25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Mengupas “Budaya Korupsi” Dalam Kepemimpinan di Indonesia

ilustrasi

SUMUTPOS.CO – Korupsi sudah tidak asing lagi bagi bangsa indonesia, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2019, IPK Indonesia naik dua poin, dari 38 menjadi 40, rangkingnya dari 89 menjadi 85. Menurut peneliti Transperancy Internasional Indonesia ( TII ) Wawan Heri Suyatmiko, IPK Indonesia berada diperingkat 4 di antara negara negara Asia Tenggara, yang mana peringkat pertama ditempati oleh Singapore dengan 85 poin, kedua Brunei Darussalam dengan poin 60, dan Malaysia dengan poin 53.

Dari data ICW tentang penindakan kasus korupsi pada tahun 2018, tercatat 454 kasus korupsi yang ditangani pada tahun 2018, dan 1.087 tersangka. Tidak dapat dibayangkan melihat para petinggi negara yang se harusnya menjadi panutan masyarakat, tega mengambil ataupun men curi uang yang bukan haknya, apalagi mereka dalam masa jabatannya su dah mendapatkan gaji dan tunjangan yang dalam jumlah besar, bahkan fasilitas yang sangat memadai.

Salah satu syarat menjadi seorang pemimpin adalah dengan adanya sifat jujur , adil, beretika, dan melayani, yang harus direalisasikan atau diwujudkan. Cara memberantas korupsi dimulai dari diri sendiri, yakni dengan cara menanamkan rasa jujur, jangan pernah ada niat untuk memperkaya diri sendiri, selalu merasa cukup atas gaji dan tunjangan yang telah diterima, dan harus memiliki skill memimpin sehingga tidak memiliki potensi memainkan laporan keuangan dalam organisasi. Selain dari diri sendiri, hukum di Indonesia juga harus lebih ditingkatkan dan lebih di tegakkan lagi, dan harus diiringi dengan pondasi iman yang kuat agar tidak terjadi suap menyuap.

Indonesia sudah selayaknya merevisi atau meningkatkan bentuk hukuman untuk pelaku korupsi di Indonesia sabagai wujud efek jera, karena dengan keluar masuk penjara adalah hal yang sudah sangat lumrah bagi para pemimpin di negara Indonesia.

Korupsi di Indonesia bukan lagi merupakan suatu hal yang membuat para pemimpin ataupun pejabat malu dan takut akan dosa. Apalagi banyak pejabat yang sudah cacat hukum yang menyandang status “mantan narapidana” masih bisa mengikuti pemilihan DPRD, bagaimana bisa lolos ya ? tidak sebanding dengan pelamar yang ingin melamar pekerjaan di suatu perusahaan atau instasi yang harus melampirkan ‘SKCK’ sebagai salah satu syarat untuk melamar.

Seperti halnya jenis hukuman korupsi yang diterapkan di beberapa negara:

· China : China adalah negara yang memberlakukan hukuman mati bagi para koruptor tanpa terkecuali, selain hukuman mati , juga para koruptor digantung , ditembak mati, dan ada yang dipenjara seumur hidup.

· Korea Selatan : Negara gingseng ini memberlakukan hukuman penjara dan sanksi sosial yaitu dikucilkan dari masyarakat dan keluarga . seperti kasus Roh Moo Hyun, yang terjerat kasus korupsi , membuatnya tidak tahan menanggung rasa malu sehingga ia memilih bunuh diri dengan menerjunkan dirinya dari atas bukit. Berbeda dengan Indonesia, sudah jelas terjerat kasus korupsi masih bisa berlibur keluar negeri, aduh miris melihatnya………

· Arab Saudi : Negara ini memberlakukan hukuman pancung dan kisos ( potong tangan ) bagi para pelaku korupsi yang tega mengambil uang rakyatnya. Wah kalau di indonesia hukuman seperti ini bakal mendapat kontra karena pasti tidak ada yang rela kehilangan tangannya dan dipancung kakinya

· Malaysia : Negara ini ternyata sejak tahun 1961 sudah memiliki UU anti korupsi yang bernama ‘ Prevention Of Corruption Act’. Pada tahun 1997 , Malaysia memberlakukan UU anti Coruuption Act yang akan menghukum gantung para koruptor.

· Amerika Serikat : Negara Paman Sam ini memberlakukan hukuman bagi para koruptor di negaranya berupa penjara dan dijatuhi denda, hukuman yang diberikan minimal 5 tahun, untuk kasus berat pelaku korupsi bisa diusir dari negara itu.

