25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Perjuangan AQUA Bersama Kelompok Tani Sehat Kembangkan Tanaman Organik di Langkat (1)

Menggali “Emas” di Tumpukkan Kompos

Keberadaan perusahaan air minum mineral AQUA cukup memberikan manfaat yang luar biasa, terutama bagi kesehatan, lingkungan, dan masyarakat. Seperti pabrik AQUA yang berada di Jalan Pasar 6 Binjai – Namu Ukur, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, berkomitmen mensejahterakan masyarakat maupun petani, demi peningkatan ekonomi.

Seperti apa?

LAILA AZIZAH, Langkat

Pagi itu, tepatnya Kamis, 28 September 2023 lalu, wartawan Sumut Pos berangkat dari Kota Medan menuju Kabupaten Langkat, untuk bergegas menemui para petani binaan pabrik AQUA di Langkat. Bersama fotografer, kami menempuh perjalanan kurang lebih satu jam dari Kota Medan menuju lokasi pertemuan, tepatnya di Jalan Raya Binjai – Namu Ukur, Desa Pasar VI Kwala Mencirim, Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat.

Waktu menunjukkan pukul 10.15 WIB saat kami tiba di lokasi. Kedatangan kami ternyata sudah ditunggu para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Sehat. Wajah-wajah ceria dan sambutan hangat para petani itu di antaranya, Supriyanto, Yono, Buaming, Yogi, Tejo, Jamil, dan beberapa lainnya, seolah tak sabar ingin memberikan ruang untuk bercerita pengalaman bahagia mereka kepada wartawan Sumut Pos.

“Apa kabar kak? Kami sudah menunggu dan siap diwawancarai,” kata Supriyanto dengan wajah ceria kepada Sumut Pos.

Di atas lahan seluas 1.600 meter persegi di Jalan Raya Binjai – Namu Ukur, Desa Pasar VI Kwala Mencirim, Kecamatan Sei Bingai, Kabupten Langkat, yang menjadi tempat pertemuan kami ini, merupakan lahan pertanian yang dikelola AQUA bersama Kelompok Tani Sehat. Kebun ini memang digunakan Kelompok Tani Sehat untuk berkumpul, berdiskusi dan belajar bersama menjalankan sistem pertanian ramah lingkungan atau pertanian organik.

Kelompok Tani Sehat ini terbentuk sejalan dengan pengenalan program pertanian ramah lingkungan untuk masyarakat Desa Pasar VI Kwala Mencirim, Sei Bingai, Kabupaten Langkat, oleh Pabrik AQUA Langkat, dengan mitra pelaksana Sources of Indonesia (SOI) pada 2019.

Nah, kebetulan, saat ini di lahan tersebut sedang ditanami sayuran sawi, kangkung, selada, timun dan lainnya. “Sayuran itu sudah siap panen dan akan kita pasarkan, kak. Sayuran ini kita tanam bersama-sama dan hasil panennya kita nikmati bersama juga,” ujar Supriyanto sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah tanaman sayuran itu.

Sayuran di lahan itu memang terlihat sangat subur, daunnya tumbuh lebat dan hijau. Ini karena Kelompok Tani Sehat mengelola tanaman secara organik menggunakan pupuk kompos padat dan kompos cair dengan memanfaatkan kotoran ternak.

Padahal, semula para petani di Desa Pasar VI Kwala Mencirim tidak percaya kalau pupuk kompos jauh lebih baik dari pupuk kimia. Namun berkat kegigihan pihak AQUA, mampu menggandeng petani di sana hingga beralih ke pupuk kompos.

Supriyanto pun mengisahkan bagaimana dia bersama teman-teman petani, akhirnya mau mengadopsi sistem pertanian organik menggunakan pupuk kompos. Waktu itu sekitar tahun 2019. Pihak AQUA Langkat menggandeng SOI, menginisiasi dengan pengenalan metode Sekolah Lapang atau System of Rice Intensification (SRI).

