JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) resmi menetapkan kenaikan upah minimum (UM) 2023 maksimal 10 persen.
Menyusul kabar tersebut, gubernur diwajibkan menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) pada 28 November 2022, dan upah minimum kabupaten/kota di 7 Desember 2022.
Ketentuan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Tertulis dalam Bab III tentang Tata Cara Penetapan Upah Minimum menyangkut penetapanupah minimum provinsi dan kabupaten/kota.
Pada pasal 13 dan 14, dijelaskan khusus mengenai penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) oleh gubernur. Disebutkan, UMP paling lambat ditetapkan pada 28 November ini. “Upah Minimum Provinsi tahun 2023 ditetapkan dan diumumkan paling lambat pada tanggal 28 November 2022,” bunyi pasal 13 ayat 2 dalam peraturan tersebut, dikutip Sabtu (19/11).
Lebih lanjut, disebutkan pula penetapan UMP tersebut dilakukan berdasarkan penghitungan penyesuaian nilai upah minimum yang telah dibuat oleh Kemnaker. Proses penghitungannya dilakukan oleh Dewan Pengupahan Provinsi.
Tidak hanya itu, pada pasal 15 dan 16 juga dijelaskan mengenai tata cara penetapan upah minimum kabupaten/kota. Dalam hal ini, gubernur juga lah yang dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota. “Upah Minimum kabupaten/kota tahun 2023 ditetapkan dan diumumkan paling lambat tanggal 7Desember2022,” bunyi pasal 15 ayat 2 dalam peraturan tersebut.
Perlu diketahui, upah minimum provinsi dan kabupaten/kota yang telah ditetapkan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2023. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yakni pada 17 November 2022.
Menyikapi Permenaker tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatra Utara (Pemprovsu) akan membahas terkait kenaikan upah minimum provinsi (UMP) Sumut tahun 2023. “Untuk UMP ini sudah dirapatkan dengan Menaker, untuk provinsi kita rapatnya tadi masih dalam rangka menentukan rumusan,” kata Edy Rahmayadi kepada wartawan, Sabtu (19/11).
Disebutkan Edy, sebelum UMP ditetapkan, Pemprov Sumut melalui Dinas Tenaga Kerja, unsur pengusaha dan buruh/pekerja, akan menggelar pembahasan terkait kenaikan tersebut. Namun yang pasti, kata Edy, Pemprov Sumut harus mengetahui bagaimana kondisi perusahaan-perusahaan yang ada di Sumut. “Tapi yang pastinya, Sumatera Utara tau kan kita, ada beberapa perusahaan yang secara struktural sangat sulit untuk kita bandingkan satu sama lain,” ujarnya.
Namun, kata Edy ada beberapa perusahaan yang harus disamakan agar kenaikan UMP bisa dirasakan seluruh pekerja. “Misalnya seperti pabrik-pabrik CPO. Itukan tak bisa disamakan dengan pabrik yang sifatnya struktural, ini yang mau disamakan,” sambungnya.
Untuk gambaran besaran UMP Sumut tahun 2023, kata Edy Rahmayadi, kemungkinan akan mengalami kenaikan sekitar 2 persen dari UMP tahun sebelumnya. “Kalau kita hitung dia sekitar 2 persen, kalau kita hitung ya. Tapi itu kita pelajari nanti,” ungkapnya.
Terkait harapan sejumlah besar buruh di Sumut yakni kenaikan UMP sebesar 13 persen, menurut Edy hal itu berat direalisasikan. “Kalau 15 persen tutup perusahaan itu semua nanti,” pungkasnya.
Sementara, Ketua Exco Partai Buruh Sumatera Utara Willy Agus Utomo, meminta Gubsu Edy Rahmayadi berani mengambil kebijakan sendiri atau diskresi atas penetapan kenaikan Upah Minimum Provinsi atau Upah Minimum Kabupaten Kota (UMP/ UMK) se-Sumatera Utara yang akan berlaku pada awal Januari tahun 2023 mendatang. Menurut Willy, jika Edy hanya ikut arahan dari pemerintah pusat terkait penetapan upah, maka gelombang protes elemen buruh Sumut akan bergejolak.
Hal ini, kata dia, dikarenakan selama kurun waktu tiga tahun terakhir para buruh di Sumut tidak pernah lagi mengalami kenaikan upah disebakan lahirnya UU Cipta Kerja yang menurutnya telah menghilangkan aturan penetapan Upah Minimum Sektoral Provinsi dan Kabupaten Kota (UMSP/ UMSK). “Pemerintah pusat kita hanya menaikan upah paling tinggi 10 persen saja, kalau gubernur tidak Diskresi, alamat makin miskin buruh di Sumut ini, kami tegas menolak upah murah tersebut,” ujar Willy Agus Utomo, Sabtu (19/11).
Willy mengatakan, pihaknya tetap meminta UMP dan UMK se Sumut untuk tahun 2023 mendatang naik rata-rata di angka 13 persen. Sebab kata Willy, jika kenaikan itu dikabulkan upah buruh di Sumut pun belum tentu mengalami kenaikan yang signifikan. “Kenaikan 13 persen itu hanya untuk mengejar ketertinggalan tidak naik upah buruh Sumut, yang sebegitu lama akibat PP 36 UU Cipta Kerja yang selama ini telah mengebiri hak buruh,” ungkap Willy.
Willy mencontohkan, Pada 2021 UMK Medan sebesar, Rp 3.329.867, sedang buruh Kota Medan sudah menerima upah saat ini diangka Rp 3.500.000 hingga Rp 3.600.000, karena sebelum ada UU Cipta Kerja, upah buruh memakai hitungan Upah Minimum Sektoral Kabupaten Kota (UMSK).
Sedang dari tahun 2020 yang lalu hingga saat ini, para buruh sudah tidak pernah mengalami kenaikan upah selain karena UMSK Hilang, penetapan UMP dan UMK dianggap buruh sangat kecil atau tidak pernah naik di atas 4 persen. “Kita hitung saja 13 persen dari UMK Medan 3.329.867 adalah bekisar 432.000, maka akan terjadi kenaikan menjadi 3.761.867, jika hari ini buruh Medan sudah bergaji 3.600.000 karena upah sektoral, pengusaha hanya menambah kenaikan upah buruhnya 161.000 saja untuk tahun 2023, hal ini wajar karena buruh sudah tidak naik gaji 3 tahun terakhir ini,” ujar Willy.
Ketua Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia atau FSPMI Sumut ini menuturkan jika sebaliknya, gubernur hanya menaikan Upah Buruh hanya 3 persen saja, maka seluruh buruh di Sumut dapat dipastikan tidak akan mengalami kenaikan upah untuk ke empat kalinya.
Sementara kata Willy, saat ini harga kebutuhan pokok sudah sangat melonjak, belum lagi dampak kenaikan BBM yang menambah menurunnya daya beli masyarakat khususnya kaum buruh. “Jadi kami mohon sekali lagi, ayo gubernur berani Diskresi untuk upah buruh Sumut, buruhmu sudah lama menderita, saatnya berempatilah kepada buruhmu agar bermartabat dan sejahtera,” pungkasnya. (dtc/trb/bbs/adz)