25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Kondisi 3 Anak Suspect Difteri Asal Simalungun Mulai Membaik

Korban Meninggal Tak Pernah Imunisasi

WAWANCARA: Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) Anak RSUP H Adam Malik, dr Ayodhia Pitaloka Pasaribu diwawancarai wartawan, Jumat (6/12).
WAWANCARA: Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) Anak RSUP H Adam Malik, dr Ayodhia Pitaloka Pasaribu diwawancarai wartawan, Jumat (6/12).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kondisi tiga anak asal Kecamatan Perdagangan, Kabupaten Simalungun, yang suspect difteri mulai membaik. Namun ketiganya hingga kemarin masih dirawat intensif di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H Adam Malik, Medan. Ketiga anak tersebut masing-masing berinisial YS (6), RS (3), dan MS (2). Mereka merupakan satu keluarga alias kakak beradik.

Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) Anak RSUP H Adam Malik, dr Ayodhia Pitaloka Pasaribu Mked (Ped) SpA, PhD, mengatakan rata-rata kondisi dari ketiganya sudah menunjukkan perkembangan yang membaik. Akan tetapi masih butuh perawatann

“Pasien YS datang sudah kita prediksi sebagai klinis probable difteri, karena ketika masuk ke sini dengan kondisi sudah dengan leher membengkak, dan sel membrannya sudah tertutup. Lalu kita berikan terapi dan responnya bagus. Kini, sudah bersih semua sudah tidak ada lagi sel membrannya dan juga klinis lain sudah tidak ada,” ujar Ayodhia saat memberikan keterangan pers, Jumat (6/12).

Sedangkan kedua adik YS, sambungnya, yakni RS yang datang belakangan, kondisinya tidak dengan leher bengkak. Hanya selaput yang masih sedikit, langsung diberi terapi. Kini kondisi RS sangat baik. “Begitu juga MS, akan tetapi MS tidak didiagnosa sebagai suspect difteri, karena tidak ada klinis ke arah difteri. MS tidak ada ditemui selaput putih di dalam mulutnya, namun tetap ditangani untuk dilakukan observasi karena berkontak langsung,” ungkap Ayodhia didampingi Bagian Pelayanan Medik RSUP H Adam Malik, dr Anita Rosari SpPD dan Kassubag Humas RSUP Haji Adam Malik Rosario Dorothy Simanjuntak.

Lebih lanjut Ayodhia mengatakan, terkait pasien HS (5) yang meninggal karena juga suspect difteri dan masih memiliki hubungan keluarga dengan ketiganya, memang sudah tak tertolong lagi. Sebab, HS dibawa ke RSUP H Adam Malik dengan keadaan yang memang cukup berat.

“HS datang dengan nafas yang sangat sesak, mengorok dan sudah membengkak di bagian leher. Selain itu, terjadi penurunan kesadaran, tekanan darah rendah hingga nadi sudah halus. Jadi memang penyakitnya sudah cukup berat, walaupun mendapatkan tata laksana (penanganan) yang cepat. Sebab progresivitas penyakitnya sudah berat risikonya, dan memang sangat besar untuk kematian. Progresif dari penyakit ini sangat cepat, kalau sudah lewat dari 3 hari baru dilakukan tata laksana maka klinis akan sangat jelek dan risiko kematian memang cukup besar,” terangnya.

Diutarakan dia, HS ditangani hanya sebentar dan murni akibat karena suspect difteri berat. Artinya, bukan ada penyakit lain penyertanya. “Riwayat pasien (HS) memang tidak mendapat imunisasi sama sekali. Pasien-pasien suspect difteri yang tidak mendapat imunisasi sama sekali, maka klinisnya akan jauh lebih jelek dan persentase kematiannya lebih besar. Itu yang biasa kita tangani pada pasien yang dirawat di sini,” beber Ayodhia.

Untuk ketiga keluarganya yang lain, lanjut dia, memang diimunisasi tetapi tidak rutin atau tidak lengkap. “Kalau kondisi yang demikian, tentu risikonya juga hampir sama. Akan tetapi, kalau cepat ditangani maka bisa selamat,” ucapnya.

