SUMUTPOS.CO – Indonesia telah dipermalukan dengan penangkapan dua anggota polisi dari Polda Kalimantan Barat yang ditangkap di Malaysia karena diduga membawa narkoba seberat 6 kilogram di Bandara Kuching. Tidak itu saja, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Idha Endi Prastiono dan Brigadir MP Harahap terancam hukuman gantung di negeri jiran itu.
Demikian disampaikan Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane. “Artinya, kedua anggota Polri itu bisa terkena hukum gantung sampai mati oleh pihak Malaysia. Menurut Pasal 39 B UU Antinarkotika Malaysian para pembawa narkoba diancam hukuman gantung sampai mati,” ungkapnya, kemarin.
Seperti diketahui, Malaysia termasuk negara yang menerapkan hukuman berat baik bagi produsen, pengedar, maupun pemakai narkotika dan obat-obatan terlarang. Tak mengherankan, seperti halnya di Indonesia, Malaysia memiliki lembaga negara yang khusus menangani masalah narkoba. Nama lembaga itu ialah Agensi Antidadah Kebangsaan di bawah Kementerian Dalam Negeri Malaysia.
Keseriusan pemerintah Malaysia membasmi peredaran narkoba, ditunjukkan dengan adanya Akta Dadah Berbahaya 1952. Dalam aturan ini dimuat jenis-jenis hukuman bagi pengedar maupun pengguna narkoba. Jika tertangkap dalam kasus narkoba maka hukuman terberat adalah hukuman gantung sampai hukuman mati. Hukuman yang tertera pada Pasal 39B Akta Dadah Berbahaya 1952 ini dikenakan bagi siapapun yang memiliki 15 gram atau lebih narkoba jenis heroin, 1.000 gram atau lebih candu masak atau mentah, 200 gram atau lebih ganja, dan 40 gram atau lebih kokain.
Ada juga penjara minimal 5 tahun hingga maksimal seumur hidup serta hukum cambuk 10 kali. Hukuman ini dikenakan kepada orang yang memiliki 5 gram heroin, 250 gram candu masak atau mentah, 50 gram atau lebih ganja, serta 15 gram kokain.
Dan terakhir, penjara seumur hidup dan hukum cambuk minimal 6 kali. Hukuman dikenakan bagi siapa pun yang menanam pohon ganja di wilayah Malaysia.
Dengan ketentuan di atas, jika merujuk Akta Dadah Berbahaya 1952 Pasal 39B, Idha dan Harahap terancam hukuman gantung sampai hukuman mati.
Hingga kemarin, Kepolisian Daerah Kalimantan Barat masih menunggu perkembangan penyidikan kasus keterlibatan AKBP Idha Endri Prastiono dan Bripka MP Harahap yang ditangkap oleh otoritas di Malaysia. Mereka ditangkap dalam kasus narkotika, Jumat (29/8) lalu. Kapolda Kalbar, Brigjen Pol Arief Sulistyanto memerintahkan anggotanya untuk menyelidiki keterkaitan pihak lain dalam narkotika yang melibatkan dua anggotanya itu.
Tukar Barbut Sabu dengan Tawas
Menurut Arief, AKBP Idha Endri Prastiono yang merupakan mantan kasat tipikor Poldasu itu tidak bekerja sendiri. Dia menduga ada pihak-pihak lain yang terlibat. Untuk itu, pihaknya memerintahkan untuk memeriksa pihak lain, termasuk menyelidiki keterlibatan Titi Yusnawati, istri AKBP Idha Endri Prastiono.
“Saya perintahkan untuk dilakukan penyelidikan, termasuk menyelidiki keterlibatan istrinya,” kata Arief dalam keterangan pers, Minggu (31/9) sore.
Menurut Arief, AKBP Idha Endri Prationo diduga pernah melakukan penyimpangan dengan menukar barang bukti berupa sabu dengan tawas dan menukar inek berjumlah 5 juta butir dengan inek palsu.
“Hal itu berdasarkan keterangan mantan penyidik Dit Narkoba Polda Kalbar, AKP Sunardi yang sudah di PDTH dalam sidang kode etik polri. Sunardi mengajukan banding dan membuat surat banding. Dalam surat banding itu, Sunardi, mantan anak buah AKBP Idha Endri Prastiono di Subdit III Dit Narkoba, yang bersangkutan pernah menukar barang bukti sabu dengan tawas dan mengganti inek sebanyak 5 juta butir dengan inek palsu.