“Saat itu menanam benih padi dengan sistem SRI. Benih padi yang ditanam jumlahnya satu atau satu tunas. Selama ini masyarakat kalau menanam sampai 10 tunas atau 5 tunas padi sehingga jadi lebih boros. Waktu itu kami mohon agar penanaman padi pakai sistem organik 100 persen dan 30 persen kimia. Maksudnya, supaya petani bisa tahu perbedaan hasilnya,” ujar Supriyanto.

Pada dasarnya, teknologi SRI memperlakukan tanaman padi tidak seperti tanaman air yang membutuhkan air yang cukup banyak, karena jika penggenangan air yang cukup banyak, maka akan berdampak tidak baik yaitu akan hancurnya bahkan matinya jaringan kompleks (cortex, xylem dan phloem) pada akar tanaman padi.

Hal ini akan berpengaruh kepada aktivitas akar dalam mengambil nutrisi di dalam tanah lebih sedikit. Sehingga, pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan terhambat dan mengakibatkan kemampuan kapasitas produksi akan lebih rendah.

Akibat yang ditimbulkan dari penggenangan air tersebut, maka budidaya padi SRI dapat diartikan sebagai upaya budidaya tanaman padi yang memperhatikan semua komponen yang ada di ekosistem, baik itu tanah, tanaman, mikro organisme, makro organisme, udara, sinar matahari dan air.

Upaya menanam padi menggunakan sistem SRI yang dilakukan AQUA, ternyata membuahkan hasil yang luar biasa. Hasil tanaman padi yang menggunakan pupuk kimia dikalahkan dengan tanaman padi yang menggunakan sistem organik. Meski demikian, hal tersebut tak juga membuat Supriyanto dan para petani di sana mudah percaya. Itu karena belum bisa move on (pindah,Red) begitu saja dari pupuk kimia.

“Awalnya saya tidak percaya dengan pupuk kompos. Saya pikir kalau pakai kompos sifat kerjanya lambat dibanding dengan pupuk kimia. Hasilnya pun lebih sedikit. Tapi setelah melihat hasil tanam padi itu, saya mulai penasaran,” ujar Supriyanto sambil mengenang.

Meski susah payah membujuk petani yang enggan menerapkan sistem pertanian organik saat itu, tak membuat pihak AQUA Langkat putus asa, tetap bertekad menyalurkan program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan pertanian ramah lingkungan.

AQUA Langkat bersama SOI kemudian mengutus 6 orang petani, Supriyanto, Yono, Buaming, Yogi, Tejo, Jamil, untuk belajar di Pertanian Alternatif Nusantara Sumatera Utara (Pansu) di Lubuk Pakam selama seminggu. Komitmennya, petani yang ikut latihan itu harus mengaplikasikan ilmunya kepada petani lain di wilayahnya. “Kami dilatih selama seminggu bagaimana menerapkan sistem pertanian ramah lingkungan serta menggunakan pupuk kompos,” kata Supriyanto lagi.

Seusai mengikuti pelatihan selama seminggu di Pansu, Supriyanto dan kawan petani kembali ke desa untuk melakukan uji coba menerapkan ilmu yang mereka dapatkan di lahan masing-masing. Hasilnya tentu saja mengembirakan. Tanaman jagung milik Supriyanto tumbuh subur. “Buah jagung tak kerdil lagi, jagungnya tumbuh besar. Warnanya juga cantik,” tutur Supriyanto.

Ketika Supriyanto, Yono, Buaming, Yogi, dan Tejo sudah merasakan manfaat bertani organik menggunakan pupuk kompos, mereka pun lantas mendirikan Kelompok Tani Sehat atas persetujuan dan binaan AQUA dan SOI. Berdirinya Kelompok Tani Sehat tak terlepas akibat sulit dan mahalnya mendapatkan pupuk kimia. Ditambah lagi, penggunaan pupuk kimia menyebabkan tanah menjadi tandus dan rusak.

