26 C
Medan
Monday, September 30, 2024

Butuh 70 Tahun Pulihkan Kualitas Air Danau Toba

no picture

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sumatera Utara, Binsar Situmorang, angkat bicara perihal kondisi air Danau Toba yang sudah tercemar limbah dari keramba jaring apung (KJA). Menurutnya, butuh waktu hingga 70 tahun untuk mengembalikan kualitas air danau yang sudah tercemar tersebut.

“Kalau untuk menuntaskan masalah pencemaran lingkungan secara cepat atau tuntas itu tidak mungkin, karena perlu waktu. Kita lihat hasil penelitian terlebih dahulu, harus butuh waktu sampai 70 tahun ke depan,” kata Binsar akhir pekan kemarin.

Kalau untuk menuntaskan masalah pencemaran lingkungan secara cepat atau tuntas itu tidak mungkin, karena perlu waktu. Kita lihat hasil penelitian terlebih dahulu, harus butuh waktu sampai 70 tahun ke depan.”
Binsar Situmorang
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara

Diakuinya, saat ini, ada beberapa titik kawasan Danau Toba sudah sangat tercemari, akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. Yakni seperti Kecamatan Ha ranggaol, Pakat, Tigaras dan Salbe. “Pencemaran mulai dari sedang dan sam pai terparah memang ada di sana,” ujarnya.

Menurut penelitian atau pengawasan yang dilakukan pihaknya, menemukan masyarakat terbanyak memiliki KJA. Karena masyarakat dengan keterbatasan pengetahuannya mengenai pencemaran lingkungan, kata dia, cenderung membuat kondisi menjadi tidak terkendali.

“KJA milik masyarakat yang terbanyak bukan milik perusahaan. Jadi masyarakat dengan keterbatasan informasi atau pengetahuan tentang KJA itu, inilah membuat kita memang tidak terkendali,” ujarnya.

Pemprovsu sendiri, kata mantan Kadis Tarukim Sumut ini, tidak bisa membatasi jumlah KJA yang ada di kawasan Danau Toba, karena kewenangan atau kebijakan berada di pemerintah kabupaten. Binsar Situmorang menyampaikan, pihak Pemkab yang harus proaktif lagi untuk rutin memeriksa kondisi air di danau terbesar di Asia tersebut.

“Masyarakat itu izinnya dari kepala dae rah bukan dari provinsi. Jadi otomatis harus melalui kabupatennya proaktif turun ke lapangan memberikan penjelasan dan sosialisasi hingga mendeteksi. Bagai mana kualitas air Danau Toba itu saat ini dengan banyaknya KJA,” ucapnya.

Masih kata Binsar, di beberapa tempat yang sudah ditetapkan mengalami kerusakan terparah pencemaran lingkungan diketahui juga tidak memiliki izin.

Hal ini menurut dia, memerlukan penanganan serius, jangan sampai semakin tidak terkendali lagi. “Mereka itu (masyarakat pemilik KJA) juga tidak memiliki izin sebetulnya, tetapi pihak kabupaten yang seharusnya lebih mengetahui,” ucapnya.

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumatera Utara sebelumnya menekankan, hal terpenting dari pencemaran air Danau Toba yaitu pengendalian budidaya di kawasan tersebut yang sesuai dengan regulasi.

“Ada Perpres No.81/2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba. Di situ diatur kawasan budidaya perikanan harus sesuai daya dukung lingkungan, dimana dalam hal ini khusus pembudidaya Keramba Jaring Apung (KJA),” kata Kepala DKP Sumut, Mulyadi Simatupang menjawab Sumut Pos akhir Maret lalu.

Pihaknya mengaku rutin menyurati pembudidaya KJA yang tidak taat aturan, sehingga pengendalian lingkungan dan ekosistem kawasan Danau Toba tetap terjaga. “Jadi insiden tempo hari (pembuangan bangkai ikan oleh PT Aquafarm Nusantara, Red) itukan baru dugaan, bahwa terindikasi ada limbah ikan dibuang ke dasar danau. Tentu dari segi UU perikanan tidak nyambung (bukan tupoksi) kami, melainkan Dinas Lingkungan Hidup. Kalau kami lebih kepada pengendalian budidaya ikan di kawasan Danau Toba,” katanya.