Dari beberapa bentuk hukuman korupsi di negara negara tersebut diatas adalah sebagai bentuk acuan bagi Indonesia yang suatu saat dapat memberlakukan salah satu bentuk hukuman tersebut. Karena hukuman beberapa tahun penjara di indonesia tidak dapat memberikan “efek jera” terhadap para pelaku korupsi di negara ini, dimana hukuman beberapa tahun penjara bahkan bisa mendapatkan estimasi atau penguragan kurungan penjara sehingga membuat para pelaku tetap bisa merasa menjadi “enak”, tidak salah masyarakat Indonesia menyebut negara ini adalah negara yang hukumnya bisa dibeli. Dimana yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin.

Mantan hakim Agung Artidjo Alkosta, dikantor ICW, Selasa ( 29/5/2018), seperti dilansir dari Kompas.com mengatakan “karena koruptor Indonesia kalau ditangkap itu saya jengkel, masih bisa cengengesan di TV, itu kan menghina rakyat Indonesia”.

Maka keterkaitan antara kepemimpinan dengan korupsi secara umum dapat dihubungkan, namun tidak semua pemimpin melakukan tindakan – tindakan korupsi. Seorang pemimpin yang secara sengaja melakukan tindakan korupsi adalah pemimpin yang mempunyai sifat kepemimpinan yang buruk, pemimpin yang mempunyai sifat adil, jujur, beretika, dan melayani pastinya akan takut melakukan tindakan penyimpangan seperti korupsi, karena jelas tindakan korupsi akan sangat merugikan negara dan masyarkatnya.

Budaya korupsi di Indonesia memang sebuah penyakit yang kronis. Budaya korupsi masih saja marak di seluruh dunia bahkan di Negara Kita sendiri Indonesia, ini adalah tugas yang berat bagi Komisi Pemberantasan Korupsi bahkan pemerintah kita sendiri harus berpikir keras apa hukuman atau ganjaran yang dapat membuat para pelaku korupsi ini jera. Menghapus budaya korupsi haruslah dengan membangun mindset bahwa jabatan adalah alat untuk pelayanan dan integritas, bukan alat untuk mendapatkan keuntungan dan kekayaan. Sudah waktunya untuk mengakhiri budaya korupsi dan kita juga sebagai anak muda generasi penerus bangsa harus melawan korupsi yang membudaya di Indonesia ini. (*)

Penulis:

Dr Elisabeth MEc, Siti Kemala Sari Tambunan SAk, Beby Asdilivira SE, Lisa Gresti Damanik SE

ilustrasi

SUMUTPOS.CO – Korupsi sudah tidak asing lagi bagi bangsa indonesia, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2019, IPK Indonesia naik dua poin, dari 38 menjadi 40, rangkingnya dari 89 menjadi 85. Menurut peneliti Transperancy Internasional Indonesia ( TII ) Wawan Heri Suyatmiko, IPK Indonesia berada diperingkat 4 di antara negara negara Asia Tenggara, yang mana peringkat pertama ditempati oleh Singapore dengan 85 poin, kedua Brunei Darussalam dengan poin 60, dan Malaysia dengan poin 53.

Dari data ICW tentang penindakan kasus korupsi pada tahun 2018, tercatat 454 kasus korupsi yang ditangani pada tahun 2018, dan 1.087 tersangka. Tidak dapat dibayangkan melihat para petinggi negara yang se harusnya menjadi panutan masyarakat, tega mengambil ataupun men curi uang yang bukan haknya, apalagi mereka dalam masa jabatannya su dah mendapatkan gaji dan tunjangan yang dalam jumlah besar, bahkan fasilitas yang sangat memadai.

Salah satu syarat menjadi seorang pemimpin adalah dengan adanya sifat jujur , adil, beretika, dan melayani, yang harus direalisasikan atau diwujudkan. Cara memberantas korupsi dimulai dari diri sendiri, yakni dengan cara menanamkan rasa jujur, jangan pernah ada niat untuk memperkaya diri sendiri, selalu merasa cukup atas gaji dan tunjangan yang telah diterima, dan harus memiliki skill memimpin sehingga tidak memiliki potensi memainkan laporan keuangan dalam organisasi. Selain dari diri sendiri, hukum di Indonesia juga harus lebih ditingkatkan dan lebih di tegakkan lagi, dan harus diiringi dengan pondasi iman yang kuat agar tidak terjadi suap menyuap.

Indonesia sudah selayaknya merevisi atau meningkatkan bentuk hukuman untuk pelaku korupsi di Indonesia sabagai wujud efek jera, karena dengan keluar masuk penjara adalah hal yang sudah sangat lumrah bagi para pemimpin di negara Indonesia.

