25 C
Medan
Saturday, June 29, 2024

Melirik Kebangkitan Sumatera Utara dari Perspektif Budaya

Berbicara tentang Provinsi Sumatera Utara tentunya tak akan terpisahkan dari budaya. Mengingat, Sumatera Utara adalah satu di antara provinsi yang dikenal dengan keberagaman etnisnya, yakni 8 suku besar, dengan Batak, Nias, dan Melayu sebagai penduduk asli.

Melihat sisi keberagaman budaya yang ada di Sumatera Utara, dianggap sebagai potensi besar dalam meningkatkan semangat kebangkitan Provinsi Sumut menuju masyarakat sejahtera dengan daya saingnya.

Namun, bagaimana visi pembangunan Sumut bisa terwujud, Eron L Damanik, dosen pengajar di Fakultas Ilmu Sosial Unimed ini mengatakan, perlu adanya kesamaan persepsi.

“Dalam kajian kebudayaan, apa yang disajikan dan ditawarkan ke masyarakat pastinya akan terbentur dengan identitas masing-masing kelompok masyarakat. Nah, bagaimana identitas kelompok masyarakat ini bisa terwakilkan, maka yang dibutuhkan adalah penyatuan persepsi,” terang pria yang juga  menjabat sebagai Sekretaris Pusat Studi Ilmu Sejarah (PUSIS) Unimed , saat berbincang di ruang kerjanya belum lama ini.

Sebelum membahas lebih lanjut,  Eron mengingatkan tentang penyatuan pemahaman budaya. Selama ini dirinya  menilai ada ambivalen tentang pemahaman budaya di tengah-tengah masyarakat. Yang mana hampir semua kalangan masyarakat menganggap bahwa budaya hanya sebatas kesenian, rumah adat, musik, artefak, dan lagu daerah.

Padahal menurutnya, dalam kajian sosiologi unsur kebudayaan ini bisa sangat luas, seperti budaya dalam sistem ilmu sosial, budaya dalam sistem ilmu pengetahuan, budaya dalam sistem mata pencaharian, dll.

“Selain luas, budaya itu juga dinamis. Semakin tinggi kemampuan masyarakatnya maka akan semakin tinggi kebudayaannya,” ujarnya.

Satu contoh yakni perkembangan teknologi, seperti handphone (HP) di tengah-tengah masyarakat, adalah bukti berkembangnya budaya. Namun di balik perkembangan itu, terjadi pergeseran nilai.

Di mana masyarakat lambat laun akan meninggalkan kebiasaan silaturahmi, tatap muka, dan bersalaman, yang selama ini telah membudaya di tatanan kehidupan masyarakat.

Contoh lain adalah pasar online. Masyarakat yang sebelumnya memanfaatkan keberadaan pasar yang tak hanya sebagai tempat terjalinnya pertukaran barang dan uang, namun juga sebagai ajang silaturahmi.

Seiring berjalannya waktu akan tergantikan dengan sistem pertukaran menggunakan teknologi.

Mau tak mau, kemajuan teknologi semakin digandrungi masyarakat. Selain lebih efektif dalam menembus batas waktu dan jarak, dari sisi ekonomi, kemajuan teknologi juga cukup menjanjikan meskipun di balik bayang-bayang pergeseran nilai budaya.

Pro-kontra inilah yang harusnya bisa diminimalisasi pemerintah dalam perwujudan pembangunan Sumatera Utara.

“Misalnya berbicara pembangunan, perlu penjelasan dari perangkat pemerintah kepada masyarakat, agar tidak terjadi miss komunikasi dan berjalan sesuai harapan,” sebut Eron.

Seperti kutipan yang diambil dari buku berjudul ‘Manusia dan Alang-Alang’karya Michael R.Dove, menyentil bagaimana gagalnya pembangunan yang dilakukan pemerintah karena tidak terbangunnya satu persepsi. “Pemerintah tidak pernah menjadikan masyarakat sebagai guru melainkan sebagai murid”
Padahal menurut Eron dari kutipan kalimat itu, yang memahami satu wilayah adalah masyarakat yang berdomisli di wilayahnya. Namun yang terjadi, pembangunan yang diberikan oleh pemerintah tidak sesuai keinginan masyarakat. Alhasil, sejumlah fasilitas yang ada sering terbengkalai dan terkesan mubazir karena tidak sesuai kebutuhan.

Selain itu pendapat Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan,  menyebutkan bahwa kegagalan pembangunan di Indonesia selama ini tak lain karena mentalitas bangsa yang tidak siap dengan pembangunan itu sendiri.

