MEDAN, SUMUTPOS.CO – Merebaknya virus hog cholera (kolera babi) dan African Swine Fever (ASF) atau demam babi Afrika di Sumut terus berkembang. Jika sebelumnya hanya menyerang di 16 kabupaten/kota, kini virus tersebut diduga telah menyebar di 18 kabupaten/kota.
Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatra Utara, Muhaimin, menyebutkan, kasus kematian babi karena kedua virus itu juga ditemukan di Kabupaten Batubara dan Mandailing Natal (Madina). Di Kabupaten Batubara terjadi kematian sebanyak 66 ekor dan Mandailing Natal 6 ekor. “Itu di Madina dan Batubara,” katanya, Senin (6/1).
Mengenai virus ASF, mereka mengaku belum mendapatkan surat dari Kementrian Pertanian. Dijelaskannya, salinan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 820/KPTS/PK.320/M/2019 tentang pernyataan wabah penyakit demam babi afrika (African Swine Fever) pada beberapa kabupaten/kota di Provinsi Sumatra Utara diketahuinya melalui aplikasi percakapan WhatsApp.
“Itu ditetapkan Menteri pada 12 Desember 2019, tapi surat resmi dari Kementerian belum kami terima. Hanya dari WA saja. Mungkin itu ditujukan ke gubernur. Belum ada tembusan, belum ada yang resmi dari gubernuran,” ungkapnya.
Karena itu, lanjut Muhaimin, pihaknya masih menunggu arahan dari gubernur untuk penanganan selanjutnya. “(Soal pemusnahan), kita masih menunggu arahan dari gubernur lah,” jelasnya.
Sebelum ini, 16 kabupaten dinyatakan sebagai daerah wabah penyakit demam babi Afrika yakni Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Karo, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Langkat, Tebing Tinggi, Pematang Siantar dan Medan.
Kepala Balai Veteriner Medan, Agustia mengatakan, 16 kabupaten/kota tersebut merupakan kantong populasi babi di Sumut. Virus hog cholera maupun ASF dapat menyerang dengan cepat.
Menyikapi ini, Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi, meminta waktu satu bulan kepada masyarakat, sebelum mengeluarkan keputusan terkait persoalan kolera babi di wilayah ini. Edy belum mau menyatakan bahwa virus ini sudah masuk kategori bencana, karena sifatnya menyebar hingga hampir ke seluruh kabupaten/kota di Sumut.
“Ada dilema di situ. Kalau saya iyakan ini bilang bencana, semua babi ini harus dimusnahkan. Kasih saya waktu satu bulan,” katanya menjawab wartawan di kantor Gubsu, Senin (6/1) sore.
Ia mengatakan, saat ini jumlah keseluruhan babi mati terserang virus ini mencapai 42 ribu lebih. Pemprovsu, kata dia, belum mampu menerapkan sistem seperti di negara Tiongkok. Di mana, memusnahkan seluruh hewan ternak agar virus tidak tersebar luas. “China butuh 20 tahun berikutnya tidak boleh memelihara babi sampai dinyatakan tempat itu steril. Mampukah itu dilakukan, saya masih mencari peluang lain,” kata dia.
Saat ini, kata dia, tim antisipasi penyebaran virus sudah diperketat. Di mana, posko-posko terus mengawasi keluar masuknya kendaraan yang membawa hewan ternak ini. Tim ini akan bekerja untuk mengawasi babi-babi agar tidak keluar dan masuk begitu saja di Sumut. Ini dilakukan untuk mengantisipasi penyebaran virus hingga keluar daerah. “Yang kita antisipasi masuknya babi dari luar ke dalam dan sebaliknya, supaya tidak menular ketempat lain,” ucapnya.
Sama seperti keterangan sebelumnya, Gubsu mengatakan, posko juga akan memantau peternak agar tidak membuang babi sembarangan. Nantinya, tim akan melakukan penguburan bangkai ini dengan menggunakan alat berat. “Memperketat pos-pos yang ada babi-babi yang mati ini nantinya dikubur. Nanti masyarakat tidak membuang ke tempat lain,” ujarnya.
Kementerian Pertanian sebelumnya telah menyatakan 16 kabupaten/kota di Sumut sudah terjangkit wabah ASF. Untuk mengatasi wabah virus tidak menyebar luas, Edy mengatakan seluruh babi harus dimusnahkan secara masal. “Iya memang terjangkit ASF, selayaknya itu dimusnakan,” ucapnya.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan, Azhar Harahap mengatakan, pemerintah tidak memiliki anggaran untuk membiayai ganti rugi babi milik peternak ataupun perusahaan, jikalau penanganannya dilakukan dengan cara memusnahkan seluruhnya. Sebab, saat ini masih ada ribuan ekor babi hidup milik masyarakat dan perusahaan. Apabila per ekor babinya dihargai Rp 2 juta, pemerintah harus mengeluarkan anggaran yang besar untuk dapat mengganti ruginya. “Kalau di Sumut tidak ada menganggarkan dana untuk antisipasi penanganan masalah ini,” ucapnya.
Walaupun Kementan sudah menganggarkan Rp5 miliar untuk membantu Pemerintah Sumut mengantisipasi penyebaran virus ini.l, Azhar mengatakan tidak akan menyentuh anggaran yang dikucurkan dari pusat untuk menangani kasus ini. “Anggaran Rp5 M itu pusat yang menggunakannya, tidak kita sentuh itu uangnya,” ujarnya.
Pihaknya seakan tidak mampu untuk memusnahkan seluruh hewan ternak ini, karena tidak memiliki anggaran. Seakan lepas tangan berulangkali dirinya mengatakan akan melakukan rapat terlebih dahulu dengan DPRD Sumut untuk dapat mengatasi masalah ini. “Besok kita rapat dulu untuk mengatasi masalah ini,” ujarnya.
Kemudian, dirinya juga memprogramkan aturan bagi perusahaan peternak babi. Di mana nantinya setiap perusahaan tidak boleh over kapasitas atau kelebihan jumlah. Akan tetapi, dirinya tidak menyebut berapa jumlah setiap perusahaan memelihara babi. “Besok kita akan adakan rapat untuk membahas bagaimana penanganan babi miliki perusahaan. Karena populasi yang ada di perusahaan sudah cukup tinggi,” ujarnya.
Masyarakat Jangan Khawatir
Sementara, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo meminta pada masyarakat untuk tidak khawatir. “Tidak perlu khawatir lagi,” ujarnya di Rumah Jabatan Gubernur Bali, Denpasar, Sabtu (4/1) lalu.
Pihaknya mengklaim, pemerintah sudah menangani wabah tersebut dengan baik. “Kami sudah tangani dengan baik itu,” lanjutnya.
Bersama Pemerintah Daerah Sumut, pihaknya telah melakukan sejumlah upaya penanggulangan. Penanggulangan dilakukan dengan mengisolasi lokasi yang terjangkit dan memusnahkan babi yang terjangkit. “Kami melakukan isolasi penuh dan melakukan pemeriksaan ketat. Pemusnahan hanya untuk membersihkan,” katanya.
Ia menyebut, ada dampak ekonomi yang dirasakan warga Sumut akibat flu babi. Namun, lanjutnya, dampak tersebut memiliki skala kecil. “Dampaknya tentu ada, tapi skalanya kecil. Jadi tak perlu khawatir,” tegasnya lagi. (prn/bbs)