Menurutnya, penyakit difteri sebetulnya bisa dicegah dengan imunisasi. Untuk itu, seharusnya penyakit ini sudah tidak ada lagi. Tetapi, kalau penyakitnya muncul maka cakupan imunisasinya tidak terlalu baik. “Kalau satu kasus ada, maka akan ada kasus-kasus penyakit yang lain. Untuk menuntaskannya tidak bisa satu atau dua tahun saja. Sebagai contoh Rusia, negara itu butuh 10 tahun untuk membereskannya. Jadi, Indonesia juga membutuhkan waktu yang cukup panjang. Makanya, kita (di Indonesia) akan tetap ada kasusnya apabila imunisasinya cakupan tidak ditingkatkan dengan baik,” jelas Ayodhia.

Dikatakan Ayodhia, penyebab penyakit difteri berasal dari bakteri, sehingga obat yang diberikan antibiotik. Bakteri tersebut sangat menular dan bisa menimbulkan gejala dalam waktu yang sangat cepat. Misalnya, dua hari saja ketemu dengan orang yang suspect difteri maka akan muncul gejalanya. “Bakteri penyakit ini biasanya melalui udara. Penularannya bisa melalui bersin atau batuk, bakteri atau kumannya akan berpindah kepada orang yang kontak. Makanya, sangat dianjurkan menggunakan masker apabila ada yang sakit,” tuturnya.

Gejala khas penyakit difteri seperti batuk dan pilek biasa. Selanjutnya, demam tetapi tidak tinggi. Oleh karenanya, jika ada yang mengalami gejala tersebut ditambah nyeri menelan, terutama pada usia anak-anak maka sebaiknya langsung ke pusat kesehatan supaya mendapat pemeriksaan. “Apabila dokternya mendapati selaput putih dalam mulutnya dan mudah berdarah bila disentuh, maka diagnosa perbandingan difteri harus masuk. Meskipun, ada juga jenis penyakit yang lain pada gejala tersebut,” jabarnya.

Ayodhia menyatakan, difteri bisa dicegah dengan proteksi melalui imunisasi. Imunisasi bisa diberikan kepada anak dari usia 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan. Kemudian, diulangi lagi imunisasinya sampai usia sekitar kelas 5 sekolah dasar. “Kalau imunisasi ini dilakukan dengan baik, maka risiko terinfeksi bakteri tersebut akan sangat minimal,” tegasnya.

Dia juga menyatakan, sudah lebih dari 30 anak yang suspect difteri ditangani mulai dari 2017 hingga sekarang. Namun yang meninggal hanya 1 orang karena lambat ditangani. Padahal kalau cepat dibawa ke rumah sakit maka kemungkinan besar akan selamat.

“Persediaan obat difteri selalu ada. Selain stok di rumah sakit, kita juga berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Sumut. Dengan begitu, tidak sampai terjadi kekosongan karena terus dievaluasi. Obat antidifteri ada dua, pertama antibiotik untuk membunuh bakterinya dan kedua antidifteri serum yang berguna membunuh racun dari bakteri penyakit tersebut,” jelasnya.

Ayodhia menambahkan, untuk mereka yang kontak langsung dengan pasien suspect difteri menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Sumut maupun Simalungun. Sejauh ini sudah berkoordinasi. “Nantinya dilakukan PE (Penyelidikan Epidemiologi) terhadap orang-orang yang kontak langsung. Lalu, diberikan eritromisin dan vaksin,” tukasnya.

Sementara, Kepala Dinas Kesehatan Sumut dr Alwi Mujahit Hasibuan mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Simalungun untuk segera melakukan langkah-langkah sesuai prosedur penanganan pasien difteri. “Sudah otomatis tim dari dinas kesehatan turun melakukan berbagai hal terhadap persoalan difteri. Mereka yang kontak langsung diberikan obat dan vaksin,” ujarnya.

Pemprov Diminta Koordinasi dengan Pemda

Diberitakan sebelumnya, YS, HS, RS, dan MS mengalami suspect difteri. Namun, HS meninggal dunia setelah sempat dirawat di RSUP H Adam Malik. HS masuk pada Senin (2/12) pukul 20.22 WIB. Ketika masuk, kondisinya sudah mengalami penurunan kesadaran, mendengkur, sesak nafas berat, hingga ditemukan ada bercak berwarna hitam keabuan yang mudah berdarah pada tenggorokan dan leher membengkak.

