Mengkriminalisasi Buruh
SUMUTPOS.CO- BANYAKNYA industri di Kecamatan Tanjungmorawa membuat persoalan-persoalan buruh terus bermunculan. Kali ini, PT Siantar Top yang berada di Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Medan-Tanjungmorawa Km 12,8 itu belum memberikan pesangon kepada 11 buruh yang dipecat.
Dalam Rapat Dengar Pendapatan (RDP) di Ruang Rapat Komisi B Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Deliserdang, terkuak PT Siantar Top merupakan perusahaan yang nakal. Pasalnya, PT Siantar Top membuat laporan polisi terhadap buruh yang melakukan aksi unjuk rasa.
“Buruh dalam menyuarakan aspirasinya tidak bisa ditangkap dan diadili. Itu diatur di dalam UU No 13 tahun 2003 tentang Tenaga Kerjaan. Tapi kenapa polisi menerima dan memproses laporan tersebut. Stop diskriminalisasi terhadap buruh PT Siantar Top. Buruh itu memang pihak yang lemah sehingga harus dilindungi,” ketus Wakil Ketua DPRD Kabupaten Deliserdang, Apoan Simanungkalit.
Unsur pimpinan koordinator Komisi B menilai PT Siantar Top telah melakukan kriminalisasi terhadap buruh-buruh yang melakukan unjuk rasa mengutarakan aspirasinya tersebut. Menurutnya, laporan yang diproses kepolisian itu sudah luar biasa.
Pun demikian, putusan Pengadilan Negeri (PN) Lubukpakam terhadap Parulian Simbolon (27) yang menjabat Sekretaris di Serikat Pekerja Nasional (SPN) PT Siantar Top tidak terbukti bersalah.
Namun, dalam RDP yang dihadiri pihak PT Siantar Top itu, Parulian terbukti bersalah karena melakukan unjuk rasa berdasarkan hasil putusan Pengadilan Hukum Industri (PHI) PN Medan. Akibatnya, Parulian tidak dapat menerima pesangon yang telah dipecat oleh perusahaan PT Siantar Top
Parulian mengatakan, tidak diperbolehkan bekerja oleh PT Siantar Top usai melakukan unjuk rasa pada tahun 2010 lalu. Wanita yang sudah bekerja 11 tahun di PT Siantar Top ini merasa dizolimin oleh perusahaan.
“Ini (salinan putusan PN Pakam) lebih kuat yang menyatakan saya tidak bersalah. Karena ada buktinya. Sekitar 121 orang yang melakukan unras, tapi yang lain sudah terima pesangon hanya Rp1,2 juta. Padahal, dalam salinan putusan PHI itu, Rp2,2 juta kami berhak menerima. Namun, itu dipotong karena mereka bilang telah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan dan mengganti kerusakan,” ujar Parulian.
Anggota DPRD Kabupaten Deliserdang yang duduk di Komisi B mengaku akan mempelajari hasil putusan dari PHI tersebut. Menurut Apoan, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Deliserdang juga seharus melindungi buruh-buruh karena telah diatur dalam UU No 7 tahun 1981.
“Adanya putusan MA tahun 2013 juga yang menyatakan tidak bersalah, DPRD berharap Disnaker memproses pesangon buruh-buruh ini. Kalau sudah inkrah, bayar semua pesangon ini,” sebut Apoan.
Sementara, PT Siantar Top yang diwakili Kepala Personalia dan Umum, Surya Dharma bersikukuh tidak akan menuruti permintaan buruh yang telah dipecat pihaknya.
“Yang belum ambil, 11 orang lagi. Mereka unjuk rasa menghalangi pekerja yang lain untuk masuk kerja, jadi melaporkan hal ini kami ke Polres karena penghalangan kerja. Kalau unjuk rasa itukan ada prosedurnya,” kata Surya.
Menurutnya, pesangon yang diterima buruh berdasarkan salinan putusan PHI PN Medan dipotong 15 persen. Ia membantah jika disebut memecat buruh. Pasalnya, kata dia, pihaknya telah melakukan pemanggilan terhadap buruh tersebut. Namun, buruh-buruh itu tidak datang untuk bekerja sehingga dianggap mengundurkan diri.
“Di mana kita bandalnya, kata UU bayar (pesangon) ya bayar. Kalau disuruh bayar luar putusan PHI, enggak mau lah kita,” pungkasnya. (ted/azw)