Koentjaraningrat, guru besar dalam antropologi budaya pada beberapa universitas terkemuka di Indonesia serta mempunyai reputasi internasional di bidang kebudayaan, merupakan salah seorang tokoh budayawan terkemuka Indonesia di era 70 an yang mulai memperkenalkan pendekatan kultural atau pendekatan budaya terhadap pembangunan.

Pendekatan budaya inilah yang diharapkan bisa diterapkan pemerintah Provinsi Sumatera Utara, untuk mengobarkan semangat bangkit dan berdaya saing menuju masyarakat sejahtera sesuai tema hari jadinya.

Dari pemaparan di atas, bagi Eron sudah selayaknya perangkat pemerintah mulai memikirkan kebangkitan Sumut lewat pendekatan budaya.

Hal ini bisa dimulai dengan peremajaan dan perawatan secara konsisten terhadap sejumlah bangunan bersejarah dan lokasi pariwisata yang cukup menjanjikan di Sumut.

“Bahorok, Bukit Lawang, Danau Toba, dan banyak lagi lainnya, sudah menjadi referensi bagi wisatawan asing yang datang ke Indonesia. Wisatawan mancanegara yang datang Indonesia, kini tidak hanya sebatas menikmati keindahan alamnya saja, tapi lebih untuk mengenal dan menyatu bersama alam itu,”ujar Eron.

Ya, para wisatawan mancanegara lebih tertarik ke sejumlah lokasi pariwisata yang kental akan nilai historis dan budaya di suatu daerah atau biasa dikenal sebagai wisatawan peradaban.

Menurut Eron, sudah saatnya meninggalkan pola pikir untuk bersaing dengan Malaysia, Singapura, dan negara maju lainnya untuk menciptakan lokasi wisata belanja. Karena jika itu dilakukan akan sangat sulit terealisisasi dan hanya menghabiskan waktu, pikiran, dan uang.

Kini, sudah saatnya menggiring para wisatawan peradaban itu untuk hadir di Sumatera Utara dan melihat langsung kebangkitan Sumut di hari jadinya ke-66. (*)

Oleh: Kesuma Ramadhan
(Tulisan ini akan diikutsertakan dalam lomba karya tulis pers yang diselenggarakan Pemprovsu)

Berbicara tentang Provinsi Sumatera Utara tentunya tak akan terpisahkan dari budaya. Mengingat, Sumatera Utara adalah satu di antara provinsi yang dikenal dengan keberagaman etnisnya, yakni 8 suku besar, dengan Batak, Nias, dan Melayu sebagai penduduk asli.

Melihat sisi keberagaman budaya yang ada di Sumatera Utara, dianggap sebagai potensi besar dalam meningkatkan semangat kebangkitan Provinsi Sumut menuju masyarakat sejahtera dengan daya saingnya.

Namun, bagaimana visi pembangunan Sumut bisa terwujud, Eron L Damanik, dosen pengajar di Fakultas Ilmu Sosial Unimed ini mengatakan, perlu adanya kesamaan persepsi.

“Dalam kajian kebudayaan, apa yang disajikan dan ditawarkan ke masyarakat pastinya akan terbentur dengan identitas masing-masing kelompok masyarakat. Nah, bagaimana identitas kelompok masyarakat ini bisa terwakilkan, maka yang dibutuhkan adalah penyatuan persepsi,” terang pria yang juga  menjabat sebagai Sekretaris Pusat Studi Ilmu Sejarah (PUSIS) Unimed , saat berbincang di ruang kerjanya belum lama ini.

Sebelum membahas lebih lanjut,  Eron mengingatkan tentang penyatuan pemahaman budaya. Selama ini dirinya  menilai ada ambivalen tentang pemahaman budaya di tengah-tengah masyarakat. Yang mana hampir semua kalangan masyarakat menganggap bahwa budaya hanya sebatas kesenian, rumah adat, musik, artefak, dan lagu daerah.

Padahal menurutnya, dalam kajian sosiologi unsur kebudayaan ini bisa sangat luas, seperti budaya dalam sistem ilmu sosial, budaya dalam sistem ilmu pengetahuan, budaya dalam sistem mata pencaharian, dll.

“Selain luas, budaya itu juga dinamis. Semakin tinggi kemampuan masyarakatnya maka akan semakin tinggi kebudayaannya,” ujarnya.

