Site icon SumutPos

Sengketa Tanah Warga dengan PTPN II di Sei Semayang, BPN Deliserdang Dianggap Tak Netral

DELISERDANG, SUMUTPOS.CO – Sengketa tanah antara warga dengan PTPN II di Jalan Serasi, Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Deliserdang, terus bergulir.

BERSAMA: Sejumlah penggugat bersama tim kuasa hukum foto bersama usai beri keterangan pers, terkait sengketa tanah antara warga dengan PTPN II di Jalan Serasi, Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Deliserdang, Rabu (3/11).

Di lahan tersebut, 52 warga menggugat I Gede Hurip, PTPN II, BPN Deliserdang dan notaris atas permasalahan tanah yang dibeli para penggugat secara kaplingan dari I Gede Hurip.

Kasus sengketa tanah antara warga dengan PTPN II tersebut bak bola salju. Pasalnya, sudah beberapa kali melakukan persidangan di Pengadilan Negeri Lubukpakam, hingga melibatkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Deliserdang sebagai tergugat, namun kasus tersebut belum juga tuntas.

Sesuai dengan Register Nomor 78/Pdt.G/2021/PN.LBP. Pengadilan Negeri Lubuk Pakam sudah pernah menggelar sidang lapangan yang dipimpin langsung hakim yang diketuai Rina Lestari Br Sembiring, guna mendengar keterangan pihak para penggugat dan tergugat terhadap tanah tersebut.

Akan tetapi, para penggugat yang didampingi tim kuasa hukum, sangat menyayangkan pihak BPN Deli Serdang tidak jadi melakukan pengecekan titik koordinat atas tanah tersebut saat dilaksanakan sidang lapangan. 

Seorang penggugat, H Hasmi Adami didampingi tim kuasa hukum, kepada awak media, masalah tersebut terungkap setelah dibeli oleh warga dari salah satu tergugat yaitu I Gede Hurip sekitar 2001. Namun, pada 2018 PTPN II mengklaim jika tanah tersebut termasuk ke dalam areal HGU Nomor 90. 

“Pihak PTPN II juga melakukan okupasi atau membuldozer tanaman yang sudah ditanam warga di tanah itu. Menjadi timbul pertanyaan dari kami kenapa baru di tahun 2018 atau setelah 17 tahun PTPN II melakukan okupasi?” bebernya, Rabu (3/11). 

Dikatakannya, secara fakta telah terbukti sebagaimana keterangan kuasa hukum PTPN II dalam persidangan di PN Lubukpakam, bahwa PTPN II pada 2018 menguasai dan mengusahai objek perkara dengan menanami tanaman tebu.

“Jelas secara fakta memang benar jika warga sebelumnya yang menguasai dan mengusahai lahan objek aquo yakni sejak tahun 2001, sedangkan PTPN II mengklaim pada tahun 2018,” kata Hasmi. “Sudah terbukti juga jika warga selaku para penggugat yang membayar PBB atas tanah aquo tersebut”.

Andi Ardianto selaku tim kuasa hukum para penggugat sangat menyayangkan atas tindakan BPN Deliserdang yang terkesan tidak terbuka dan dinilai adanya keberpihakan kepada salah satu pihak yang berperkara dalam perkara ini.

“Seharusnya badan pertanahan Deliserdang dapat membuka data titik koordinat terkait status tanah yang saat ini berperkara. Padahal sebelumnya kami telah mengirimkan surat permohonan untuk penentuan titik koordinat dimaksud, apakah tanah yang menjadi objek perkara termasuk kedalam HGU No.90 atau tidak? Sehingga biar jelas terang benderang apakah status tanah tersebut termasuk ke dalam HGU atau tidak,” ungkapnya.

Namun dalam hal ini, BPN Deliserdang hanya memberikan jawaban bahwa hal tersebut tidak dapat mereka berikan dengan alasan tanah itu masih dalam berperkara.

“Dengan adanya hal itu terkesan BPN Deliserdang tidak mau menunjukkan bukti titik koordinat. Padahal sebelumnya juga pada saat persidangan ketua majelis hakim sudah memerintahkan kepada pihak BPN Deliserdang untuk membawa alat penentuan titik koordinat pada saat sidang lapangan. Namun hal itu tidak dilakukan, sehingga timbul pertanyaan besar bagi kami, ada apa dengan BPN Deliserdang?” urainya. 

Rekan Andi, Khairil Anwar Damanik, berharap agar majelis hakim PN Lubukpakam untuk bersikap netral dalam menangani kasus tersebut, dan bergeming apabila ada intervensi dari pihak manapun.

“Sehingga dalam mengambil keputusan nantinya sesuai dengan fakta hukum dan sesuai dengan rule of the law,” pungkasnya. (prn/azw) 

Exit mobile version