“Kondisi masyarakat saat itu 90 persen pertanian menggunakan pupuk kimia. Padahal, pupuk kimia sangat sulit didapat dan harganya pun sangat tinggi, bahkan hasil panen tidak menutupi biaya yang sudah dikeluarkan. Makanya kami lalu bertekad mendirikan Kelompok Tani Sehat,” tutur Supriyanto sambil menyerumput kopinya.

Mereka pun lantas bergerak mengumpulkan para petani sekitar dengan melakukan pertemuan kali pertama di malam hari, tepatnya di sebuah warung. Imbalannya, pihak AQUA bersama SOI menyediakan bibit tanaman tomat untuk mereka yang hadir.

“Jadi saat itu orang berkumpul di warung. Kita sediakan tong besar untuk tempat pupuk kompos dan bibit tomat yang diberikan AQUA. Tujuannya agar petani yang datang bisa mengambil kompos dan bibit tomat untuk ditanam di lahan mereka. Kita ajari mereka cara menanam organik,” kata Supriyanto lagi.

Buah dari kerja keras itu, akhirnya para petani mulai mengerti manfaat bertanam organik dengan pupuk kompos. Misalnya pada pupuk kompos cair, Kelompok Tani Sehat menggunakan bahan utama air kelapa, air cucian beras, kulit nanas, kulit pisang, semuanya dicampur, lalu difermentasi selama 10 hari hingga 15 hari.

“Sari-sarinya kita gunakan untuk menyiram tanaman sayur atau tanaman lain. Air kelapa karbohidratnya tinggi, nutrisinya juga tinggi dan menyuburkan tanaman. Para petani menerapkan pupuk kompos cair ini ke tanaman mereka dan membuktikan hasilnya sendiri,” ungkap Supriyanto.

Setelah pembuktian itu, Kelompok Tani Sehat mengajukan kepada pihak AQUA untuk menyediakan lahan pertanian organik sebagai percontohan. Pihak AQUA pun menyetujuinya dengan menyewa lahan, tepatnya tahun 2021. Ini tentu saja sejalan dengan program AQUA dalam pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan pertanian ramah lingkungan, dengan mendorong pertanian holtikultura melalui komoditas tomat, cabai, jagung, melon, dan lain-lain sebagai bahan belajar kelompok.

”Pihak AQUA menyewa lahan milik Pak Yogi yang juga anggotaKelompok Tani Sehat. Tapi saat itu lahannya sudah tandus dan rusak karena banyak menggunakan cairan pupuk kimia. Kami suburkan lahan kembali dengan menggunakan kompos selama empat bulan,” kata Supriyanto kala mengingat perjuangan mereka memulai tanaman organik.

Setelah lahan subur, barulah Kelompok Tani Sehat saat itu menanami lahan dengan sayur pare, cabai dan tomat. Hasilnya cukup lumayan, mereka memanen tanaman pare hingga 2,5 ton. Di lahan inilah menjadi tempat pertemuan Kelompok Tani Sehat yang saat ini sudah beranggotakan hampir 30 petani. Mereka mengembangkan lahan percontohan itu sekaligus tempat berdiskusi.

Supriyanto pun saat ini kian bersemangat bertani menggunakan pupuk kompos. Dulu, kata dia, saat pakai pupuk kimia, hasil panen mencapai 60 persen sangat sulit. Bahkan,Supriyanto dan para petani selalu terlilit utang karena tingginya biaya produksi menggunakan pupuk kimia.

“Kalau dulu, pinjam modal sama agen atau tengkulak untuk biaya produksi. Saat panen kita bayar utang, habis itu utang lagi untuk biaya produksi karena mahalnya pupuk dan tingginya biaya produksi. Tapi sekarang, setelah pakai sistem organik, biaya lebih rendah, hasil panen lebih baik dan tak terlilit utang lagi di agen,” kata Supriyanto tersenyum ceria.

