Site icon SumutPos

Gatot Ngaku Tak Tahu Ada Uang Ketok

FOTO: FEDRIK TARIGAN/ JAWA POS
Mantan Gubernur Sumut Gatot Pudjo saat berada di ruang sidang Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (5/12/18). Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, kembali menyidangkan lima mantan anggota DPRD Sumatera Utara, jaksa KPK menghadirkan 11 saksi yang diperiksa secara bersamaan.

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho mengaku tidak tahu adanya uang ketok palu untuk DPRD Sumut tekait pengesahan APBD. Gatot mengklaim, baru mengetahui soal uang ketok palu itu, setelah kasus ini dibawa ke persidangan.

Pengakuan itu disampaikan Gatot saat dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan lima terdakwa penerima suap uang ketok palu DPRD Sumut periode 2009-2014. Lima mantan Anggota DPRD Sumut itu yakni Tiaisah Ritonga, Rizal Sirait, Roslinda Marpaung, Fadli Nurzal, dan Linawati Sianturi menjalani sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (5/12).

Selain Gatot Pujo, sejumlah saksi yang merupakan mantan pejabat lingkup Pemprov Sumut juga dihadirkan. Diantaranya Hasban Ritonga (mantan Sekda Prov Sumut), Rajali, (mantan Kadispenda Sumut), HM Fitrius (mantan Asisten Admin Umum), Safrudin (mantan Kepala Biro Perlengkapan dan Pengelolaan Aset Sekda Prov sumut), Edi Saputra Salim (mantan Kepala Dinas Pertambangan Prov Sumut), Binsar Sitompul (Kepala Dinas Pengelolaan SDA Prov Sumut). Siti Hartati Suryantini (mantan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Sumut), Herawati (Kepala Dinas Perkebunan Prov Sumut), Zoni Waldi (mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan) dan Zulkarnain (mantan anggota DPRD Sumut) saat ini wiraswasta.

JPU KPK mencecar Gatot seputar duit ketok palu yang diduga diberikan kepada sejumlah anggota DPRD Sumut. Menurut jaksa, uang suap diberikan Gatot agar para terdakwa mengesahkan Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan (LPJP) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Sumut TA 2012. Pengesahan perubahan APBD Sumut TA 2013, Pengesahan APBD Sumut 2014, pengesahan perubahan APBD Sumut tahun 2014 serta pengesahan terhadap APBD Provinsi Sumut tahun 2015.

Masih menurut jaksa, uang tersebut diberikan melalui Muhammad Alinafiah, Randiman Tarigan selaku Sekwan Provinsi Sumut, Baharudin Siagian selaku Kepala Biro Keuangan Provinsi Sumut, dan Ahmad Fuad Lubis. Jaksa menjelaskan, para pimpinan DPRD Sumut itu meminta uang kompensasi yang disebut sebagai uang ketok yang jumlahnya berbeda-beda di tiap tahun untuk diserahkan ke seluruh anggota dewan.

Kejadian itu terus berulang setiap pihak eksekutif mengajukan pengesahan LPJP APBD maupun pengesahan perubahan APBD, dan pengesahan APBD Sumut mulai dari tahun 2012 hingga 2015.

Dalam kesaksiannya, Gatot membantah pernah membahas APBD maupun LPJ dengan anggota DPRD. Dia mengaku hanya hadir saat rapat paripurna dan saat pembahasan anggaran bersama DPRD, eksekutif waktu itu menurutnya diwakili Ketua TAPD yaitu Sekda. Gatot pun berkilah dia tahu ada uang ketok palu setelah kasus ini dibawa ke persidangan.

Gatot juga mengaku tak pernah mendapat laporan terkait permintaan uang dari anggota maupun pimpinan DPRD tersebut. Sekda, kata dia, hanya melapor saat pembahasan KUA/PPAS. “Di awal saja (melapor) terkait dengan KUA/PPAS,” kata Gatot.

JPU kemudian mengkonfrontir Gatot dengan BAP-nya saat dimintai keterangan penyidik. Dalam BAP nomor 8 tersebut, Gatot mengatakan, selama Gubernur Sumut periode

2013-2018, terdapat beberapa permintaan dari anggota DPRD 2009-2014 dan 2014-2019.

Permintaan-permintaan tersebut disampaikan dalam rapat antara TAPD yang beranggotakan Sekda, beberapa pejabat Pemprov dan Banggar DPRD Sumut. Dari rapat itu ada kesepakatan uang aspirasi, plafon anggaran untuk bansos dan uang ketok sidang.

Menjawab JPU, Gatot mengatakan tak membantah keterangan dalam BAP tersebut. Menurutnya mekanismenya memang seperti itu. “Keterangan saya tidak saya bantah. Tapi saya ingin menambahkan bahwa laporan dari saudara Sekda tidak pernah melaporkan itu. Tapi saya tahunya bahwa mekanismenya seperti itu,” jelasnya.

Dalam kasus ini, para anggota dewan didakwa telah melanggar Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 jo Pasal 18 Undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.(bbs/adz)

Exit mobile version