Mulyadi menambahkan, setelah melakukan berbagai observasi, kajian, dan masukan dari fokus grup diskusi selama tiga kali, terungkap bahwa 90 persen pencemaran Danau Toba bersumber dari daratan. Sejauh ini pihaknya bersama instansi terkait sudah dilakukan sampling sebanyak tiga kali di semua perairan Danau Toba baik pada musim kemarau, hujan dan peralihan. Kajian ataupun riset tersebut dilakukan pihaknya bersama Kementrian Kelautan dan Perikanan serta para ilmuan. Tak hanya itu, sejumlah data-data baru atas riset yang dilakukan tersebut, kembali dibahas bersama dalam FGD yang sudah digelar sebanyak tiga kali.

“Yang jelas kami (DKP Sumut) menganggap bahwa riset KKP sangat penting terkhusus Danau Toba ini. Kajian ini juga meninjau dari berbagai unsur lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya,” katanya.

Berbagai pandangan dan juga hasil riset menunjukkan, kata dia, bahwa pencemaran air Danau Toba tidak semata-mata karena adanya KJA di perairan tersebut. “Menurut hasil sampel kualitas air yang dilakukan dan pandangan berbagai ahli, sumber pencemaran justru banyak berasal dari daratan yang dibawa melalui aliran sungai menuju Danau Toba. Terlebih yang dihitung (kualitas air) bukan dari KJA saja. Bahkan sampel yang diambil di semua perairan Danau Toba pada musim kemarau, hujan dan peralihan,” kata mantan Kasubbag Anggaran Setdaprovsu ini.

“Selain faktor cuaca, kalau KJA paling hanya 10 persen saja pengaruhnya dalam pencemaran Danau Toba,” imbuhnya. (prn/han)

no picture

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Sumatera Utara, Binsar Situmorang, angkat bicara perihal kondisi air Danau Toba yang sudah tercemar limbah dari keramba jaring apung (KJA). Menurutnya, butuh waktu hingga 70 tahun untuk mengembalikan kualitas air danau yang sudah tercemar tersebut.

“Kalau untuk menuntaskan masalah pencemaran lingkungan secara cepat atau tuntas itu tidak mungkin, karena perlu waktu. Kita lihat hasil penelitian terlebih dahulu, harus butuh waktu sampai 70 tahun ke depan,” kata Binsar akhir pekan kemarin.

Kalau untuk menuntaskan masalah pencemaran lingkungan secara cepat atau tuntas itu tidak mungkin, karena perlu waktu. Kita lihat hasil penelitian terlebih dahulu, harus butuh waktu sampai 70 tahun ke depan.”
Binsar Situmorang
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Utara

Diakuinya, saat ini, ada beberapa titik kawasan Danau Toba sudah sangat tercemari, akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. Yakni seperti Kecamatan Ha ranggaol, Pakat, Tigaras dan Salbe. “Pencemaran mulai dari sedang dan sam pai terparah memang ada di sana,” ujarnya.

Menurut penelitian atau pengawasan yang dilakukan pihaknya, menemukan masyarakat terbanyak memiliki KJA. Karena masyarakat dengan keterbatasan pengetahuannya mengenai pencemaran lingkungan, kata dia, cenderung membuat kondisi menjadi tidak terkendali.

“KJA milik masyarakat yang terbanyak bukan milik perusahaan. Jadi masyarakat dengan keterbatasan informasi atau pengetahuan tentang KJA itu, inilah membuat kita memang tidak terkendali,” ujarnya.