Merespon hal ini, DPRD Sumatera Utara meminta pemerintah provinsi berkoordinasi intens dengan pemda lainnya. “Tentu untuk menanggulangi dan mencegah penyakit ini, antara provinsi dan daerah mesti terkoordinasi dengan baik. Melakukan sosialisasi sebagai langkah awal pencegahan penyakit difteri. Ini yang menurut saya penting dilakukan dulu,” kata Wakil Ketua DPRD Sumut, Salman Alfarisi menjawab Sumut Pos, Jumat (6/12).

Langkah selanjutnya, sebut dia, penting dilakukan upaya jemput bola oleh pemerintah daerah di Sumut, mana tau ada informasi di daerah lain warganya terjangkit difteri. Dengan demikian dapat segera mendapat pertolongan medis, ataupun mencegah penyakit tersebut semakin menyebar ke warga lainnya.

“Dan yang terpenting, pemerintah mampu membuang stigma, agar masyarakat tidak takut berobat manakala sudah terkena penyakit ini karena masalah biaya. Apalagi kita khawatir, penyakit-penyakit begini membuat warga takut berobat. Ini yang perlu dihilangkan,” katanya.

Kepada pemerintah daerah, ia menekankan supaya memberi pelayanan maksimal terhadap pasien difteri. Artinya, jangan banyak alasan dalam hal penanganan bilamana mendapat pasien yang terserang difteri.

“Apalagi kan dalam penanganan difteri ini yang kita tahu, bahwa hanya RSUP Adam Malik yang memiliki peralatan lengkap. Jika lebih awal mendapat informasi ini dari daerah, dapat langsung diarahkan ke sana guna mendapat pelayanan sehingga cepat tertangani.

Sosialisasi inilah yang mesti cepat dilakukan pemda dan provinsi,” kata politisi Partai Keadilan Sejahtera itu. “Begitupun kepada rumah sakit, jangan sampai tidak melayani pasien difteri secara maksimal. Sebab ini bagian dari tanggung jawab pemerintah,” pungkasnya. (ris/prn)

Korban Meninggal Tak Pernah Imunisasi

WAWANCARA: Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) Anak RSUP H Adam Malik, dr Ayodhia Pitaloka Pasaribu diwawancarai wartawan, Jumat (6/12).
WAWANCARA: Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) Anak RSUP H Adam Malik, dr Ayodhia Pitaloka Pasaribu diwawancarai wartawan, Jumat (6/12).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kondisi tiga anak asal Kecamatan Perdagangan, Kabupaten Simalungun, yang suspect difteri mulai membaik. Namun ketiganya hingga kemarin masih dirawat intensif di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H Adam Malik, Medan. Ketiga anak tersebut masing-masing berinisial YS (6), RS (3), dan MS (2). Mereka merupakan satu keluarga alias kakak beradik.

Dokter Penanggung Jawab Pasien (DPJP) Anak RSUP H Adam Malik, dr Ayodhia Pitaloka Pasaribu Mked (Ped) SpA, PhD, mengatakan rata-rata kondisi dari ketiganya sudah menunjukkan perkembangan yang membaik. Akan tetapi masih butuh perawatann

“Pasien YS datang sudah kita prediksi sebagai klinis probable difteri, karena ketika masuk ke sini dengan kondisi sudah dengan leher membengkak, dan sel membrannya sudah tertutup. Lalu kita berikan terapi dan responnya bagus. Kini, sudah bersih semua sudah tidak ada lagi sel membrannya dan juga klinis lain sudah tidak ada,” ujar Ayodhia saat memberikan keterangan pers, Jumat (6/12).

Sedangkan kedua adik YS, sambungnya, yakni RS yang datang belakangan, kondisinya tidak dengan leher bengkak. Hanya selaput yang masih sedikit, langsung diberi terapi. Kini kondisi RS sangat baik. “Begitu juga MS, akan tetapi MS tidak didiagnosa sebagai suspect difteri, karena tidak ada klinis ke arah difteri. MS tidak ada ditemui selaput putih di dalam mulutnya, namun tetap ditangani untuk dilakukan observasi karena berkontak langsung,” ungkap Ayodhia didampingi Bagian Pelayanan Medik RSUP H Adam Malik, dr Anita Rosari SpPD dan Kassubag Humas RSUP Haji Adam Malik Rosario Dorothy Simanjuntak.

