26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Pengungsi Sinabung Ada yang Bunuh Diri

KABANJAHE, SUMUTPOS.CO – Sebagian besar warga yang tinggal di sekitar Gunung Sinabung belum juga bisa kembali ke rumah. Mereka sudah berbulan-bulan di pengungsian mengalami masa-masa berat. Para pengungsi mulai mengalami stres, depresi, sampai bunuh diri.

Gunung Sinabung
Gunung Sinabung

Seorang relawan bernama Ema Pinem mengatakan, dalam dua bulan terakhir, pengungsi terlihat mulai melamun, diam, terkadang sampai menangis dan putus asa. Bahkan, seorang pengungsi nekat bunuh diri akibat tak mampu menahan cobaan.

“Awalnya seorang pengungsi di GBKP Simpang VI, Jalan Meriang Ginting, Kabanjahe, sempat depresi. Keluarganya di Medan membawa korban ke Medan. Dua hari di sana, dia bunuh diri,” katanya.

Sebagai relawan, dia mencoba menghibur pengungsi dengan berbagai kegiatan positif, mulai menyiapkan hiburan adat Karo, menonton film bersama, hingga hiburan organ tunggal untuk bernyanyi dan menari bersama.

Khusus buat perempuan, jadwal memasak dengan agenda bervariasi. Setiap yang bertugas memasak, diajak jalan ke Kota Kabanjahe, memilih menu yang ingin disajikan pada pengungsi lain. Sedangkan pengungsi pria diberikan kegiatan menambah nilai ekonomis. Salah satu, meracik kopi di pasar tradisional Berastagi, menganyam tikar, dan berbagai kegiatan lain. Khusus anak-anak, setiap hari disiapkan guru pendamping buat mereka belajar.

Para relawan bersama Univeristas Sumatera Utara (USU) dan Universitas Negeri Medan (Unimed) sudah menyiapkan lokasi untuk belajar mengajar.

Rosdiyana Husein, Psikolog dari Universitas Medan Area (UMA), menyatakan, penyebab stres bagi pengungsi karena mata pencarian hilang sehingga menyebabkan gangguan ekonomi yang berdampak pada biaya hidup anak-anak.

Mereka juga tidak tahu bagaimana kondisi alam khusus Sinabung akan normal, belum lagi masa depan tidak pasti akibat kondisi desa belum bisa dihuni. “Pengungsi selama ini bertani, berkumpul dan bercengkrama dengan keluarga besar di sebuah rumah mungil, dan banyak kegiatan lain. Setelah mengungsi, itu tidak ditemukan lagi. Mereka rindu akan rumah, tetapi kalau kembali belum bisa. Itu yang membuat mereka stres, “ kata Rosdiyana.

Untuk menghilangkan stres dan jenuh pengungsi, langkah utama menyiapkan psikolog untuk membantu mereka menyelesaikan cara menghadapi stres. Lalu, menyiapkan siraman rohani atau penguatan agama, dengan menurunkan ustadz, dan pendeta, serta tokoh agama lain.

“Khusus psikolog, mereka bisa dijadwalkan, begitu juga siraman rohani. Jadi setiap hari selalu ada kegiatan menghilangkan stres dan kejenuhan,” ujarnya.

Sebelumnya, tim gabungan pakar berbagai bidang keilmuan yang dikirimkan Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta, ke wilayah sekitar Gunung Sinabung, melaporkan bahwa tingkat stress dan depresi di kalangan pengungsi cukup tinggi.

Dalam pemaparan kepada wartawan di Jogjakarta, sepekan lalu, tim tersebut mengatakan pemerintah memerlukan perencanaan jangka panjang untuk para pengungsi, serta program bantuan yang harus disusun dengan tinjauan multi-disiplin ilmu.

Kajian harus dilakukan dari sisi kebencanaan sendiri, ekonomi, pertanian, sosiologi, hingga psikologi. Bencana ini, meskipun tidak ditetapkan berskala nasional, menurut mereka, sebenarnya memiliki dimensi yang sangat kompleks. Masyarakat Karo dan sekitarnya mengalami guncangan emosional luar biasa, karena dalam ingatan mereka, Sinabung tidak pernah menjadi sumber bencana bagi masyarakat setempat.

Mengacu laporan terakhir disebutkan, jumlah pengungsi Sinabung yang lanjut usia mencapai sebanyak 2.411 orang, dan mereka ditempatkan di 43 Posko Penampungan di Kabanjahe.

