Kebun Sawit Ketua DPRD Sumut Terancam Dihutankan
LANGKAT- Pemkab Langkat diminta tidak hanya sekedar cakat atau omong doang terkait keluarnya surat peringatan penghentian aktifitas alih fungsi lahan di hutan pesisir. Dikhawatirkan, sebagai dalih di balik satu kepentingan tertentu, idealnya diikuti aksi memberangus pelanggaran.
“Kalau surat peringatan tersebut tidak diikuti aksi atau sikap tegas menindak pelanggaran alih fungsi lahan di hutan pantai, itu sama dengan omong doang atau asal cakap saja, dan dikhawatirkan jangan-jangan ada suatu kepentingan dibelakangnya,” kata Direktur Investigasi Lembaga Pengkajian Pelayanan Masyarakat (LPPM) Pusat, Misno Adi, Minggu (4/12).
Dia menuturkan pihaknya memiliki surat fotocopy No 522-2849/Pem/2011 ditanda tangani Sekda Langkat Surya Djahisa tentang keseriusan Pemkab menghentikan kegiatan perambahan hutan dan alih fungsi kawasan pesisir pantai Kabupaten Langkat. Bahkan, menerakan ultimatum disebut-sebut ditujukan kepada 13 perusahaan dan usaha perkebunan kelapa sawit illegal untuk segera menghentikan aktifitas.
“Kami akan mengawasinya, jika saja surat itu kemudian hanya akal-akalan untuk kepentingan lain, kami akan datangi Pemkab. Kalau serius kami mendukung dan bila melenceng kami akan ambil sikap,” tegasnya.
Dia mengingatkan, keberadaan perkebunan di hutan pesisir selain menghancurkan biota air laut dan merusak hutan, ternyata bertentangan dengan UU No 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekositemnya. Diteruskan dengan UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, UU No 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Kabag Humas Pemkab Langkat, H Syahrizal menjelaskan secara detail belum menguasai karena belum menerimanya. Namun, terkait kebijakan sudah dikeluarkan maka tidak mungkin pihaknya mengabaikan. “Apabila sudah ada kebijakan (surat peringatan) itu dikeluarkan, maka tidak mungkin diabaikan. Sebagai bentuk peringatan sifatnya, merupakan sinyal kepada pengusaha agar tidak terkejut nantinya apabila Pemkab bersikap nantinya,” urai dia seraya menegaskan Pemkab berlakukan sama kepada siapa saja tanpa terkecuali.
Seperti diketahui, akibat kegiatan alih fungsi lahan atau hutan pesisir pantai maka ekosistem kawasan mangrove baik di areal penggunaan lain (APL) maupun pada kawasan hutan negara terganggu bahkan rusak.
Secara terpisah, sebelumnya Sekdakab Langkat Surya Djahisa kepada wartawan menjelaskan peringatan sebagai tindak lanjut keputusan Bupati Langkat No522-30/K/2011 tanggal 18 Agustus 2011 tentang pembentukan tim penertiban alih fungsi lahan di pesisir Kabupaten Langkat, diikuti keputusan rapat Setdakab Langkat 14 November 2011.
Bahkan, melalui surat No:522-2912/HUTBUN/2011 tanggal 25 November 2011 juga di tanda tangani Sekda atas nama Bupati Langkat tentang melakukan tindakan hukum terhadap aktivitas perambahan kawasan hutan di pesisir Kabupaten Langkat. Pemkab menujukan kepada Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) selaku pembina SPORC Brigade Macan Tutul di Medan. Menyusul, ketiadaan Pemkab Langkat memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang kehutanan.