“Berdasarkan informasi itu, Bid Propam dan Direktorat Narkoba Polda Kalbar sedang menyelidiki kebenarannya,” kata Arief.
Ditegaskan Arief, saat ini dirinya masih menunggu perkembangan penyidikan kasus narkoba yang melibatkan dua anggotanya di Malaysia. “Kami masih menunggu perkembangan di Malaysia. Kami tetap melakukan koordinasi, apa dan bagaimana peran AKBP Idha Endri Prastiono dan Bripka Harahap ini,” katanya. “Yang jelas perbuatan ini merupakan penyimpangan dan penyimpangan ini telah mencederai Polda Kalbar yang saat ini sedang melakukan pembenahan, dan saya sebagai Kapolda akan melaporkan semua apa yang terjadi dan membuat surat resmi kepada Kapolri untuk penanganan selanjutnya terhadap dua oknum anggota polisi ini,” tegasnya.
Sementara itu, berdasarkan pantauan Pontianak Post (grup Sumut Pos), ada dua anggota polisi mendatangi rumah kontrakan yang ditempati AKBP Idha Endri Prastiono dan istrinya, Titi Yusnawati di Gang Al-Qadar No. 18 B Jalan Parit Haji Husein I Pontianak Tenggara. Tidak jelas apa keperluan dua orang tersebut.
Suami Mantan Calon Bupati
Rumah kontrakan dengan cat putih dengan pilar warna merah dengan pintu dan jendela kayu berpelitur itu pernah menjadi sorotan wartawan terkait laporan kehilangan perhiasan senilai Rp19 miliar milik Titi Yusnawati di bagasi pesawat Lion Air tujuan Pontianak-Jakarta, Januari 2014 lalu.
Titi Yusnawati tercacat sebagai Direktur Utama PT Berlian Kapuas Khatulistiwa yang berkedudukan di Jakarta, dan bergerak dalam bidang trading (perdagangan umum) sejak tahun 2000 sampai sekarang. Ia juga tercatat sebagai Direktur Utama PT Fitria Maharani, bergerak di bidang ekspor impor yang berkedudukan di Bandar Lampung sejak tahun 2000 sampai sekarang. Selain itu Titi Yusnawati juga tercacat sebagai Direktur Utama CV Fitria (bidang kontraktor) yang berkedudukan di Bandar Lampung sejak tahun 2012 sampai sekarang.
Di kalangan pejabat Mabes Polri, nama Titi Yusnawati alias Martawati Yusuf bukan merupakan orang asing. Dalam sistem mesin pencarian data menemukan nama Martawati Yusuf kerap bersinggungan dengan berbagai kasus sehingga cukup mudah melacak track record wanita yang pernah mencalonkan diri menjadi Bupati Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat ini.
Tahun 2006, Martawati menjadi saksi kasus traveller cheque (cek perjalanan) bekas Direktur II Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Polri, Brigjen (Pol) Samuel Ismoko. Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Ismoko mengaku telah menukarkan delapan cek perjalanan dari Bank Mandiri dengan nilai seluruhnya Rp200 juta. Martawati mengenal Ismoko dari 1999.
Dalam persidangan itu pula Martawati mengaku membeli cek perjalanan Ismoko senilai Rp300 juta secara tunai pada November 2003, saat dia bertamu ke kantor Ismoko. Pada Februari 2008, Titi pernah melaporkan kasus penipuan yang menimpa dirinya sebesar Rp10 miliar oleh bekas bandar sabu berinisial NK. Modusnya adalah jual beli rumah di kawasan Kemang seharga Rp20 miliar.
Martawati menyerahkan uang muka secara bertahap pada Agustus dan Oktober. Belakangan NK menghilang bersama uang muka Martawati.
Di Polda Kalbar, Titi Yusnawati alias Titi Martawati juga pernah melaporkan seorang politikus Kota Pontianak yang melakukan penggelapan senilai Rp1,1 miliar, pada Maret 2011.
Sebelum hijrah kembali ke Pontianak, Titi menempati rumah di Komplek Perumahan Terana Indah, Blok A Deliserdang, Sumatera Utara. Sedangkan di Jakarta tinggal di apartemen Gading Resort Residence City House, Kelapa Gading, Jakarta Utara. (arf/ysa/jpnn/rbb)