30 C
Medan
Monday, June 24, 2024

Daftar Nominatif Eks Lahan PTPN II Janggal & Banyak Tak Berhak, Tanah Harus Dikembalikan ke Rakyat

Ilustrasi

SUMUTPOS.CO – Daftar nominatif eks lahan PTPN II yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut dengan alokasi peruntukan seluas 5.873,06 hektare dinilai aneh dan janggal. Bahkan, diduga kuat banyak tak berhak menerima lahan yang berada di Deliserdang, Binjai, Serdang Bedagai (Sergai) dan Langkat.

Salah satu tokoh masyarakat Deliserdang, Kamisan Ginting mengatakan, daftar nominatif sebagian besar yang tercatat bukan orang yang berhak. Anehnya, di dalam daftar tersebut disebutkan ketika terjadi sesuatu hal, maka BPN tidak bertanggungjawab. Artinya, BPN sendiri pun ragu.

“Di dalam daftar nominatif ada poin yang disebutkan, bawah untuk selanjutnya berkenaan dengan lahan yang dihapusbukukan eks PTPN II tidak lagi bertanggungjawab dikemudian hari, apabila ada tuntutan sesuai nama dan lokasi daftar nominatif. Istilahnya, dikasih ke orang tapi tidak bertanggungjawab ketika terjadi tuntutan. Makanya, sangat janggal daftar nominatif yang dibuat,” ungkap Kamisan didampingi Desa Bangun Sari, Kecamatan Tanjung Morawa, Deliserdang, saat diwawancari di Medan, akhir pekan lalu.

Disebutkan Kamisan, dalam daftar nominatif yang dibuat BPN Sumut dan PTPN II, rakyat yang menggarap dari nenek moyangnya hanya ada segelintir saja. Sedangkan yang tidak pernah menggarap tetapi memiliki uang banyak, anehnya ada didaftar tersebut (lihat grafis). “Daftar nominatif yang dibuat itu, semasa jabatan Tengku Erry Nuradi (mantan Gubernur Sumut). Daftar itu jelas cacat (hukum),” ucap Kamisan yang juga Ketua Lembaga Pemulihan Hak-hak Tanah Rakyat (LPHTR) Sumut.

Diakui dia, lahan eks PTPN II tersebut memang untuk pemerintah perlu demi pembangunan. Akan tetapi, rakyat selaku penggarap yang sudah puluhan tahun harap diperhatikan.

“Dahulukan rakyat yang memiliki haknya. Kalau tidak penuh, paling tidak separuhnya dikasih ke rakyat dong. Ini tidak, yang diselesaikan untuk mereka yang memiliki uang banyak. Rakyat dikasih tetapi harus membayar sekitar Rp100 ribu lebih per meter, dari mana uangnya? Kalau begitu mendingan tak usah menggarap, tinggal beli saja. Jadi, tanah rakyat kembalikan ke rakyat,” tegas Kamisan.

Ia mengaku, berdasarkan daftar nominatif itu juga, lahan yang diperuntukkan kepada rakyat ada yang masih memiliki alas hak. Namun, ada juga yang tidak ada alas hak tetapi sudah dikuasai secara terus-menerus. Sebab, bagaimana mungkin karena alas haknya telah diambil oleh aparat ketika terjadi G30S PKI.

“Seharusnya dipilah-pilah yang mana harus membayar? Kok rakyat yang menggarap dari nenek moyangnya, tapi harus membayar juga? Percuma saja selama puluhan tahun digarap tetapi bayar, jelas enggak masuk akal. Namun, kalau kepada instansi yang mau terhadap lahan pada peruntukan RUTRWK (Rencana Untuk Tata Ruang Wilayah/Kota), maka wajar saja. Tapi, asalkan jangan ada tanah rakyat di sana,” paparnya.

Kamisan menyatakan, informasi yang diperolehnya bahwa Gubernur Sumut Edy Rahmayadi tidak setuju dengan daftar nominatif tersebut. Untuk itu, diharapkan saat ini bisa membatalkannya karena memiliki kewenangan. Akan tetapi, tidak mudah untuk dibatalkan karena sudah ada surat dari Menteri BUMN, PTPN II dan lainnya. “Maka dari itu, kita minta kepada Gubernur Sumut sekarang ini harus hati-hati merumuskan hapus buku selanjutnya, jangan sembarangan diberikan begitu saja,” ujarnya.

