MEDAN, SUMUTPOS.CO- Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara (Sumut) berpotensi kembali mengalami devisit pada 2015, jika tata kelola anggaran tidak mempertimbangkan potensi pendapatan. Tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) Pemprov dan Badan Anggaran DPRD Sumut harus bisa berfikir realistis melihat potensi pendapatan yang ada menggunakan asas kemandirian, penghematan dan prioritas dalam penyusunan perubahan APBD 2015. Pendapat ini dikatakan Kepala Tax Centre Universitas Sumatera Utara (USU) Hatta Ridho, S.Sos, MSP dalam diskusi di Medan, Rabu (28/1).
“TAPD dan Banggar harus jujur dalam penyusunan anggaran. Terlebih dahulu memperhitungkan potensi penerimaan sebelum menyusun rencana belanja. Agar terhindar dari defisit yang melampaui ambang batas yang ditentukan undang-undang sebesar 4,5 persen.
Asas kemandirian tersebut dimaksudkan agar penyusunan APBD benar-benar memperhitungkan kemampuan Pemprov Sumut dalam menggali potensi penerimaan dari sumber pendapatan daerah yang ada. Sedangkan asas penghematan dan prioritas artinya penetapan komponen belaja harus didasari oleh kebutuhan, sehingga alokasi anggaran yang ditetapkan dari APBD, dapat menghindari pemborosan.
Menurut Hatta, penetapan target penerimaan pada APBD 2014 dan APBD tahun sebelumnya terkesan harus menyesuaikan dengan rencana belanja. Padahal yang berlaku seharusnya adalah sebaliknya, yakni terget belanja harus menyesuaikan dengna target penerimaan. “Penetapan target penerimaan dilakukan dengan metode matematis, sedangkan target belanja kerapkali ditetapkan secara politis untuk mengakomodir kepentingan banyak pihak, sehingga hal inilah yang disinyalir menyebabkan pembengkakan komponen belanja,” katanya.
Hatta menganalisis bahwa lonjakan target penerimaan terlihat jelas pada 2012. Dimana terjadi kenaikan sebesar Rp3,3 triliun dari Rp5,35 trilun pada 2011, menjadi Rp8,6 triliun di 2012. Sementara realisasi hanya mencapai 92%. “Kenaikan sebesar ini harus dicapai dalam satu tahun anggaran, tentu saja tidak realistis,” katanya.
Penetepan target di 2012 seperti dipaksa untuk menyesuaikan alokasi belanja yang sangat ambisius. Sehingga ketika terget tidak tercapai, yang terjadi adalah defisit. Akibatnya banyak program/kegiatan yang sudah selesai dilaksanakan tetapi belum terbayarkan. Oleh karena itulah, Pemprov Sumut akhirnya berhutang kepada pihak ketiga termasuk kepada pemerintah Kabupaten/kota. “Tren penetapan target penerimaan terkesan mengikuti keinginan belanja inilah yang menyebabkan tak tercapainya realisasi penerimaan dalam 3 tahun terakhir,” kata Dosen FISIP USU ini.
Hal seperti ini menurutnya harus dirubah. Perubahan APBD jangan dipersepsikan sebagai kesempatan untuk menambah anggaran. TAPD dan Banggar harus bisa berfikir realistis terhadap potensi penerimaan serta mengoreksi program berdasarkan skala prioritas. Dirinya mencontohkan jika perlunya pengurangan belanja untuk beberapa hal seperti perjalanan dinas, monitoring dan evaluasi (monev) yang tidak efektif, serta biaya rapat-rapat. Bahkan pengurangan program seperti ini bisa mencapai 70% dibanding tahun anggaran sebelumnya.
Perlu dipertimbangkan, seperti potensi pendapatan dari bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). Penurunan pajaknya dari dari 15% pemilikan pertama menjadi 10% untuk pemilikan kedua, dinilai akan mempengaruhi pendapatan. Asumsinya adalah penerimaan dari BBNKB sangat bergantung pada transaksi jual beli kendaraan, sementara potensi penerimaan penerimaan akakn berkurang 5% setiap transaksi dari pemilikan pertama kepada pemilikan kedua.
Hatta mengajak seluruh pemangku kebijakan baik eksekutif maupun legislatif di daerah untuk lebih realistis dan jujur dalam mengalokasikan anggaran pendapatan dan belanja. “Intinya, para pembuat kebijakan yakni TAPD Pemprov Sumut dan Banggar DPRD Sumut harus menjaga keseimbangan antara penerimaan dengan belanja pada APBD 2015,” pungkasnya. (bal/ila)