SUMUTPOS.CO – HAKIM Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan diharapkan menolak gugatan Walhi yang ingin membatalkan izin lingkungan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru yang dikeluarkan Gubernur Sumatera Utara (Sumut). Pasalnya, wilayah Sumut masih mengalami kekurangan pasokan listrik, dan keberadaan proyek itu juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Listrik itu kebutuhan dasar bagi rakyat. Kenyataannya sekarang listrik masih sering byar pet di Sumatera Utara,” kata Syaiful Wahyu, Koordinator Warga Peduli Listrik Sumatera Utara kepada wartawan, di Medan, Jumat (1/3).
Disebutkan Syaiful, keberadaan PLTA tidak akan mengorbankan keberadaan hutan. Mereka mengetahui hal ini, karena merupakan warga sekitar dan sudah melihat sendiri dan memahami situasinya. Mereka justru kecewa dengan adanya kelompok yang berupaya ‘mengail di air keruh’, dan menggelar aksi demonstrasi.
Pada Jumat (1/3) siang, warga sempat menggelar aksi unjuk rasa untuk menyatakan dukungan kepada pembangunan PLTA Batangtoru di depan Konsulat Jenderal Tiongkok di Medan. Aksi tersebut sebagai aksi tandingan terhadap demonstrasi yang dilakukan Walhi di tempat yang sama beberapa jam sebelumnya.
Menurut Syaiful, warga yang mengikuti aksi mendukung PLTA Batangtoru mewakili masyarakat Sumut. Warga yang berunjuk rasa juga datang dari Kecamatan Marancar dan Kecamatan Batang Toru, Tapanuli Selatan, yang merupakan lokasi pembangunan proyek PLTA. Mereka memohon hakim yang menyidangkan perkara, dapat melihat kenyataan saat ini bahwa masyarakat Sumut butuh dukungan listrik untuk kehidupannya. Anak-anak sekolah butuh listrik saat belajar. Listrik juga dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. “Tanpa listrik, berarti anak-anak harus menggunakan lampu pelita. Ini kembali ke tahun 1960-an,” katanya.
Teror Verbal
Syaiful menyatakan, semula ada masyarakat yang menolak pembangunan PLTA Batang Toru. Namun hal itu dikarenakan mereka belum mendapat informasi utuh bagaimana proyek tersebut dibangun. “Kini masyarakat mendukung karena paham pembangunan PLTA tidak mengancam kehidupan bahkan bisa mendukung kesejahteraan,” katanya.
Dia mengaku geram dengan adanya tudingan yang menyatakan, warga sebagai ‘pelacur’ karena perubahan sikap dari menolak menjadi mendukung pembangunan PLTA Batang Toru. Tudingan tersebut melukai perasaan masyarakat dan menjadi teror verbal bagi kaum perempuan. “Bayangkan perasaan suami yang istrinya disebut pelacur atau perasaan ayah yang anak perempuannya disebut pelacur. Ini teror,” kata Syaiful.
Dia juga meyayangkan Walhi yang selalu menakut-nakuti masyarakat soal dampak negatif pembangunan PLTA Batangtoru dengan data-data yang keliru. Padahal banyak dampak positif yang akan diperoleh dari pembangunan proyek itu. “Kalau masyarakat ditakut-takuti tiang listrik akan rubuh sehingga bisa menggangu jalan. Apakah lantas tiang listrik tidak boleh dibangun? Apa mau selamanya gelap gulita?” katanya.
Syaiful menyatakan, mereka tahu Walhi didukung LSM asing Paneco, dan punya agenda untuk membatalkan pembangunan PLTA Batangtoru. Namun mengaku tak tahu apa keuntungan yang diperoleh Walhi.
Abaikan Walhi
Pada aksi unjuk rasa, warga juga mendesak Walhi agar tidak berkampanye soal kepunahan orangutan di bentang alam Batang Toru. Menurut Abdul Gani Batubara, yang ikut menyampaikan orasinya, pernyataan, pembangunan PLTA Batang Toru akan membunuh orangutan adalah sesat. “Nenek moyang kami sejak dulu hidup berdampingan dengan orangutan tidak ada yang terganggu,” katanya.
Karenanya, mereka meminta agar Konjen Tiongkok mengabaikan kampanye yang dilancarkan Walhi dan berharap dukungan untuk PLTA Batang Toru tetap dilanjutkan. Abdul Gani menegaskan, kampanye yang dilakukan Walhi adalah demi pendanaan proyek dari asing. “Mereka tidak peduli dengan masa depan anak-anak kami,” katanya.
Surati Konjen Tiongkok
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Walhi Sumut, Dana Prima Tarigan bersama rekan-rekannya satu organisasi serta para aktivis lingkungan hidup lain, menyampaikan surat terbuka ke Konjen Tiongkok di Medan yang meminta agar proyek PLTA Batang Toru segera dihentikan. Surat itu mereka antar langsung ke rumah dinas Konjen Tiongkok di Jalan Walikota, Medan, Jumat (1/3) siang.
Sayangnya, meski sudah satu jam lebih mereka berada di luar gerbang utama, tidak ada satupun perwakilan Konjen Tiongkok yang bersedia menemui mereka. “Surat terbuka itu akhirnya kami sampaikan melalui petugas Satpam,” ujar Dana.
Ia berharap, Konjen Tiongkok di Medan membaca dan meneruskan ke pemerintahnya di negeri Tirai Bambu. Dalam surat tersebut, Walhi menganggap Pemerintah Tiongkok, meski secara tidak langsung, terlibat dalam rencana pembangunan PLTA Batang Toru karena proyek tersebut dibiayai Bank of China.
Bank of China merupakan bank komersial keempat terbesar di Republik Rakyat Tiongkok. Bank ini dibentuk oleh Pemerintah Tiongkok untuk menggantikan Bank Pemerintah Imperial China. Bank of China juga menjadi bank tertua di Tiongkok yang didirikan pada 1912. Bank ini disebut-sebut mengucurkan sekitar Rp27 triliun untuk mendukung pembiayaan proyek Batangtoru.
“Kami meminta Bank of China, melalui Pemerintah Tiongkok, untuk segera menghentikan pendanaan proyek PLTA Batangtoru karena akan berdampak besar terhadap lingkungan,” ujar Dana.
Surat terbuka ini merupakan upaya lain dari Walhi dalam penolakannya terhadap proyek Batangtoru. Sebelumnya mereka sudah mengajukan gugatan ketatausahaan atas izin lingkungan proyek Batangtoru yang akan diputuskan pada 4 Maret nanti. (ila/dvs)