Sementara, sambung Kamisan, kepada pemerintah pusat dalam hal ini Menteri BUMN untuk menyerahkan tanah tersebut kepada rakyat tanpa ada pembayaran. “Kalau memang dihapusbuku maka cukup itu saja, tidak ada embel-embel di belakangnya atau ganti rugi. Sangat aneh rakyat harus membayar tanahnya yang sudah digarap oleh nenek moyangnya puluhan tahun,” tegasnya lagi.

Ia menceritakan PTPN II itu adalah penggabungan PTP IX dan PTP II. Semula, pada tahun 1948 ada penyerahan kekuasaan tanah dari Belanda ke NKRI. Ketika itu, wilayah Sumut masuk ke dalam wilayah Sumatera Timur namun tidak mau ikut merdeka. Ada pergerakan dari kelompok yang dipimpin oleh Dr Mansyur karena ingin mendirikan Negara Sumatera Timur (NST).

“Kenapa tidak mau ikut merdeka, alasannya karena memiliki tanah dan tanah kami tidak pernah dijajah Belanda. Belanda hanya menyewa tanah yang berjumlah sekitar 250 ribu hektar, mulai dari Sungai Ular di kawasan selatan sampai ke Sungai Wampu di daerah Langka,” ulasnya.

Dari 250 ribu hektare yang disewakan tersebut, hasil uang yang diperoleh untuk membiayai kesultanan masing-masing. Misalnya, tanah tersebut terletak di kawasan Deli Serdang maka untuk Kesultanan Deli. Begitu juga daerah Langkat, maka untuk Kesultanan Langkat. “Itulah kata Dr Mansyur, sehingga tidak mau ikut bergabung dengan NKRI. Akan tetapi, akhirnya pada tahun 1951 terjadilah kesepakatan antara pemerintah pusat dengan Dr Mansyur. Selanjutnya, diberikanlah oleh masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Dr Mansyur seluas 125 ribu hektar. Pemberian berdasarkan SK Mendagri Nomor 12/1951 dan Ketetapan Gubernur Sumut Nomor 36/1951, yang dikatakan ‘Tanah Suguan’ dan dikeluarkan SKTPSL (Surat Keterangan Pembagian Sawah Ladang),” terangnya.

Diutarakan Kamisan, pada umumnya warga yang memiliki tanah tersebut kebanyakan suku Melayu. Namun, ada juga orang dari Pulau Jawa yang melebur dengan Melayu dengan rata-rata kepemilikan tanah sekitar 2 hektar. Pembagiannya dilakukan selama 3 tahun berikutnya mulai 1952 hingga 1954.

“Akan tetapi, ternyata disana-sini tanah tersebut masih bermasalah hingga kemudian datang tuntutan dari para karyawan PTP IX. Sebab, mereka kesejahteraannya tidak ada sehingga ribut meminta tanah. Karenanya, ketika itu dibentuklah oleh Gubernur Sumut Kantor Re-organisasi Pendaftaran Tanah (KRPT) Sumatera Timur. Kantor tersebut dibangun dengan luas tidak lebih dari 1 hektar karena sebelumnya merupakan lahan kebun sayur karyawan tersebut. Namun, hingga 1956/1957 ternyata tanah 125 ribu hektar tersebut terus berkurang dan terjadi gejolak hingga 1960. Meskipun, sempat mereda pada tahun 1958,” jabar Kamisan.

Selanjutnya, pada tahun 1960 dibentuklah Badan Pelaksana Penyelesaian Sengketa Tanah Perkebunan Sumatera Timur (BPPST). Di dalam lembaga tersebut dilibatkan berbagai instansi terkait, hingga kemudian dikeluarkan tanah 125 ribu hektar itu. “Meski dikeluarkan tanah itu tetapi fisiknya tetap dikuasai oleh PTP IX. Seiring berjalannya waktu hingga tahun 1965 terjadilah G30S PKI, sehingga tanah itu diambil alih dan surat-surat yang dimiliki rakyat ditarik oleh aparat,” tutur Kamisan.

Ia melanjutkan, pada tahun 1982 dikeluarkan hapus buku kepemilikan tanah seluas 9.050 hektar dari 125 ribu hektar. Kemudian dikeluarkan lagi tetapi tidak mengetahui persis berapa hektar hingga tahun 2000.

