarkan orang-orang yang diduga ikut terlibat lolos dari jeratan hukum.
Terpisah, kuasa hukum tersangka, Durhakim mengatakan keberatan dengan langkah yang dilalukan penyidik Korp Adhyaksa itu. Dia berencana mengajukan permohonan penangguhan penahanan kepada tim penyidik. “Secepatnya akan sampaikan secara penangguhan penahanan secara prosedural,” katanya.
Sebelumnya, dalam perkara ini Kejagung telah memeriksa Rektor USU, Syahril Pasaribu sebagai saksi, pada Selasa (12/8) lalu. Kemudian hal yang sama juga dilakukan pada mantan Dekan Fakultas Sastra USU yang kini berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya, Wan Syaifuddin, Rabu (13/8) kemarin.
Rumah Abdul Hadi Biasa Saja
Kemarin, pascapenahanan oleh tim Kejagung, Sumut Pos langsung melakukan penelusuran ke rumah Abdul Hadi yang terletak di Jalan Setia Budi Pasar I Gang Jati Luhur Nomor 10, Kelurahan Tanjungsari, Kecamtan Medan Selayang, Kamis malam kemarin. Rumah bercat putih dengan interior minimalis itu tampak sepi. Sekitar 50 meter dari depan gang, rumah Abdul Hadi sudah dapat ditemui.
Amatan Sumut Pos, rumah Abdul Hadi tergolong sederhana dan tidak begitu mewah dibandingkan beberapa rumah lainnya di lingkungan tempat tinggalnya yang tampak besar dan megah. Kendati begitu, bisa dikategorikan rumah tinggal Abdul Hadi di golongan menengah. Di mana semua lantai tampak berkeramik baik luar maupun dalam. Pun dengan ukuran rumahnya yang berukuran sedang.
Begitu sampai tepat di depan rumahnya, terlihat dua wanita membuka pintu. “Cari siapa ya Mas?” tanya perempuan berambut pendek itu. Kedua perempuan itu tampak panik dan enggan menerima kedatangan Sumut Pos.
Hal itu terlihat dari pintu rumah yang dibuka hanya setengahnya saja dan anggota keluarga hanya menjawab dari dalam rumah. Sambutan awal itu memberi kesan bahwa anggota keluarga sudah mengetahui perihal berita terbaru tentang Abdul Hadi.
Kemudian ketika Sumut Pos memastikan bahwa rumah yang didatangi adalah rumah Abdul Hadi, kedua perempuan itu semakin salah tingkah. Pandangan mata mereka tampak tidak fokus dan terkesan ingin menyuruh Sumut Pos segera meninggalkan rumah tersebut. “Bentar ya kami panggilkan Om dulu,” sahut perempuan yang satu lagi dengan perawakan rambut panjang dan memakai kacamata.
Tak lama menunggu, muncul seorang pria keluar dari pintu depan lalu. “Ada apa Mas? Cari siapa?” tanya pria tambun ini. Dengan pertanyaan Sumut Pos yang sama seperti sebelumnya, ia membenarkan bahwa rumah tersebut adalah tempat tinggal Abdul Hadi, dan yang bersangkutan bekerja sebagai PNS di USU. “Iya, benar, ini rumah Bang Hadi. Mas siapanya Bang Hadi dan ada keperluan apa?” tanya pria sawo matang itu lagi.
Setelah Sumut Pos menjelaskan identitas dan maksud kedatangan, pria itu tampak mulai gelisah. “Bang Hadi tidak ada di rumah, mungkin masih di kerjaan,” elaknya.
Pria yang mengaku sebagai pekerja di rumah Abdul Hadi ini juga mengatakan, bahwa dua perempuan tadi merupakan anak Abdul Hadi. Dia membantah kalau memiliki hubungan keluarga dengan AH. “Tidak, saya hanya bekerja di rumah ini. Kebetulan ada yang sedang diperbaiki makanya saya di sini,” ungkapnya.
Ketika ditanya apakah pihak keluarga mengetahui berita penahanan AH oleh Kejagung atas dugaan kasus korupsi di USU, pria tersebut enggan berkomentar banyak. “Saya tidak tau soal itu. Nanti bisa-bisa salah informasi kalau menjawabnya. Tidak tau Mas,” katanya seraya bergegas meninggalkan Sumut Pos dan mengunci pintu. (aph/jpnn/rbb)
Kalangan Akademisi Malu dan Terpukul
Kasus korupsi yang menerpa USU ternyata berdampak signifikan. Terutama bagi kalangan tenaga pendidik atau dosen di internal universitas milik pemerintah tersebut. Hal itu terbukti ketika Sumut Pos berbincang dengan beberapa kalangan akademisi USU, Kamis siang kemarin.