Satu contoh yakni perkembangan teknologi, seperti handphone (HP) di tengah-tengah masyarakat, adalah bukti berkembangnya budaya. Namun di balik perkembangan itu, terjadi pergeseran nilai.

Di mana masyarakat lambat laun akan meninggalkan kebiasaan silaturahmi, tatap muka, dan bersalaman, yang selama ini telah membudaya di tatanan kehidupan masyarakat.

Contoh lain adalah pasar online. Masyarakat yang sebelumnya memanfaatkan keberadaan pasar yang tak hanya sebagai tempat terjalinnya pertukaran barang dan uang, namun juga sebagai ajang silaturahmi.

Seiring berjalannya waktu akan tergantikan dengan sistem pertukaran menggunakan teknologi.

Mau tak mau, kemajuan teknologi semakin digandrungi masyarakat. Selain lebih efektif dalam menembus batas waktu dan jarak, dari sisi ekonomi, kemajuan teknologi juga cukup menjanjikan meskipun di balik bayang-bayang pergeseran nilai budaya.

Pro-kontra inilah yang harusnya bisa diminimalisasi pemerintah dalam perwujudan pembangunan Sumatera Utara.

“Misalnya berbicara pembangunan, perlu penjelasan dari perangkat pemerintah kepada masyarakat, agar tidak terjadi miss komunikasi dan berjalan sesuai harapan,” sebut Eron.

Seperti kutipan yang diambil dari buku berjudul ‘Manusia dan Alang-Alang’karya Michael R.Dove, menyentil bagaimana gagalnya pembangunan yang dilakukan pemerintah karena tidak terbangunnya satu persepsi. “Pemerintah tidak pernah menjadikan masyarakat sebagai guru melainkan sebagai murid”
Padahal menurut Eron dari kutipan kalimat itu, yang memahami satu wilayah adalah masyarakat yang berdomisli di wilayahnya. Namun yang terjadi, pembangunan yang diberikan oleh pemerintah tidak sesuai keinginan masyarakat. Alhasil, sejumlah fasilitas yang ada sering terbengkalai dan terkesan mubazir karena tidak sesuai kebutuhan.

Selain itu pendapat Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan,  menyebutkan bahwa kegagalan pembangunan di Indonesia selama ini tak lain karena mentalitas bangsa yang tidak siap dengan pembangunan itu sendiri.

Koentjaraningrat, guru besar dalam antropologi budaya pada beberapa universitas terkemuka di Indonesia serta mempunyai reputasi internasional di bidang kebudayaan, merupakan salah seorang tokoh budayawan terkemuka Indonesia di era 70 an yang mulai memperkenalkan pendekatan kultural atau pendekatan budaya terhadap pembangunan.

Pendekatan budaya inilah yang diharapkan bisa diterapkan pemerintah Provinsi Sumatera Utara, untuk mengobarkan semangat bangkit dan berdaya saing menuju masyarakat sejahtera sesuai tema hari jadinya.

Dari pemaparan di atas, bagi Eron sudah selayaknya perangkat pemerintah mulai memikirkan kebangkitan Sumut lewat pendekatan budaya.

Hal ini bisa dimulai dengan peremajaan dan perawatan secara konsisten terhadap sejumlah bangunan bersejarah dan lokasi pariwisata yang cukup menjanjikan di Sumut.

“Bahorok, Bukit Lawang, Danau Toba, dan banyak lagi lainnya, sudah menjadi referensi bagi wisatawan asing yang datang ke Indonesia. Wisatawan mancanegara yang datang Indonesia, kini tidak hanya sebatas menikmati keindahan alamnya saja, tapi lebih untuk mengenal dan menyatu bersama alam itu,”ujar Eron.

Ya, para wisatawan mancanegara lebih tertarik ke sejumlah lokasi pariwisata yang kental akan nilai historis dan budaya di suatu daerah atau biasa dikenal sebagai wisatawan peradaban.

Menurut Eron, sudah saatnya meninggalkan pola pikir untuk bersaing dengan Malaysia, Singapura, dan negara maju lainnya untuk menciptakan lokasi wisata belanja. Karena jika itu dilakukan akan sangat sulit terealisisasi dan hanya menghabiskan waktu, pikiran, dan uang.

Kini, sudah saatnya menggiring para wisatawan peradaban itu untuk hadir di Sumatera Utara dan melihat langsung kebangkitan Sumut di hari jadinya ke-66. (*)

Oleh: Kesuma Ramadhan
(Tulisan ini akan diikutsertakan dalam lomba karya tulis pers yang diselenggarakan Pemprovsu)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/