“Singkat cerita, pada tahun 2000 luas lahan PTPN II dalam perhitungan tanah yang dimiliki perusahaan BUMN hanya 43.116,51 hektar. Anehnya, permohonan PTPN II ke Kepala BPN untuk menerbitkan surat lahan seluas 59.796,9700 hektar ketika diperpanjang. Hal ini membuat PTPN II menguasai tanah lebih dari ketentuan yaitu 16.680,46 hektar,” cetusnya.

Kata Kamisan, masyarakat menjadi bingung kenapa bisa bertambah luas tanahnya. Untuk itulah, mempermasalahkan kenapa bisa bertambah jumlahnya dari 43 ribu lebih hektar menjadi hampir 60 ribu hektar. “Kenapa bisa bertambah dan sudah mempertanyakan kepada Tengku Rizal Nurdin, Gubernur Sumut ketika itu lantaran tanah warga semakin berkurang akibat bertambah luas tanahnya. Oleh sebab itu, dibentuklah Tim B Plus untuk menyelesaikan konflik tanah tersebut. Persoalan ini juga dibahas di DPR RI hingga dibentuk Pansus guna menyelesaikan masalahnya,” bebernya.

Kamisan menyatakan, Pansus DPR RI yang menangani persoalan tersebut berpendapat sekitar 19 ribu lebih hektar dari 60 ribu hektar tanah milik PTPN II adalah tanah milik rakyat. Akan tetapi, tetapi realisasinya tidak berjalan. Bahkan, sekitar 5 ribu lebih hektar dari bagian 19 ribu hektar milik rakyat tak kunjung tuntas sampai sekarang.

“Makanya, daftar nominatif yang dibuat, rakyat selaku pemilik tanah hanya sebagian kecil yang mendapatkan haknya. Malahan, yang mendapatkan institusi pemerintah, oknum-oknum pejabat dan pengusaha,” tukasnya.

Senada disampaikan salah seorang warga Desa Bangun Sari, Tanjung Morawa, Deliserdang, Ahmad Sajib (65). Ia mengaku telah puluhan tahun tinggalnya saat ini, berdasarkan warisan nenek moyangnya. “Saya merupakan salah satu yang berhak mendapatkan eks lahan PTPN II, akan tetapi tidak dimasukkan dalam daftar nominatif penghapusbukuan. Makanya, mata pemerintah baik pusat dan daerah harus terbuka lebar melihat persoalan ini jangan hanya dari sisi administratif saja,” ujarnya. (ris/han)

Ilustrasi

SUMUTPOS.CO – Daftar nominatif eks lahan PTPN II yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumut dengan alokasi peruntukan seluas 5.873,06 hektare dinilai aneh dan janggal. Bahkan, diduga kuat banyak tak berhak menerima lahan yang berada di Deliserdang, Binjai, Serdang Bedagai (Sergai) dan Langkat.

Salah satu tokoh masyarakat Deliserdang, Kamisan Ginting mengatakan, daftar nominatif sebagian besar yang tercatat bukan orang yang berhak. Anehnya, di dalam daftar tersebut disebutkan ketika terjadi sesuatu hal, maka BPN tidak bertanggungjawab. Artinya, BPN sendiri pun ragu.

“Di dalam daftar nominatif ada poin yang disebutkan, bawah untuk selanjutnya berkenaan dengan lahan yang dihapusbukukan eks PTPN II tidak lagi bertanggungjawab dikemudian hari, apabila ada tuntutan sesuai nama dan lokasi daftar nominatif. Istilahnya, dikasih ke orang tapi tidak bertanggungjawab ketika terjadi tuntutan. Makanya, sangat janggal daftar nominatif yang dibuat,” ungkap Kamisan didampingi Desa Bangun Sari, Kecamatan Tanjung Morawa, Deliserdang, saat diwawancari di Medan, akhir pekan lalu.

Disebutkan Kamisan, dalam daftar nominatif yang dibuat BPN Sumut dan PTPN II, rakyat yang menggarap dari nenek moyangnya hanya ada segelintir saja. Sedangkan yang tidak pernah menggarap tetapi memiliki uang banyak, anehnya ada didaftar tersebut (lihat grafis). “Daftar nominatif yang dibuat itu, semasa jabatan Tengku Erry Nuradi (mantan Gubernur Sumut). Daftar itu jelas cacat (hukum),” ucap Kamisan yang juga Ketua Lembaga Pemulihan Hak-hak Tanah Rakyat (LPHTR) Sumut.

Diakui dia, lahan eks PTPN II tersebut memang untuk pemerintah perlu demi pembangunan. Akan tetapi, rakyat selaku penggarap yang sudah puluhan tahun harap diperhatikan.

