Site icon SumutPos

Terpilih jadi Tokoh Lingkungan Bersama Pangeran Charles

Henry Saragih, Orang Deliserdang Koordinator Gerakan Petani Dunia

Ternyata ada petani Indonesia yang masuk menjadi petani berpengaruh di dunia. Dia adalah Henry Saragih, ketua umum Serikat Petani Indonesia (SPI) sekaligus koordinator La Via Campesina, organisasi Gerakan Petani Sedunia. Gebrakan pemikiran dan aksinya mampu menembus gedung markas Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).

SEPERJUANGAN: Henry Saragih (kiri) bersama rekan seperjuangannya, Presiden Bolivia, Evo Morales. //Henry Saragih for Jawa Pos/jpnn

Sore itu (17/12), di kantor SPI yang juga kantor La Via Campesina, wajah Henry Saragih masih tampak tegang.

Dia berusaha tersenyum. Namun, rasa gusar masih tergurat di wajahnya. “Mohon maaf, kalau ada penggusuran atau kekerasan pada petani, saya jadi emosional. Saya dinginkan kepala dulu,” katanya lirih.

Henry yang lahir dari keluarga petani itu pada masa kecil sempat merasakan pedihnya penggusuran ketika lahan pertanian dan rumah orangtuanya digusur perusahaan perkebunan karet di Deliserdang, Sumatera Utara.

Rupanya, hari itu ada kabar penggusuran petani masyarakat adat di daerah Jambi oleh aparat dari Kementerian Kehutanan dan polisi. Henry langsung turun tangan dengan menemui Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

Pertemuan itu menelurkan kesepakatan, yakni ditariknya aparat kepolisian dari wilayah tempat tinggal masyarakat adat. Sementara itu, masyarakat adat dilarang memperluas areal pertanian di wilayah hutan.

“Kesepakatan itu harus dikawal. Kalau tidak, nanti sewaktu-waktu petani di sana bisa digusur lagi,” ujarnya.

Upaya Henry membela petani Jambi itu bagaikan menarik ingatannya kembali pada 25 tahun silam. Ketika itu, pada 1987, Henry yang masih kuliah di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP USU) sudah aktif dalam gerakan mahasiswa yang berfokus mendampingi petani di Sumatera Utara.

Pada 1992, Henry bersama rekan-rekannya membentuk Serikat Petani Sumatera Utara. Di beberapa daerah lain seperti di Jawa Barat, para aktivis mahasiswa juga membentuk organisasi semacam. “Tentu, semua perkumpulan itu underground (gerakan bawah tanah, Red) karena pemerintah Orde Baru sangat antipati terhadap gerakan-gerakan tani,” ujarnya dengan logat Batak yang cukup kental.

Gelombang reformasi menjadi momentum bagi Henry dan kawan-kawan untuk mendeklarasikan Serikat Petani Indonesia (SPI) pada 8 Juni 1998 dengan kantor pusat di Medan. Barulah pada 2003, kantor pusat pindah ke Jakarta.

Henry menyatakan, sejak pertengahan 1990-an, dirinya mengembangkan jaringan ke gerakan petani internasional. Bahkan, pada 1996, Serikat Petani Sumatera Utara mendaftar sebagai anggota La Via Campesina. Bahkan, lantaran posisi Indonesia sebagai negara agraris, kiprahnya mulai diperhitungkan. Dan, pada 2000, Indonesia terpilih sebagai representasi La Via Campesina untuk wilayah ASEAN dan Asia Timur.

Puncaknya, pada 2004, Indonesia dipilih anggota La Via Campesina sebagai representasi kantor internasional, sehingga secara otomatis Henry menjadi koordinator umum La Via Campesina untuk periode 2004-2008. Lalu, pada 2008, Henry terpilih untuk kali kedua sebagai koordinator umum La Via Campesina periode 2009-2012.

“Tahun depan, kepemimpinan (La Via Campesina) beralih ke Afrika,” ujar pria kelahiran Deliserdang, 11 April 1964, itu.

Saat ini, di Indonesia terdapat 28 juta petani. Namun, yang menjadi anggota SPI baru sekitar 700 ribu orang. Jumlah tersebut lebih sedikit dibanding anggota serikat petani India yang mencapai 20 juta orang. Lalu, mengapa Indonesia terpilih menjadi representasi La Via Campesina?