Lebih lanjut Ayodhia mengatakan, terkait pasien HS (5) yang meninggal karena juga suspect difteri dan masih memiliki hubungan keluarga dengan ketiganya, memang sudah tak tertolong lagi. Sebab, HS dibawa ke RSUP H Adam Malik dengan keadaan yang memang cukup berat.

“HS datang dengan nafas yang sangat sesak, mengorok dan sudah membengkak di bagian leher. Selain itu, terjadi penurunan kesadaran, tekanan darah rendah hingga nadi sudah halus. Jadi memang penyakitnya sudah cukup berat, walaupun mendapatkan tata laksana (penanganan) yang cepat. Sebab progresivitas penyakitnya sudah berat risikonya, dan memang sangat besar untuk kematian. Progresif dari penyakit ini sangat cepat, kalau sudah lewat dari 3 hari baru dilakukan tata laksana maka klinis akan sangat jelek dan risiko kematian memang cukup besar,” terangnya.

Diutarakan dia, HS ditangani hanya sebentar dan murni akibat karena suspect difteri berat. Artinya, bukan ada penyakit lain penyertanya. “Riwayat pasien (HS) memang tidak mendapat imunisasi sama sekali. Pasien-pasien suspect difteri yang tidak mendapat imunisasi sama sekali, maka klinisnya akan jauh lebih jelek dan persentase kematiannya lebih besar. Itu yang biasa kita tangani pada pasien yang dirawat di sini,” beber Ayodhia.

Untuk ketiga keluarganya yang lain, lanjut dia, memang diimunisasi tetapi tidak rutin atau tidak lengkap. “Kalau kondisi yang demikian, tentu risikonya juga hampir sama. Akan tetapi, kalau cepat ditangani maka bisa selamat,” ucapnya.

Menurutnya, penyakit difteri sebetulnya bisa dicegah dengan imunisasi. Untuk itu, seharusnya penyakit ini sudah tidak ada lagi. Tetapi, kalau penyakitnya muncul maka cakupan imunisasinya tidak terlalu baik. “Kalau satu kasus ada, maka akan ada kasus-kasus penyakit yang lain. Untuk menuntaskannya tidak bisa satu atau dua tahun saja. Sebagai contoh Rusia, negara itu butuh 10 tahun untuk membereskannya. Jadi, Indonesia juga membutuhkan waktu yang cukup panjang. Makanya, kita (di Indonesia) akan tetap ada kasusnya apabila imunisasinya cakupan tidak ditingkatkan dengan baik,” jelas Ayodhia.

Dikatakan Ayodhia, penyebab penyakit difteri berasal dari bakteri, sehingga obat yang diberikan antibiotik. Bakteri tersebut sangat menular dan bisa menimbulkan gejala dalam waktu yang sangat cepat. Misalnya, dua hari saja ketemu dengan orang yang suspect difteri maka akan muncul gejalanya. “Bakteri penyakit ini biasanya melalui udara. Penularannya bisa melalui bersin atau batuk, bakteri atau kumannya akan berpindah kepada orang yang kontak. Makanya, sangat dianjurkan menggunakan masker apabila ada yang sakit,” tuturnya.

Gejala khas penyakit difteri seperti batuk dan pilek biasa. Selanjutnya, demam tetapi tidak tinggi. Oleh karenanya, jika ada yang mengalami gejala tersebut ditambah nyeri menelan, terutama pada usia anak-anak maka sebaiknya langsung ke pusat kesehatan supaya mendapat pemeriksaan. “Apabila dokternya mendapati selaput putih dalam mulutnya dan mudah berdarah bila disentuh, maka diagnosa perbandingan difteri harus masuk. Meskipun, ada juga jenis penyakit yang lain pada gejala tersebut,” jabarnya.

Ayodhia menyatakan, difteri bisa dicegah dengan proteksi melalui imunisasi. Imunisasi bisa diberikan kepada anak dari usia 2 bulan, 3 bulan, dan 4 bulan. Kemudian, diulangi lagi imunisasinya sampai usia sekitar kelas 5 sekolah dasar. “Kalau imunisasi ini dilakukan dengan baik, maka risiko terinfeksi bakteri tersebut akan sangat minimal,” tegasnya.