Dari beberapa dosen yang dimintai tanggapan mengaku terpukul bahkan malu mengetahui bahwa lembaga pendidikan selevel USU, terjerat kasus korupsi. Para dosen itu mendorong kiranya penegak hukum bisa segera menuntaskan sekaligus membuka ke publik tentang perkara yang sebenarnya terjadi.
“Pastinya kita sebagai akademisi di USU merasa malu mengetahui kabar soal USU tersandung korupsi,” kata Ahmad Taufan Damanik, dosen tetap di Fisipol USU.
Meski tak terlalu mengikuti pemberitaan soal korupsi tersebut, namun Taufan mengaku sering mendengar dan mendapat informasi perihal dimaksud. Baik di dalam maupun dari luar lingkungan USU.
Lebih lanjut, Taufan yang juga pengamat politik dan pemerintahan ini mengatakan, penegakan hukum terhadap USU harus jelas. Dia meminta Kejagung secara benar menangani kasus tersebut. “Jadi kita sedih bila mendengar peristiwa itu. Intinya penegak hukum harus membongkar kasus ini sampai terang benderang,” katanya.
Tak lupa, jelang pemilihan rektor pada November 2014 mendatang, Taufan juga menyinggung agar memperhatikan aspek dimaksud. “Tentunya kita berharap pada kepemimpinan akan datang ini adalah orang-orang yang tak terkait dengan rezim lama. Ini ada kaitan dengan rezim lama yang 8 tahun berkuasa,” tegasnya.
Sebab menurut Taufan, waktu berkuasa yang begitu lama menyebabkan yang berkuasa bisa sesukanya dalam menjalankan tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) nya. “Jadi kita berharap ini tidak terjadi lagi di masa depan, dan kemungkinan ke depan itu yang maju adalah orang-orang muda yang terlepas dari permainan kekuasan lama itu,” bebernya.
Senada, dosen Fisipol USU Dadang Darmawan mengungkapkan, satu-satunya upaya membersihkan kasus ini, baik di kalangan civitas akademika maupun masyarakat adalah adanya investigasi yang mendalam dari berbagai pihak untuk terlibat dalam upaya mengungkap persoalan itu. “Saya kira ini yang penting dapat dilakukan dalam jangka pendek,” beber Dadang.
Sebagai bahagian dari USU, Dadang merasa sangat terpukul atas dugaan korupsi yang melanda institusi di mana ia mengajar. Ia bahkan menyampaikan, kasus yang dialami USU serupa seperti yang terjadi di Universitas Indonesia (UI). Di mana hampir semua petinggi dan mantan petinggi UI juga saat ini sekarang diperiksa dan beberapa di antaranya sudah dijebloskan ke dalam penjara. “Jadi saya kira apa yang terjadi di USU ini pukulan yang luar biasa, apalagi seperti semboyan di pintu masuk USU bahwa institusi ini selalu mengatakan terdepan dalam hal amanah dan akhlak. Tapi pada kenyataannya, kita melihat bahwa kalangan birokrat dan pejabat USU, tidak terlepas dari perilaku korupsi yang sudah menggejala. Nah, jadi saya kira kita penting untuk membongkar ini sampai selesai karena telah mencoreng dunia pendidikan kita, sebab institusi di bidang ini nyatanya sama dengan institusi lain seperti pemerintah maupun departemen pemerintah lainnya,” jelasnya.
Sementara itu, Hamdan, dosen Fakultas Pertanian USU menilai, pihak rektorat harus transparan dalam hal keuangan kepada publik. Sebab menurutnya, selama ini biro rektor terkesan tertutup dalam hal itu, apalagi menyangkut bantuan-bantuan dana dari pemerintah. “Saya pikir lembaga pendidikan harusnya fokus mengurusi hal sesuai Tri Dharma perguruan tinggi, bukan malah terjebak ke dalam persoalan korupsi. Jadi hal ini benar-benar telah mencoreng nama baik lembaga secara keseluruhan,” katanya.
Harapan ke depan kata Hamdan, kiranya dapat fokus bagaimana cara pencegahan agar hal yang sama tidak terulang kembali. “Walaupun memang upaya-upaya penyalahgunaan wewenang ini tetap akan ada. Paling tidak jadikan pelajaranlah atas apa yang sebelumnya pernah dialami. Contohnya ada suatu transparansi dari pihak pengelola anggaran,” ungkapnya. (prn)