Rupanya, pemikiran dan antusiasme Henry dinilai para anggota La Via Campesina layak menjadi motor gerakan petani sedunia. Selain pelatihan kepada petani, kampanye pertanian ramah lingkungan, maupun perlindungan petani, Henry memiliki gagasan besar tentang isu krisis pangan yang berakibat pada kelaparan di banyak penjuru dunia.

Dia mengungkapkan, pada 1996, terdapat 825 juta jiwa di seluruh dunia yang menderita kelaparan. Dari tahun ke tahun, angka tersebut terus meningkat. Pada 2006, PBB melalui Food and Agriculture Organization (FAO) menargetkan angka kelaparan bisa ditekan menjadi separonya atau sekitar 400 juta jiwa. Namun, target itu meleset. Kini angka kelaparan justru menembus hampir 1 miliar jiwa.

Menurut dia, ada beberapa penyebab. Di antaranya adalah korporatisasi pangan. Yakni, akses ke sumber-sumber makanan dikuasai perusahaan-perusahaan multinasional, sehingga distribusinya tidak merata. Komoditas pangan juga menjadi alat spekulasi para pedagang di pasar komoditas internasional, sehingga harga pangan tidak stabil.

“Jadi, sistem korporatisasi pertanian terbukti gagal mengurangi angka kelaparan. Parahnya, mayoritas korban kelaparan berada di pedesaan. Kebanyakan adalah petani yang tidak punya lahan,” ucapnya.

Tudingan pun langsung tertuju pada organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) yang menjadi motor sistem perdagangan bebas dunia. Tak sekadar bicara, Henry langsung beraksi.

Pada Desember 2005, ketika agenda Ministerial Meeting atau pertemuan menteri-menteri anggota WTO dilaksanakan di Hongkong, dia memimpin ribuan anggota La Via Campesina dari berbagai negara untuk berdemo, bergabung dengan ribuan aktivis lainnya. Sekitar 10 ribu demonstran mengepung Hongkong Convention and Exhibition Center yang menjadi lokasi pertemuan. Situasi yang memanas membuat beberapa agenda pertemuan terpaksa dibatalkan. Ujungnya, bentrokan antara polisi dan demonstran tak terelakkan.

“Gara-gara demo itu, saya ditangkap polisi Hongkong. Ditahan dua hari dan baru dilepaskan setelah acara Ministerial Meeting selesai,” ungkapnya lantas tertawa.

Demo besar itu membuat agenda dua tahunan tersebut kemudian dipusatkan di Jenewa, Swiss (2009 dan 2011). “Pada 2013, Ministerial Meeting WTO malah akan dilaksanakan di Bali,” ucapnya.

Berbagai aksi Henry membuat dirinya sempat ditolak masuk ke beberapa negara. Pengajuan visa untuk berkunjung ke suatu negara sering ditolak, terutama jika di negara tersebut sedang berlangsung agenda pertemuan internasional. Interogasi 4-5 jam oleh petugas imigrasi sudah biasa dialami Henry setiap pergi ke luar negeri.

Hambatan-hambatan seperti itu tak menyurutkan langkahnya. Konsistensi mendukung hak-hak petani serta sistem pertanian yang berkelanjutan terus disuarakan di berbagai forum. Setidaknya, sebagai koordinator La Via Campesina, Henry selalu menjadi pembicara di agenda tahunan FAO PBB dan dewan hak asasi manusia (HAM) PBB. Bahkan, pada 2009, dia menjadi salah seorang pembicara di Sidang Umum PBB.

Selain agenda-agenda yang diselenggarakan PBB, Henry aktif menyuarakan aspirasi petani di berbagai forum internasional. Misalnya, pada 2009, dia dipercaya membuka agenda klimatoforum di Kopenhagen, Denmark. Itu merupakan ajang pertemuan global masyarakat dan gerakan-gerakan sosial di seluruh dunia yang membahas solusi perubahan iklim.

Henry menyebutkan, pencapaian membanggakan gerakan petani sedunia yang terbaru adalah keputusan Dewan HAM PBB. Pada 28 September 2012, organisasi itu merilis resolusi mengenai promosi hak asasi petani. Resolusi tersebut ditetapkan untuk memberikan perlindungan kepada petani. Sebab, berdasar data PBB, 80 persen orang yang menderita kelaparan berada di pedesaan dan 50 persennya adalah petani.

