Aquila Qatrunnadha Parinduri, Balita Penderita Atresia Bilier asal Tanjungtiram, Batubara
PENYAKIT atresia bilier atau yang lebih dikenal dengan kelainan hati atau tidak terbentuknya saluran empedu sejak lahir, dialami bayi berusia 19 bulan, Aquila Qatrunnadha Parinduri warga Tanjungtiram, Kabupaten Batubara, Sumatera Utara (Sumut).
Penyakit yang tergolong langka yang membutuhkan biaya besar dalam pengobatannya itu menimpa anak dari keluarga ekonomi menengah ke bawah.
Awal kepedihan yang dirasakan buah hati dari pasangan suami-istri Khairul Asyahri Parinduri dan Suraya ini mulai terlihat saat Aquila mengalami sakit demam. Tidak ada obat-obatan yang mampu memberikan kesembuhan bagi Aquila. Tidak hanya itu, meskipun seluruh badannya tidak menunjukkan warna kekuningan layaknya penderita atresia bilier pada umumnya, namun keadaan penyakitnya mulai terasa saat daya tahan tubuh Aquilla terus menurun.
Saat mengetahui anaknya menderita atresia bilier, Suraya dan Khairul mengaku bingung dan terpukul. Apalagi saat mengetahui biaya untuk melancarkan operasi transplantasi tersebut hampir mencapai Rp1 miliar. “Dari mana kami dapat duit segitu,” ucap Suraya kepada wartawan, Rabu (14/11).
Pasangan muda ini setidaknya telah berupaya berkeliling ke berbagai rumah sakit baik di Medan, Sumatera Utara, bahkan di Rumah Sakit Island Penang Malaysia, demi mencari kesembuhan bagi buah hati pertama mereka itu sejak setengah tahun lalu. Namun tetap saja keputusan akhirnya adalah transplantasi. Kini, Aquila masih terbaring lemah di ruang ICU Rumah Sakit Cipto Mangung Kusumo, Jakarta Pusat.
Untuk menunggu operasi besar transplantasi hati dan empedu, dengan biaya yang diperkirakan Rp750 juta. “Aquila dapat nomor urut 4, kata dokter, kami harus menunggu beberapa lama lagi untuk operasi. Bahkan untuk saat ini tm medis RSCM juga masih menunggu tim medis dari China dan Singapore untuk membantu proses transpalntasinya,” ucap Suraya.
Khairul menimpali, sebagai pasangan suami istri muda, dirinya masih merintis usaha kecil-kecilan. Sementara Suraya hanya seorang pegawai negeri sipil (PNS) golongan II.
“Karena yang PNS itu istri saya, Askes hanya mau mencairkan dana Rp100 juta, sisanya kami bingung mau cari ke mana lagi,” ungkap Khairul.
Tidak sampai di situ, hingga kini pemerintah Kabupaten Batubara seolah menutup mata atas penyakit yang diderita oleh masyarakatnya.
Walaupun telah mengetahui penderitaan yang dirasakan Aquila, namun belum ada sedikitpun bantuan yang menyentuh keluarga Khairul. Padahal beberapa kasus penderita atresia bilier asal Sumatera Utara sebelumnya harus berakhir dengan kematian karena ketiadaan biaya, serta tidak adanya jaminan kesehatan yang mampu mendanai proses operasi tersebut.
Namun, kondisi ini tidak menyurutkan Khairul dan Suraya untuk pasrah dengan keadaan. Bagi Suraya arti kesembuhan bagi anak pertama mereka, adalah harga mati yang harus terus diperjuangkan. “Darimanapun uangnya, tetap akan kami upayakan demi kesembuhan dan masa depan Aquila,” ucapnya lirih.
Kalau untuk pendonor bilang Suraya kemungkinan besar jika tidak ayahnya Aquila, tantenya juga sudah bersedia jadi pendonor. Mencoba menilik ke belakang, penyakit serupa yang merenggut nyawa Bilqis Anindya Passa, anak dari Doni Ardianta Passa, asal Semarang Jawa Tengah.Setelah berjuang setahun lebih agar bisa pulih dari penyakit atresia bilier, Tuhan punya kehendak lain. Pada pukul 15.00 WIB, Bilqis meninggal dunia di RS Karyadi, Semarang.(uma)