Bahkan, Supriyanto bilang, dengan menggunakan pupuk organik, istrinya menjadi bahagia. Ini karena Supriyanto tidak pernah lagi meminta uang kepada istrinya untuk membeli racun tanaman. ”Pupuk kompos memang kotor dan bau, tapi mampu mensejahterakan petani. Kami seperti menggali emas di tumpukan kompos. Bagi saya, kompos itu memang bernilai seperti emas,” pungkas Supriyanto.

Sedangkan Tejo juga bercerita ihwal dirinya tak percaya dengan tanaman organik menggunakan pupuk kompos. “Awalnya saya tidak percaya dengan organik ini. Lalu saya coba pada tanaman padi di lahan saya dengan 70 persen pakai organik dan 30 pakai kimia. Hasilnya lumayan dan alhamdulillah bisa mengurangi biaya produksi,” ungkap Tejo yang duduk bersebelahan dengan Supriyanto.

Tejo mengaku kalau Kelompok Tani Sehat dulu sempat diejek gila dan ditertawakan oleh para petani sekitar. Itu terjadi saat mereka mengambil telur serangga hama wereng di tanaman. Padahal, itu mencegah telur agar tidak menetas. “Wereng paling merusak tanaman di masa pembenihan. Kita tidak gunakan racun pestisida karena telur wereng sudah kita hancurkan. Ternyata hasilnya, lahan tani milik tetangga diserang hama, sedangkan lahan kami tidak,” kata Tejo penuh semangat.

Begitu juga dengan Jamil, juga mengakui kalau saat ini pertanian mereka dengan sistem organik menggunakan pupuk kompos, jauh lebih baik dibanding dulu. Saat ini dirinya sudah terlepas dari jerat utang tengkulak karena bertani organik tak membutuhkan biaya produksi yang mahal. “Hasil tanaman pakai pupuk kompos lebih banyak. Contohnya padi. Kalau pakai pupuk kimia, gabah padi bentuknya besar, kulitnya tebal. Tapi kadar susut airnya tinggi setelah digiling. Beda sama gabah pakai pupuk kompos, kulit padinya tipis, tapi kadar susut airnya tidak tinggi. Harga beras organik juga lebih mahal,” kata Jamil.

Contoh lain, saat Jamil menanam buah bengkoang di atas tanah seluas 4 rante (1 rante = 400 meter), bisa menghasilkan berat bengkoang 6 ton. Padahal saat pakai pupuk kimia, untuk mendapatkan 1 ton bengkoang di lahan satu rante sangat sulit. “Buah bengkoang yang menggunakan pupuk kompos bobotnya lebih berat. Kalau saya ibaratkan kompos dan pupuk kimia itu seperti wanita. Kalau wanita tinggal di kota memang cantik tapi boros karena banyak polesan. Beda sama wanita di kampung, cantik tanpa polesan dan tidak boros,” ujar Jamil berkelakar.

Kini, petani yang tergabung di Kelompok Tani Sehat semakin menggiatkan tanaman organiknya. Mereka memanfaatkan pekarangan rumah dengan menanam sayuran. Pot bunga tak lagi diisi tanaman bunga, berganti tanaman sayuran. Mulai dari selada, sawi, cabai, tomat, kangkung, bayam, dan lainnya. Bahkan, hasil sayuran dari tanaman pekarangan rumah tak hanya dikonsumsi sendiri, tapi juga dijual melalui media sosial. Tentu harganya jauh lebih mahal. Tekad mereka, ingin menghasilkan uang yang cukup banyak agar bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.

Kelompok Tani Sehat juga bertekad mengajak petani sekitar untuk ikut cara bertani organik agar semua petani sejahtera. Mereka ingin mengubah sistem pertanian yang ada di desa mereka beralih ke organik. Mereka berharap tetap didampingi AQUA dan SOI untuk mewudkan cita-cita sosial mereka itu.