Koordinator Media Center Penanggulangan Bencana Sinabung Posko Kabanjahe, Jhonson Tarigan, mengatakan, pengungsi lanjut usia (lansia) tersebut, tetap mendapat perhatian dan diberikan makanan yang bergizi. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karo, menurut dia, juga mengawasi kondisi kesehatan lansia itu, karena hal ini merupakan tanggung jawab institusi pemerintah tersebut.

“Jadi, Pemkab Karo serius mengontrol para pengungsi yang sudah berumur tua, dan bagi mereka mengalami sakit dirawat di RSUD Kabanjahe,” ucap Jhonson.

Dia menambahkan, jumlah pengungsi erupsi Sinabung hingga Selasa (11/2) tercatat sebanyak 33.206 orang atau 10.314 kepala keluarga (KK) terdiri atas 14.933 laki-laki, dan 15.376 perempuan. Selain itu, lansia 2.411 orang, ibu hamil 232 orang, dan bayi 1.357 orang.

“Pemkab Karo juga memantau perkembangan kesehatan Ibu yang lagi hamil tua, maupun bayi yang baru lahir dan dirawat di RSUD Kabanjahe,” kata
Data yang diperoleh di Posko Penanggulangan Bencana Sinabung di Kabanjahe, tercatat tujuh pengungsi erupsi Sinabung melahirkan RSUD Kabanjahe.

Ketujuh pengungsi tersebut, diantaranya Pujinta Br Ginting penduduk Desa Kutambelin melahirkan anak perempuan di RSU Kabanjahe, 2 Desember 2013.

Kemudian, pengungsi bernama Rejilena penduduk Desa Sukanalu melahirkan anak laki-laki di RSU Kabanjahe 29 November 2013, Kenika Br Sembiring penduduk Desa Gurukinayan melahirkan anak laki-laki di RSU Kabanjahe pada 18 Nopember 2103, sedangkan Meriayanti Br Sembiring , warga Desa Gurukinayan, juga melahirkan anak perempuan di RSU Kabanjahe pada 8 Desember 2013.

Dalam pantauan di sejumlah desa radius lima kilometer dari kawah Sinabung, debu vulkanik masih tebal menutupi udara Karo. Seperti di Desa Tiganderket, Kabanjahe, warga menggunakan masker penutup hidup, karena debu masih tebal. Rumah dan tanaman warga ditutupi debu vulkanik.

Hingga kemarin, Sinabung masih terus erupsi dan mengeluarkan debu tebal, serta menutupi sebagian besar rumah warga. Tim penanggulangan bencana gabungan TNI, Polri dan SAR, masih terus menyisir radius tiga hingga lima kilometer guna mengantisipasi aktivitas warga di zona berbahaya wajib kosong.

Terkait nasib para pengungsi yang tinggal di radius bahaya, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, menyatakan, pemerintah tetap merencanakan merelokasi  mereka.

Saat ini, kata dia, telah didata warga yang tinggal radius dua hingga lima kilometer. Jumlah sebanyak 1.255 jiwa atau 389 keluarga. Rencana relokasi ini, berdasarkan rekomendasi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

Dia menyebutkan, daerah yang mesti direlokasi, yakni Desa Sukameriah, Desa Bekerah dan Desa Simacem. Daerah ini sangat terancam awan panas, aliran lava, gas beracun, dan lontaran batu pijar jika Sinabung meletus dengan kekuatan besar. Di Desa Sukameriah, 450 jiwa atau 137 keluarga. Di Desa Bekerah 338 jiwa atau 115 keluarga, dan Desa Simacem 467 jiwa atau 137 keluarga.

Menurut Sutopo, kondisi perumahan dan pertanian ketiga desa itu sebagian besar mengalami kerusakan. Dikatakan pula, model relokasi mengadopsi rehabilitasi dan rekonstruksi masyarakat dan permukiman berbasis komunitas, seperti di Merapi. Dalam relokasi, warga diberikan bantuan tanah 100 meter persegi untuk perumahan dengan bangunan rumah tipe 36 per keluarga.

‘’Unit hunian, bangunan inti sederhana, disesuaikan bentuk lokasi dengan dua kamar tidur, kamar tamu dan kamar mandi atau WC,’’ ujarnya. Dikatakan Sutopo, konstruksi bangunan dirancang memenuhi kriteria struktur tahan gempa, termasuk orientasi bangunan menghadap jalan untuk memudahkan evakuasi.