Pemprovsu sendiri, kata mantan Kadis Tarukim Sumut ini, tidak bisa membatasi jumlah KJA yang ada di kawasan Danau Toba, karena kewenangan atau kebijakan berada di pemerintah kabupaten. Binsar Situmorang menyampaikan, pihak Pemkab yang harus proaktif lagi untuk rutin memeriksa kondisi air di danau terbesar di Asia tersebut.

“Masyarakat itu izinnya dari kepala dae rah bukan dari provinsi. Jadi otomatis harus melalui kabupatennya proaktif turun ke lapangan memberikan penjelasan dan sosialisasi hingga mendeteksi. Bagai mana kualitas air Danau Toba itu saat ini dengan banyaknya KJA,” ucapnya.

Masih kata Binsar, di beberapa tempat yang sudah ditetapkan mengalami kerusakan terparah pencemaran lingkungan diketahui juga tidak memiliki izin.

Hal ini menurut dia, memerlukan penanganan serius, jangan sampai semakin tidak terkendali lagi. “Mereka itu (masyarakat pemilik KJA) juga tidak memiliki izin sebetulnya, tetapi pihak kabupaten yang seharusnya lebih mengetahui,” ucapnya.

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sumatera Utara sebelumnya menekankan, hal terpenting dari pencemaran air Danau Toba yaitu pengendalian budidaya di kawasan tersebut yang sesuai dengan regulasi.

“Ada Perpres No.81/2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Danau Toba. Di situ diatur kawasan budidaya perikanan harus sesuai daya dukung lingkungan, dimana dalam hal ini khusus pembudidaya Keramba Jaring Apung (KJA),” kata Kepala DKP Sumut, Mulyadi Simatupang menjawab Sumut Pos akhir Maret lalu.

Pihaknya mengaku rutin menyurati pembudidaya KJA yang tidak taat aturan, sehingga pengendalian lingkungan dan ekosistem kawasan Danau Toba tetap terjaga. “Jadi insiden tempo hari (pembuangan bangkai ikan oleh PT Aquafarm Nusantara, Red) itukan baru dugaan, bahwa terindikasi ada limbah ikan dibuang ke dasar danau. Tentu dari segi UU perikanan tidak nyambung (bukan tupoksi) kami, melainkan Dinas Lingkungan Hidup. Kalau kami lebih kepada pengendalian budidaya ikan di kawasan Danau Toba,” katanya.

Mulyadi menambahkan, setelah melakukan berbagai observasi, kajian, dan masukan dari fokus grup diskusi selama tiga kali, terungkap bahwa 90 persen pencemaran Danau Toba bersumber dari daratan. Sejauh ini pihaknya bersama instansi terkait sudah dilakukan sampling sebanyak tiga kali di semua perairan Danau Toba baik pada musim kemarau, hujan dan peralihan. Kajian ataupun riset tersebut dilakukan pihaknya bersama Kementrian Kelautan dan Perikanan serta para ilmuan. Tak hanya itu, sejumlah data-data baru atas riset yang dilakukan tersebut, kembali dibahas bersama dalam FGD yang sudah digelar sebanyak tiga kali.

“Yang jelas kami (DKP Sumut) menganggap bahwa riset KKP sangat penting terkhusus Danau Toba ini. Kajian ini juga meninjau dari berbagai unsur lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya,” katanya.

Berbagai pandangan dan juga hasil riset menunjukkan, kata dia, bahwa pencemaran air Danau Toba tidak semata-mata karena adanya KJA di perairan tersebut. “Menurut hasil sampel kualitas air yang dilakukan dan pandangan berbagai ahli, sumber pencemaran justru banyak berasal dari daratan yang dibawa melalui aliran sungai menuju Danau Toba. Terlebih yang dihitung (kualitas air) bukan dari KJA saja. Bahkan sampel yang diambil di semua perairan Danau Toba pada musim kemarau, hujan dan peralihan,” kata mantan Kasubbag Anggaran Setdaprovsu ini.

“Selain faktor cuaca, kalau KJA paling hanya 10 persen saja pengaruhnya dalam pencemaran Danau Toba,” imbuhnya. (prn/han)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/