Stakeholder Relations Manager Pabrik AQUA Langkat Jimmi Simorangkir mengatakan, kebun sehat yang dikelola Kelompok Tani Sehat diinisiasi tahun 2019. Hal yang melatarbelakangi adalah harga pupuk kimia yang semakin mahal. ”Jadi bagaimana supaya ke depan, tanah yang ada di sekitar perusahaan AQUA bisa kembali sehat. Kegiatan pertanian ramah lingkungan ini bertujuan membantu masyarakat di sekitar Desa Pasar VI Kwala Mencirim dan Desa Namu Ukur Utara dapat meningkatkan perekonomian melalui peningkatan hasil pertanian yang dikelola secara ramah lingkungan. Hasil pertanian dari Kwala Mencirim ini pun jadi lebih sehat untuk dikonsumsi masyarakat,” kata Jimmi.

Jimmi tak menampik kalau betapa sulitnya mengajak petani saat itu untuk mau bertani ramah lingkungan. Pihaknya beberapa kali melakukan pertemuan dengan para petani. ”Awalnya dulu, kita kerja sama dengan Yayasan Pansu yang ada di Deliserdang. Jadi para petani kita belajar di sana selama beberapa hari, dilatih bagaimana menjadi petani organik. Hingga, akhirnya berdirilah Kelompok Tani Sehat,” ujar Jimmi.

Tak sampai di situ saja, lanjut Jimmi, AQUA dan SOI kemudian memberdayakan ibu-ibu setempat membuat Pekarangan Ibu Kreatif (PIK), yakni di setiap pekarangan rumah menanam sayuran organik. Para ibu-ibu itu belajar melalui Kelompok Tani Sehat untuk tanaman organik. “Ini juga berkaitan dengan isu stunting (kekurangan asupan gizi),” bilang Jimmi.

Jimmi mengatakan, awal penyaluran program AQUA Langkat dimulai tahun 2014 saat pabrik berdiri. Kegiatan corporate social responsibility (CSR) langsung dimulai. Misalnya, untuk kerajinan menjahit, merajut dan penyediaan air bersih.

“AQUA Langkat membangun 56 unit air bersih yang bisa dinikmati kurang lebih 4.000 jiwa, berlokasi di fasilitas publik seperti di jambur, masjid, dan gereja. Ada juga program pendampingan posyandu balita, ibu hamil dan lansia (lanjut usia). Ada juga program menjahit, merajut, konservasi, serta program kelompok ikan air tawar,” ungkap Jimmi.

Namun saat ini, AQUA tengah fokus untuk pembuatan rumah kompos. “Ini akan memberikan jalan ke petani karena saat ini tidak bisa lagi mengakses pupuk kimia atau pestisida, apalagi harganya mahal dan langka. Inilah cara AQUA ingin mensejahterakan masyarakat sekitar pabrik,” pungkas Jimmi.

Corporate Communications Danone Indonesia, Michael Liemena mengatakan, AQUA sama sekali tidak mengambil keuntungan dalam membina para petani. Dengan mahalnya harga pupuk kimia yang membuat petani kalang kabut, AQUA hadir memberikan jalan terbaik dengan pengembangan pertanian organik.

“Kami tidak hanya sibuk memproduksi produk kami saja, tapi kami punya kepedulian dengan masyarakat sekitar dan juga terhadap lingkungan. AQUA memberikan manfaat buat kesehatan, lingkungan untuk masyarakat itu sendiri. Jadi masyarakat terbantu dengan sendirinya,” ujar Michael Liemena. (bersambung)

Keberadaan perusahaan air minum mineral AQUA cukup memberikan manfaat yang luar biasa, terutama bagi kesehatan, lingkungan, dan masyarakat. Seperti pabrik AQUA yang berada di Jalan Pasar 6 Binjai – Namu Ukur, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, berkomitmen mensejahterakan masyarakat maupun petani, demi peningkatan ekonomi.

Seperti apa?