“Lahan pertanian masih boleh untuk berkebun tetapi tidak boleh tempat tinggal. Saat ini Pemkab Karo masih mencari lahan di luar radius lima kiometer yang aman,” katanya. (bbs/val)

KABANJAHE, SUMUTPOS.CO – Sebagian besar warga yang tinggal di sekitar Gunung Sinabung belum juga bisa kembali ke rumah. Mereka sudah berbulan-bulan di pengungsian mengalami masa-masa berat. Para pengungsi mulai mengalami stres, depresi, sampai bunuh diri.

Gunung Sinabung
Gunung Sinabung

Seorang relawan bernama Ema Pinem mengatakan, dalam dua bulan terakhir, pengungsi terlihat mulai melamun, diam, terkadang sampai menangis dan putus asa. Bahkan, seorang pengungsi nekat bunuh diri akibat tak mampu menahan cobaan.

“Awalnya seorang pengungsi di GBKP Simpang VI, Jalan Meriang Ginting, Kabanjahe, sempat depresi. Keluarganya di Medan membawa korban ke Medan. Dua hari di sana, dia bunuh diri,” katanya.

Sebagai relawan, dia mencoba menghibur pengungsi dengan berbagai kegiatan positif, mulai menyiapkan hiburan adat Karo, menonton film bersama, hingga hiburan organ tunggal untuk bernyanyi dan menari bersama.

Khusus buat perempuan, jadwal memasak dengan agenda bervariasi. Setiap yang bertugas memasak, diajak jalan ke Kota Kabanjahe, memilih menu yang ingin disajikan pada pengungsi lain. Sedangkan pengungsi pria diberikan kegiatan menambah nilai ekonomis. Salah satu, meracik kopi di pasar tradisional Berastagi, menganyam tikar, dan berbagai kegiatan lain. Khusus anak-anak, setiap hari disiapkan guru pendamping buat mereka belajar.

Para relawan bersama Univeristas Sumatera Utara (USU) dan Universitas Negeri Medan (Unimed) sudah menyiapkan lokasi untuk belajar mengajar.

Rosdiyana Husein, Psikolog dari Universitas Medan Area (UMA), menyatakan, penyebab stres bagi pengungsi karena mata pencarian hilang sehingga menyebabkan gangguan ekonomi yang berdampak pada biaya hidup anak-anak.

Mereka juga tidak tahu bagaimana kondisi alam khusus Sinabung akan normal, belum lagi masa depan tidak pasti akibat kondisi desa belum bisa dihuni. “Pengungsi selama ini bertani, berkumpul dan bercengkrama dengan keluarga besar di sebuah rumah mungil, dan banyak kegiatan lain. Setelah mengungsi, itu tidak ditemukan lagi. Mereka rindu akan rumah, tetapi kalau kembali belum bisa. Itu yang membuat mereka stres, “ kata Rosdiyana.

Untuk menghilangkan stres dan jenuh pengungsi, langkah utama menyiapkan psikolog untuk membantu mereka menyelesaikan cara menghadapi stres. Lalu, menyiapkan siraman rohani atau penguatan agama, dengan menurunkan ustadz, dan pendeta, serta tokoh agama lain.

“Khusus psikolog, mereka bisa dijadwalkan, begitu juga siraman rohani. Jadi setiap hari selalu ada kegiatan menghilangkan stres dan kejenuhan,” ujarnya.

Sebelumnya, tim gabungan pakar berbagai bidang keilmuan yang dikirimkan Universitas Gadjah Mada (UGM), Jogjakarta, ke wilayah sekitar Gunung Sinabung, melaporkan bahwa tingkat stress dan depresi di kalangan pengungsi cukup tinggi.

Dalam pemaparan kepada wartawan di Jogjakarta, sepekan lalu, tim tersebut mengatakan pemerintah memerlukan perencanaan jangka panjang untuk para pengungsi, serta program bantuan yang harus disusun dengan tinjauan multi-disiplin ilmu.

Kajian harus dilakukan dari sisi kebencanaan sendiri, ekonomi, pertanian, sosiologi, hingga psikologi. Bencana ini, meskipun tidak ditetapkan berskala nasional, menurut mereka, sebenarnya memiliki dimensi yang sangat kompleks. Masyarakat Karo dan sekitarnya mengalami guncangan emosional luar biasa, karena dalam ingatan mereka, Sinabung tidak pernah menjadi sumber bencana bagi masyarakat setempat.

Mengacu laporan terakhir disebutkan, jumlah pengungsi Sinabung yang lanjut usia mencapai sebanyak 2.411 orang, dan mereka ditempatkan di 43 Posko Penampungan di Kabanjahe.