Korupsi di Indonesia bukan lagi merupakan suatu hal yang membuat para pemimpin ataupun pejabat malu dan takut akan dosa. Apalagi banyak pejabat yang sudah cacat hukum yang menyandang status “mantan narapidana” masih bisa mengikuti pemilihan DPRD, bagaimana bisa lolos ya ? tidak sebanding dengan pelamar yang ingin melamar pekerjaan di suatu perusahaan atau instasi yang harus melampirkan ‘SKCK’ sebagai salah satu syarat untuk melamar.

Seperti halnya jenis hukuman korupsi yang diterapkan di beberapa negara:

· China : China adalah negara yang memberlakukan hukuman mati bagi para koruptor tanpa terkecuali, selain hukuman mati , juga para koruptor digantung , ditembak mati, dan ada yang dipenjara seumur hidup.

· Korea Selatan : Negara gingseng ini memberlakukan hukuman penjara dan sanksi sosial yaitu dikucilkan dari masyarakat dan keluarga . seperti kasus Roh Moo Hyun, yang terjerat kasus korupsi , membuatnya tidak tahan menanggung rasa malu sehingga ia memilih bunuh diri dengan menerjunkan dirinya dari atas bukit. Berbeda dengan Indonesia, sudah jelas terjerat kasus korupsi masih bisa berlibur keluar negeri, aduh miris melihatnya………

· Arab Saudi : Negara ini memberlakukan hukuman pancung dan kisos ( potong tangan ) bagi para pelaku korupsi yang tega mengambil uang rakyatnya. Wah kalau di indonesia hukuman seperti ini bakal mendapat kontra karena pasti tidak ada yang rela kehilangan tangannya dan dipancung kakinya

· Malaysia : Negara ini ternyata sejak tahun 1961 sudah memiliki UU anti korupsi yang bernama ‘ Prevention Of Corruption Act’. Pada tahun 1997 , Malaysia memberlakukan UU anti Coruuption Act yang akan menghukum gantung para koruptor.

· Amerika Serikat : Negara Paman Sam ini memberlakukan hukuman bagi para koruptor di negaranya berupa penjara dan dijatuhi denda, hukuman yang diberikan minimal 5 tahun, untuk kasus berat pelaku korupsi bisa diusir dari negara itu.

Dari beberapa bentuk hukuman korupsi di negara negara tersebut diatas adalah sebagai bentuk acuan bagi Indonesia yang suatu saat dapat memberlakukan salah satu bentuk hukuman tersebut. Karena hukuman beberapa tahun penjara di indonesia tidak dapat memberikan “efek jera” terhadap para pelaku korupsi di negara ini, dimana hukuman beberapa tahun penjara bahkan bisa mendapatkan estimasi atau penguragan kurungan penjara sehingga membuat para pelaku tetap bisa merasa menjadi “enak”, tidak salah masyarakat Indonesia menyebut negara ini adalah negara yang hukumnya bisa dibeli. Dimana yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin.

Mantan hakim Agung Artidjo Alkosta, dikantor ICW, Selasa ( 29/5/2018), seperti dilansir dari Kompas.com mengatakan “karena koruptor Indonesia kalau ditangkap itu saya jengkel, masih bisa cengengesan di TV, itu kan menghina rakyat Indonesia”.

Maka keterkaitan antara kepemimpinan dengan korupsi secara umum dapat dihubungkan, namun tidak semua pemimpin melakukan tindakan – tindakan korupsi. Seorang pemimpin yang secara sengaja melakukan tindakan korupsi adalah pemimpin yang mempunyai sifat kepemimpinan yang buruk, pemimpin yang mempunyai sifat adil, jujur, beretika, dan melayani pastinya akan takut melakukan tindakan penyimpangan seperti korupsi, karena jelas tindakan korupsi akan sangat merugikan negara dan masyarkatnya.

Budaya korupsi di Indonesia memang sebuah penyakit yang kronis. Budaya korupsi masih saja marak di seluruh dunia bahkan di Negara Kita sendiri Indonesia, ini adalah tugas yang berat bagi Komisi Pemberantasan Korupsi bahkan pemerintah kita sendiri harus berpikir keras apa hukuman atau ganjaran yang dapat membuat para pelaku korupsi ini jera. Menghapus budaya korupsi haruslah dengan membangun mindset bahwa jabatan adalah alat untuk pelayanan dan integritas, bukan alat untuk mendapatkan keuntungan dan kekayaan. Sudah waktunya untuk mengakhiri budaya korupsi dan kita juga sebagai anak muda generasi penerus bangsa harus melawan korupsi yang membudaya di Indonesia ini. (*)

Penulis:

Dr Elisabeth MEc, Siti Kemala Sari Tambunan SAk, Beby Asdilivira SE, Lisa Gresti Damanik SE

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/