“Dahulukan rakyat yang memiliki haknya. Kalau tidak penuh, paling tidak separuhnya dikasih ke rakyat dong. Ini tidak, yang diselesaikan untuk mereka yang memiliki uang banyak. Rakyat dikasih tetapi harus membayar sekitar Rp100 ribu lebih per meter, dari mana uangnya? Kalau begitu mendingan tak usah menggarap, tinggal beli saja. Jadi, tanah rakyat kembalikan ke rakyat,” tegas Kamisan.

Ia mengaku, berdasarkan daftar nominatif itu juga, lahan yang diperuntukkan kepada rakyat ada yang masih memiliki alas hak. Namun, ada juga yang tidak ada alas hak tetapi sudah dikuasai secara terus-menerus. Sebab, bagaimana mungkin karena alas haknya telah diambil oleh aparat ketika terjadi G30S PKI.

“Seharusnya dipilah-pilah yang mana harus membayar? Kok rakyat yang menggarap dari nenek moyangnya, tapi harus membayar juga? Percuma saja selama puluhan tahun digarap tetapi bayar, jelas enggak masuk akal. Namun, kalau kepada instansi yang mau terhadap lahan pada peruntukan RUTRWK (Rencana Untuk Tata Ruang Wilayah/Kota), maka wajar saja. Tapi, asalkan jangan ada tanah rakyat di sana,” paparnya.

Kamisan menyatakan, informasi yang diperolehnya bahwa Gubernur Sumut Edy Rahmayadi tidak setuju dengan daftar nominatif tersebut. Untuk itu, diharapkan saat ini bisa membatalkannya karena memiliki kewenangan. Akan tetapi, tidak mudah untuk dibatalkan karena sudah ada surat dari Menteri BUMN, PTPN II dan lainnya. “Maka dari itu, kita minta kepada Gubernur Sumut sekarang ini harus hati-hati merumuskan hapus buku selanjutnya, jangan sembarangan diberikan begitu saja,” ujarnya.

Sementara, sambung Kamisan, kepada pemerintah pusat dalam hal ini Menteri BUMN untuk menyerahkan tanah tersebut kepada rakyat tanpa ada pembayaran. “Kalau memang dihapusbuku maka cukup itu saja, tidak ada embel-embel di belakangnya atau ganti rugi. Sangat aneh rakyat harus membayar tanahnya yang sudah digarap oleh nenek moyangnya puluhan tahun,” tegasnya lagi.

Ia menceritakan PTPN II itu adalah penggabungan PTP IX dan PTP II. Semula, pada tahun 1948 ada penyerahan kekuasaan tanah dari Belanda ke NKRI. Ketika itu, wilayah Sumut masuk ke dalam wilayah Sumatera Timur namun tidak mau ikut merdeka. Ada pergerakan dari kelompok yang dipimpin oleh Dr Mansyur karena ingin mendirikan Negara Sumatera Timur (NST).

“Kenapa tidak mau ikut merdeka, alasannya karena memiliki tanah dan tanah kami tidak pernah dijajah Belanda. Belanda hanya menyewa tanah yang berjumlah sekitar 250 ribu hektar, mulai dari Sungai Ular di kawasan selatan sampai ke Sungai Wampu di daerah Langka,” ulasnya.

Dari 250 ribu hektare yang disewakan tersebut, hasil uang yang diperoleh untuk membiayai kesultanan masing-masing. Misalnya, tanah tersebut terletak di kawasan Deli Serdang maka untuk Kesultanan Deli. Begitu juga daerah Langkat, maka untuk Kesultanan Langkat. “Itulah kata Dr Mansyur, sehingga tidak mau ikut bergabung dengan NKRI. Akan tetapi, akhirnya pada tahun 1951 terjadilah kesepakatan antara pemerintah pusat dengan Dr Mansyur. Selanjutnya, diberikanlah oleh masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Dr Mansyur seluas 125 ribu hektar. Pemberian berdasarkan SK Mendagri Nomor 12/1951 dan Ketetapan Gubernur Sumut Nomor 36/1951, yang dikatakan ‘Tanah Suguan’ dan dikeluarkan SKTPSL (Surat Keterangan Pembagian Sawah Ladang),” terangnya.