Koordinator Media Center Penanggulangan Bencana Sinabung Posko Kabanjahe, Jhonson Tarigan, mengatakan, pengungsi lanjut usia (lansia) tersebut, tetap mendapat perhatian dan diberikan makanan yang bergizi. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Karo, menurut dia, juga mengawasi kondisi kesehatan lansia itu, karena hal ini merupakan tanggung jawab institusi pemerintah tersebut.

“Jadi, Pemkab Karo serius mengontrol para pengungsi yang sudah berumur tua, dan bagi mereka mengalami sakit dirawat di RSUD Kabanjahe,” ucap Jhonson.

Dia menambahkan, jumlah pengungsi erupsi Sinabung hingga Selasa (11/2) tercatat sebanyak 33.206 orang atau 10.314 kepala keluarga (KK) terdiri atas 14.933 laki-laki, dan 15.376 perempuan. Selain itu, lansia 2.411 orang, ibu hamil 232 orang, dan bayi 1.357 orang.

“Pemkab Karo juga memantau perkembangan kesehatan Ibu yang lagi hamil tua, maupun bayi yang baru lahir dan dirawat di RSUD Kabanjahe,” kata
Data yang diperoleh di Posko Penanggulangan Bencana Sinabung di Kabanjahe, tercatat tujuh pengungsi erupsi Sinabung melahirkan RSUD Kabanjahe.

Ketujuh pengungsi tersebut, diantaranya Pujinta Br Ginting penduduk Desa Kutambelin melahirkan anak perempuan di RSU Kabanjahe, 2 Desember 2013.

Kemudian, pengungsi bernama Rejilena penduduk Desa Sukanalu melahirkan anak laki-laki di RSU Kabanjahe 29 November 2013, Kenika Br Sembiring penduduk Desa Gurukinayan melahirkan anak laki-laki di RSU Kabanjahe pada 18 Nopember 2103, sedangkan Meriayanti Br Sembiring , warga Desa Gurukinayan, juga melahirkan anak perempuan di RSU Kabanjahe pada 8 Desember 2013.

Dalam pantauan di sejumlah desa radius lima kilometer dari kawah Sinabung, debu vulkanik masih tebal menutupi udara Karo. Seperti di Desa Tiganderket, Kabanjahe, warga menggunakan masker penutup hidup, karena debu masih tebal. Rumah dan tanaman warga ditutupi debu vulkanik.

Hingga kemarin, Sinabung masih terus erupsi dan mengeluarkan debu tebal, serta menutupi sebagian besar rumah warga. Tim penanggulangan bencana gabungan TNI, Polri dan SAR, masih terus menyisir radius tiga hingga lima kilometer guna mengantisipasi aktivitas warga di zona berbahaya wajib kosong.

Terkait nasib para pengungsi yang tinggal di radius bahaya, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, menyatakan, pemerintah tetap merencanakan merelokasi  mereka.

Saat ini, kata dia, telah didata warga yang tinggal radius dua hingga lima kilometer. Jumlah sebanyak 1.255 jiwa atau 389 keluarga. Rencana relokasi ini, berdasarkan rekomendasi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

Dia menyebutkan, daerah yang mesti direlokasi, yakni Desa Sukameriah, Desa Bekerah dan Desa Simacem. Daerah ini sangat terancam awan panas, aliran lava, gas beracun, dan lontaran batu pijar jika Sinabung meletus dengan kekuatan besar. Di Desa Sukameriah, 450 jiwa atau 137 keluarga. Di Desa Bekerah 338 jiwa atau 115 keluarga, dan Desa Simacem 467 jiwa atau 137 keluarga.

Menurut Sutopo, kondisi perumahan dan pertanian ketiga desa itu sebagian besar mengalami kerusakan. Dikatakan pula, model relokasi mengadopsi rehabilitasi dan rekonstruksi masyarakat dan permukiman berbasis komunitas, seperti di Merapi. Dalam relokasi, warga diberikan bantuan tanah 100 meter persegi untuk perumahan dengan bangunan rumah tipe 36 per keluarga.

‘’Unit hunian, bangunan inti sederhana, disesuaikan bentuk lokasi dengan dua kamar tidur, kamar tamu dan kamar mandi atau WC,’’ ujarnya. Dikatakan Sutopo, konstruksi bangunan dirancang memenuhi kriteria struktur tahan gempa, termasuk orientasi bangunan menghadap jalan untuk memudahkan evakuasi.

“Lahan pertanian masih boleh untuk berkebun tetapi tidak boleh tempat tinggal. Saat ini Pemkab Karo masih mencari lahan di luar radius lima kiometer yang aman,” katanya. (bbs/val)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/