162 Hektar Hutan Mangrove di Securai Beralih Fungsi jadi Perkebunan Sawit
PENGERUSAKAN hutan mangrove di Kabupaten Langkat masih terus terjadi. Sebanyak 162 hektar (Ha) hutan mangrove di Dusun Sukamulia Desa Securai Kecamatan Babalan, Langkat kini sudah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Ironisnya, instansi terkait seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Pemkab Langkat, mengaku tidak tahu adanya pengerusakan hutan mangrove yang kini menjadi perkebunan kelapa sawit tersebut. “Kalau soal itu terus terang saya sendiri belum tahu,” kata Kepala Bidang (Kabid) Perkebunan, Martin Ginting, Kamis (11/10) di ruang kerjanya.
Martin yang baru satu bulan menjabat sebagai Kelapa Bidang Hutbun Langkat mengaku kalaupun pihaknya mengetahui adanya hutan mangrove yang beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit, setidaknya mereka harus mencari tahu dulu kejelasan lahan itu.
“Kalau kita nggak tahu pasti dengan jelas status lahannya, kita juga sulit mengambil tindakan. Minimal, kita harus tahu status lahan mangrove itu dulu apa? Apakah lahan itu wilayah hutan mangrove yang dilindungi atau lahan masyarakat,” kilah Martin.
Jika persoalan ini tidak dikaji dengan jelas, sambungnya, maka para pengusaha yang mengalih fungsikan hutan mangrove menjadi tanaman kelapa sawit itu dengan mudah mencari delik untuk tetap bertahan. “Memang, dalam dalam Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan menyebutkan, setiap usaha perkebunan yang luasnya mencapai 25 Ha ke atas wajib membuat izin usaha,” tegasnya, seraya membeberkan, kalau PT yang membuka usaha di Desa Securai tersebut belum ada memasukan berkas ke Dishutbun Langkat.
Hanya saja, kata Martin, banyak dari para pengusaha berkelit kalau lahannya itu dibeli dari warga dan suratnya masih di kapling. “Misalnya lahan yang ditanami kelapa sawit itu 50 Ha. Begitu kita cek pengusaha itu menunjukkan surat yang masih berkapling atau artinya luas lahan kaplingan itu dibawah 25 Ha,” kata Martin.
Tapi yang jelas, ungkap Martin, masalah ini sudah ditangani oleh tim Kepolisi Daerah Sumatera Utara (Poldasu). “Baru saja anggota saya dan pihak kehutanan turun ke lokasi bersama pihak Poldasu. Kalau sudah seperti ini, kami hanya membantu proses penyelidikan yang dilakukan Poldasu. Apa yang diminta untuk kepentingan penyelidikan, sepanjang bisa kami lengkapi akan kami lengakapi,” ungkap Martin.
Ketika disebutkan kalau persoalan ini adalah tanggung jawab Dishutbun untuk melakukan pengawasan dan selanjutnya menyurati pengerusakan hutan mangrove untuk tidak melakukan kegiatannya lagi, Martin hanya mengangguk dan membenarkan hal itu.
“Memang benar, ini tidak terlepas dari tanggung jawab kami. Mulai dari menyurati pengusaha, hingga berkoordinasi dengan seluruh instansi terkait, inikan sudah ditangani Poldasu, paling seperti yang saya katakana tadi, kami hanya menyiapkan apa yang bisa kami siapkan untuk mebantu proses penyelidikan,” tegasnya.
Kasus pengalih fungsian hutan mangrove menjadi perkebunana kelapa sawit ini sebelumnya diangkat oleh LSM Perjuangan Keadalian (PEKA) dengan melayangkan surat resmi ke Dishutbun, Polres Langkat, Poldasu, Bupati, serta sejumlah instansi terkait mulai dari tingkat II sampai ke tingkat pusat. Dimana surat itu dilayangkan tertanggal 3 Oktober 2012 lalu.
Berdasarkan surat resmi inilah, diduga kuat tim Poldasu turun untuk melakukan penyelidikan ke lokasi yang dimaksud. Pasalnya, dalam surat LSM PEKA itu menyebutkan, selain mengalih fungsikan 162 Ha hutan mangrove, pengerusakan terhadap Paluhnibung juga telah dilakukan.
Dimana paluh tersebut telah ditutup dengan jarak 6 meter dari tepi sungai dan telah ditanami kelapa sawit seluas 8 Ha. (dn/smg)