Diutarakan Kamisan, pada umumnya warga yang memiliki tanah tersebut kebanyakan suku Melayu. Namun, ada juga orang dari Pulau Jawa yang melebur dengan Melayu dengan rata-rata kepemilikan tanah sekitar 2 hektar. Pembagiannya dilakukan selama 3 tahun berikutnya mulai 1952 hingga 1954.

“Akan tetapi, ternyata disana-sini tanah tersebut masih bermasalah hingga kemudian datang tuntutan dari para karyawan PTP IX. Sebab, mereka kesejahteraannya tidak ada sehingga ribut meminta tanah. Karenanya, ketika itu dibentuklah oleh Gubernur Sumut Kantor Re-organisasi Pendaftaran Tanah (KRPT) Sumatera Timur. Kantor tersebut dibangun dengan luas tidak lebih dari 1 hektar karena sebelumnya merupakan lahan kebun sayur karyawan tersebut. Namun, hingga 1956/1957 ternyata tanah 125 ribu hektar tersebut terus berkurang dan terjadi gejolak hingga 1960. Meskipun, sempat mereda pada tahun 1958,” jabar Kamisan.

Selanjutnya, pada tahun 1960 dibentuklah Badan Pelaksana Penyelesaian Sengketa Tanah Perkebunan Sumatera Timur (BPPST). Di dalam lembaga tersebut dilibatkan berbagai instansi terkait, hingga kemudian dikeluarkan tanah 125 ribu hektar itu. “Meski dikeluarkan tanah itu tetapi fisiknya tetap dikuasai oleh PTP IX. Seiring berjalannya waktu hingga tahun 1965 terjadilah G30S PKI, sehingga tanah itu diambil alih dan surat-surat yang dimiliki rakyat ditarik oleh aparat,” tutur Kamisan.

Ia melanjutkan, pada tahun 1982 dikeluarkan hapus buku kepemilikan tanah seluas 9.050 hektar dari 125 ribu hektar. Kemudian dikeluarkan lagi tetapi tidak mengetahui persis berapa hektar hingga tahun 2000.

“Singkat cerita, pada tahun 2000 luas lahan PTPN II dalam perhitungan tanah yang dimiliki perusahaan BUMN hanya 43.116,51 hektar. Anehnya, permohonan PTPN II ke Kepala BPN untuk menerbitkan surat lahan seluas 59.796,9700 hektar ketika diperpanjang. Hal ini membuat PTPN II menguasai tanah lebih dari ketentuan yaitu 16.680,46 hektar,” cetusnya.

Kata Kamisan, masyarakat menjadi bingung kenapa bisa bertambah luas tanahnya. Untuk itulah, mempermasalahkan kenapa bisa bertambah jumlahnya dari 43 ribu lebih hektar menjadi hampir 60 ribu hektar. “Kenapa bisa bertambah dan sudah mempertanyakan kepada Tengku Rizal Nurdin, Gubernur Sumut ketika itu lantaran tanah warga semakin berkurang akibat bertambah luas tanahnya. Oleh sebab itu, dibentuklah Tim B Plus untuk menyelesaikan konflik tanah tersebut. Persoalan ini juga dibahas di DPR RI hingga dibentuk Pansus guna menyelesaikan masalahnya,” bebernya.

Kamisan menyatakan, Pansus DPR RI yang menangani persoalan tersebut berpendapat sekitar 19 ribu lebih hektar dari 60 ribu hektar tanah milik PTPN II adalah tanah milik rakyat. Akan tetapi, tetapi realisasinya tidak berjalan. Bahkan, sekitar 5 ribu lebih hektar dari bagian 19 ribu hektar milik rakyat tak kunjung tuntas sampai sekarang.

“Makanya, daftar nominatif yang dibuat, rakyat selaku pemilik tanah hanya sebagian kecil yang mendapatkan haknya. Malahan, yang mendapatkan institusi pemerintah, oknum-oknum pejabat dan pengusaha,” tukasnya.

Senada disampaikan salah seorang warga Desa Bangun Sari, Tanjung Morawa, Deliserdang, Ahmad Sajib (65). Ia mengaku telah puluhan tahun tinggalnya saat ini, berdasarkan warisan nenek moyangnya. “Saya merupakan salah satu yang berhak mendapatkan eks lahan PTPN II, akan tetapi tidak dimasukkan dalam daftar nominatif penghapusbukuan. Makanya, mata pemerintah baik pusat dan daerah harus terbuka lebar melihat persoalan ini jangan hanya dari sisi administratif saja,” ujarnya. (ris/han)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/