KARO- Harga tanaman kol (kubis), beberapa bulan belakangan turun drastis hingga titik terendah. Bahkan beberapa pekan terakhir, petani memilih tidak lagi memanen salah satu hasil komoditi holtikultura andalan dataran tinggi Karo tersebut sebagai produk ekspor atau barang lokal.
Rendahnya harga jual petani di tingkat pasar tradisional atau lelang di areal peraladangan, memaksa petani kol harus merelakan tanamannya hingga pecah dan membusuk di ladang. Hal ini terpaksa dilakukan mengingat biaya produksi panen yang sangat tinggi dibanding hasil yang diterima.
Minimnya perhatian pemerintah untuk mendongkrak harga kol, semisal upaya yang dilakukan ketika harga cabai melonjak, tentunya membuat asumsi miring petani , khususnya yang bergerak di bidang budidaya kol. Itu dikarenakan, ekspor tanaman kol dari kawasan Karo, ke negeri jiran Malaysia dan Singapura, memiliki kapasitas cukup besar.
Petani kol, asal Desa Juma Raja, T Tarigan mengatakan, dulu pernah Pemkab Karo menyampaikan wacana pemasaran sayuran kol , tapi sejauh ini belum ada memberikan solusi dan langkah pasti guna menekan tingkat kerugian petani.
Menurutnya, kerugian yang dialami petani kol bukan yang pertama kali terjadi, namun kali ini merupakan hal yang paling buruk dalam sejarah tahun 2011. Itu karena kol saat ini hanya diterima dengan harga Rp200 hingga Rp300 per kg. Padahal harga harga produksi 1 batang kol mencapai Rp600 hingga 800/ batang.(wan/smg)