Selain itu, petani secara historis mengalami diskriminasi dan pelanggaran hak asasi yang khas.”Misalnya, pelanggaran hak atas tanah dan teritori. Yakni, petani dan masyarakat adat digusur, terutama kasus perampasan tanah (land grabbing) yang terjadi di banyak negara.

Tentu, meloloskan resolusi hak asasi petani di Dewan HAM PBB bukan perkara mudah. Berbagai lobi dan koordinasi dengan 47 negara anggota Dewan HAM PBB serta pencarian dukungan dari berbagai organisasi dunia dilakukan secara intensif. Hasil voting untuk resolusi tersebut menunjukkan, 23 negara setuju, 15 negara abstain, dan 9 negara menolak. Yang menolak, antara lain, AS, Spanyol, dan Italia.

“Kami mengapresiasi pemerintah Indonesia yang merespons positif resolusi ini,” katanya.

Salah seorang tokoh yang getol mengampanyekan resolusi itu adalah Presiden Bolivia Evo Morales yang dikenal dekat dengan Henry. “Dulu dia ketua serikat petani Bolivia. Jadi, kami sering berkoordinasi di La Via Campesina,” ujar pria yang menguasai bahasa Inggris dan sedikit bahasa Spanyol itu.
Menurut Henry, ide memperjuangkan hak asasi petani kali pertama muncul di Indonesia. Pada konferensi SPI 2000, gagasan tersebut mulai dibahas. Gagasan itu lalu dibahas di regional ASEAN hingga ke tingkat dunia. Setelah itu, La Via Campesina selalu menyuarakannya di berbagai forum PBB.
“Perjuangan selama 12 tahun itu akhirnya membuahkan hasil. Ini adalah sumbangsih petani Indonesia untuk petani di seluruh dunia,” tegasnya.

Sumbangsih pemikiran dan tenaga Henry dalam gerakan tani internasional mendapat apresiasi positif. Misalnya, pada 2006, dia memperoleh penghargaan dari Institute for Global Justice. Lalu, pada 2008, dia dinobatkan The Guardian Inggris sebagai satu di antara 50 tokoh penyelamat bumi.
John Vidal, kolumnis The Guardian, menyebut Henry sebagai salah seorang sosok yang perjuangannya akan menentukan keberlangsungan hutan tropis di Asia Tenggara dalam waktu 50 tahun ke depan serta menentukan masa depan politik di banyak negara berkembang.

Bukan itu saja. Pada 2011, media mingguan The Observer (Inggris) memasukkan Henry dalam daftar 20 Green Giants atau tokoh lingkungan. Dia sejajar dengan aktor Hollywood Brad Pitt, Presiden Bolivia Evo Morales, mantan Gubernur California AS Arnold Schwarzenegger, hingga Pangeran Charles.
Berbagai penghargaan tersebut membuat sebuah jaringan televisi internasional tertarik menjadikan Henry sebagai narasumber tetap dalam acara diskusi yang menghadirkan para calon peraih Nobel. Acara tersebut dilakukan secara reguler di Dubai (Uni Emirat Arab) dan keliling di beberapa negara. Namun, tawaran dengan honor menggiurkan itu ditolak. Alasan Henry, salah satu sponsor acara tersebut adalah perusahaan migas multinasional yang dinilai banyak membuat kerusakan lingkungan. “Saya hanya ingin konsisten,” tegasnya.

Untuk hidup sehari-hari, suami Mazdalifah yang menjadi dosen di Universitas Sumatera Utara (USU) tersebut mengandalkan penghasilan dari lahan perkebunannya di Deliserdang serta areal budi daya ikan. Dua anaknya, Izzah Dienillah dan Mujahid Widyan, kini tengah menempuh kuliah di USU.
Padatnya aktivitas membuat Henry menghabiskan banyak waktu di Jakarta atau di luar negeri. “Yang paling banyak berkorban tentu istri saya,” ucapnya.

Di Jakarta, Henry tinggal di kantor SPI yang beralamat di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Ruang kerjanya sederhana, berukuran sekitar 5×5 meter, tanpa AC. Selain meja kerja dan meja tamu, ada lemari kaca tempat menyimpan beberapa penghargaan dan buku. Di belakang lemari itu terdapat dipan kayu berukuran 80×180 cm. Di atasnya ada kasur busa tipis yang dibalut seprai biru. “Ini ruang kerja sekaligus kamar tidur saya,” ucapnya lantas tersenyum. (*)

Exit mobile version