Dia juga menyatakan, sudah lebih dari 30 anak yang suspect difteri ditangani mulai dari 2017 hingga sekarang. Namun yang meninggal hanya 1 orang karena lambat ditangani. Padahal kalau cepat dibawa ke rumah sakit maka kemungkinan besar akan selamat.

“Persediaan obat difteri selalu ada. Selain stok di rumah sakit, kita juga berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Sumut. Dengan begitu, tidak sampai terjadi kekosongan karena terus dievaluasi. Obat antidifteri ada dua, pertama antibiotik untuk membunuh bakterinya dan kedua antidifteri serum yang berguna membunuh racun dari bakteri penyakit tersebut,” jelasnya.

Ayodhia menambahkan, untuk mereka yang kontak langsung dengan pasien suspect difteri menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Sumut maupun Simalungun. Sejauh ini sudah berkoordinasi. “Nantinya dilakukan PE (Penyelidikan Epidemiologi) terhadap orang-orang yang kontak langsung. Lalu, diberikan eritromisin dan vaksin,” tukasnya.

Sementara, Kepala Dinas Kesehatan Sumut dr Alwi Mujahit Hasibuan mengatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Simalungun untuk segera melakukan langkah-langkah sesuai prosedur penanganan pasien difteri. “Sudah otomatis tim dari dinas kesehatan turun melakukan berbagai hal terhadap persoalan difteri. Mereka yang kontak langsung diberikan obat dan vaksin,” ujarnya.

Pemprov Diminta Koordinasi dengan Pemda

Diberitakan sebelumnya, YS, HS, RS, dan MS mengalami suspect difteri. Namun, HS meninggal dunia setelah sempat dirawat di RSUP H Adam Malik. HS masuk pada Senin (2/12) pukul 20.22 WIB. Ketika masuk, kondisinya sudah mengalami penurunan kesadaran, mendengkur, sesak nafas berat, hingga ditemukan ada bercak berwarna hitam keabuan yang mudah berdarah pada tenggorokan dan leher membengkak.

Merespon hal ini, DPRD Sumatera Utara meminta pemerintah provinsi berkoordinasi intens dengan pemda lainnya. “Tentu untuk menanggulangi dan mencegah penyakit ini, antara provinsi dan daerah mesti terkoordinasi dengan baik. Melakukan sosialisasi sebagai langkah awal pencegahan penyakit difteri. Ini yang menurut saya penting dilakukan dulu,” kata Wakil Ketua DPRD Sumut, Salman Alfarisi menjawab Sumut Pos, Jumat (6/12).

Langkah selanjutnya, sebut dia, penting dilakukan upaya jemput bola oleh pemerintah daerah di Sumut, mana tau ada informasi di daerah lain warganya terjangkit difteri. Dengan demikian dapat segera mendapat pertolongan medis, ataupun mencegah penyakit tersebut semakin menyebar ke warga lainnya.

“Dan yang terpenting, pemerintah mampu membuang stigma, agar masyarakat tidak takut berobat manakala sudah terkena penyakit ini karena masalah biaya. Apalagi kita khawatir, penyakit-penyakit begini membuat warga takut berobat. Ini yang perlu dihilangkan,” katanya.

Kepada pemerintah daerah, ia menekankan supaya memberi pelayanan maksimal terhadap pasien difteri. Artinya, jangan banyak alasan dalam hal penanganan bilamana mendapat pasien yang terserang difteri.

“Apalagi kan dalam penanganan difteri ini yang kita tahu, bahwa hanya RSUP Adam Malik yang memiliki peralatan lengkap. Jika lebih awal mendapat informasi ini dari daerah, dapat langsung diarahkan ke sana guna mendapat pelayanan sehingga cepat tertangani.

Sosialisasi inilah yang mesti cepat dilakukan pemda dan provinsi,” kata politisi Partai Keadilan Sejahtera itu. “Begitupun kepada rumah sakit, jangan sampai tidak melayani pasien difteri secara maksimal. Sebab ini bagian dari tanggung jawab pemerintah,” pungkasnya. (ris/prn)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/