Diantara 13 perusahaan yang diultamtum Bupati Langkat itu yakni, pengusaha kebun sawit Dian/Aan di dusun III Kwala Serapuh Tanjungpura, Bastami/Aling di Pulau Sembilan Pangkalansusu, Ali Candra dan Aliang di Desa Pasar Rawa Gebang, Jhony/Rudi dan Aliang di Desa Selotong Secanggang, Albert/Tan Dju Huat dan Joni di Securai Selatan Babalan, Abien di Teluk Meku Babalan, H Saleh Bangun Ketua DPRD Sumut di Desa Lubuk Kasih Kecamatan Brandan Barat, Direktur PT Pelita Nusantara Sejahtera (PNS) dan Sutopo/Sutrisno alias Akam di Desa Lubuk Kertang Brandan Barat. (mag-4)
Keseriusan menghentikan kegiatan perambahan hutan dan alih fungsi kawasan hutan pesisir pantai di Kabupaten Langkat, Pemkab Langkat ultimatum 13 perusahaan dan usaha perkebunan kelapa sawit illegal agar segera meninggalkan aktifitasnya. Dalam ultimatum itu, satu diantaranya ditujukan ke Ketua DPRD Sumut, Saleh Bangun.
Peringatan keras itu dikeluarkan Bupati Langkat Ngogesa Sitepu yang ditanda tangani Sekretaris Daerah Kabupaten (Sekdakab) Langkat Drs Surya Djahisa M Si, No 522-2849/Pem/2011 tanggal 17 Nopember 2011 tentang peringatan segera menghentikan aktifitas alih fungsi lahan pesisir Kabupaten Langkat.
Surat itu ditujukan ke sejumlah pengusaha kebun sawit Dian/Aan di dusun III Kwala Serapuh Tanjungpura, Bastami/Aling di Pulau Sembilan Pangkalansusu, Ali Candra dan Aliang di Desa Pasar Rawa Gebang, Jhony/Rudi dan Aliang di Desa Selotong Secanggang, Albert/Tan Dju Huat dan Joni di Securai Selatan Babalan, Abien di Teluk Meku Babalan, H Saleh Bangun Ketua DPRD Sumut di Desa Lubuk Kasih Kecamatan Brandan Barat, Direktur PT Pelita Nusantara Sejahtera (PNS) dan Sutopo/Sutrisno alias Akam di Desa Lubuk Kertang Brandan Barat. Menurut Surya Djahisa kepada wartawan Jumat (2/12),peringatan itu sebagai tindak lanjut keputusan Bupati Langkat nomor: 522-30/K/2011 tanggal 18 Agustus 2011 tentang pembentukan tim penertiban alih fungsi lahan di pesisir Kabupaten Langkat.Dan keputusan rapat Setdakab Langkat 14 November 2011.
Pemkab Langkat juga dengan suratnya nomor :522-2912/HUTBUN/2011 tanggal 25 November 2011 yang ditanda tangani Sekdakab Langkat Surya Djahisa atas nama Bupati Langkat tentang melakukan tindakan hukum terhadap aktivitas perambahan kawasan hutan dipesisir Kabupaten Langkat.Ditujukan kepada Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) selaku pembina SPORC Brigade Macan Tutul di Medan.Hal itu terkait ketiadaan Pemkab Langkat belum terdapat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang kehutanan.
Kabag Humas Pemkab Langkat Syahrizal membenarkan adanya perigatan keras terhadap pengusaha perkebunan sawit tanpa izin di pesisir Langkat yang ditujukan kepada masing-masing pemilik kebun sawit. Ditemui terpisah,Direktur Investigasi Lembaga Pengkajian Pelayanan Masyarakat (LPPM) Pusat,Misno Adi, mendukung keseriusan Pemkab Langkat dalam menghentikan kegiatan aksi pengrusakan kawasan hutan. “Pikirkan ekosistem lingkungan demi keselamatan anak bangsa dan perekonomian petani/nelayan,” katanya.
Berdasarkan aturannya, kerusakan biota air laut hutan bertentangan dengan UU No 5/1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekositemnya. Juga bertentangan dengan UU No 41/1999 tentang Kehutanan, UU No 27/2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,UU No 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (wis/smg)