LAILA AZIZAH, Langkat

Pagi itu, tepatnya Kamis, 28 September 2023 lalu, wartawan Sumut Pos berangkat dari Kota Medan menuju Kabupaten Langkat, untuk bergegas menemui para petani binaan pabrik AQUA di Langkat. Bersama fotografer, kami menempuh perjalanan kurang lebih satu jam dari Kota Medan menuju lokasi pertemuan, tepatnya di Jalan Raya Binjai – Namu Ukur, Desa Pasar VI Kwala Mencirim, Kecamatan Sei Bingai, Kabupaten Langkat.

Waktu menunjukkan pukul 10.15 WIB saat kami tiba di lokasi. Kedatangan kami ternyata sudah ditunggu para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Sehat. Wajah-wajah ceria dan sambutan hangat para petani itu di antaranya, Supriyanto, Yono, Buaming, Yogi, Tejo, Jamil, dan beberapa lainnya, seolah tak sabar ingin memberikan ruang untuk bercerita pengalaman bahagia mereka kepada wartawan Sumut Pos.

“Apa kabar kak? Kami sudah menunggu dan siap diwawancarai,” kata Supriyanto dengan wajah ceria kepada Sumut Pos.

Di atas lahan seluas 1.600 meter persegi di Jalan Raya Binjai – Namu Ukur, Desa Pasar VI Kwala Mencirim, Kecamatan Sei Bingai, Kabupten Langkat, yang menjadi tempat pertemuan kami ini, merupakan lahan pertanian yang dikelola AQUA bersama Kelompok Tani Sehat. Kebun ini memang digunakan Kelompok Tani Sehat untuk berkumpul, berdiskusi dan belajar bersama menjalankan sistem pertanian ramah lingkungan atau pertanian organik.

Kelompok Tani Sehat ini terbentuk sejalan dengan pengenalan program pertanian ramah lingkungan untuk masyarakat Desa Pasar VI Kwala Mencirim, Sei Bingai, Kabupaten Langkat, oleh Pabrik AQUA Langkat, dengan mitra pelaksana Sources of Indonesia (SOI) pada 2019.

Nah, kebetulan, saat ini di lahan tersebut sedang ditanami sayuran sawi, kangkung, selada, timun dan lainnya. “Sayuran itu sudah siap panen dan akan kita pasarkan, kak. Sayuran ini kita tanam bersama-sama dan hasil panennya kita nikmati bersama juga,” ujar Supriyanto sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah tanaman sayuran itu.

Sayuran di lahan itu memang terlihat sangat subur, daunnya tumbuh lebat dan hijau. Ini karena Kelompok Tani Sehat mengelola tanaman secara organik menggunakan pupuk kompos padat dan kompos cair dengan memanfaatkan kotoran ternak.

Padahal, semula para petani di Desa Pasar VI Kwala Mencirim tidak percaya kalau pupuk kompos jauh lebih baik dari pupuk kimia. Namun berkat kegigihan pihak AQUA, mampu menggandeng petani di sana hingga beralih ke pupuk kompos.

Supriyanto pun mengisahkan bagaimana dia bersama teman-teman petani, akhirnya mau mengadopsi sistem pertanian organik menggunakan pupuk kompos. Waktu itu sekitar tahun 2019. Pihak AQUA Langkat menggandeng SOI, menginisiasi dengan pengenalan metode Sekolah Lapang atau System of Rice Intensification (SRI).

“Saat itu menanam benih padi dengan sistem SRI. Benih padi yang ditanam jumlahnya satu atau satu tunas. Selama ini masyarakat kalau menanam sampai 10 tunas atau 5 tunas padi sehingga jadi lebih boros. Waktu itu kami mohon agar penanaman padi pakai sistem organik 100 persen dan 30 persen kimia. Maksudnya, supaya petani bisa tahu perbedaan hasilnya,” ujar Supriyanto.

Pada dasarnya, teknologi SRI memperlakukan tanaman padi tidak seperti tanaman air yang membutuhkan air yang cukup banyak, karena jika penggenangan air yang cukup banyak, maka akan berdampak tidak baik yaitu akan hancurnya bahkan matinya jaringan kompleks (cortex, xylem dan phloem) pada akar tanaman padi.

Hal ini akan berpengaruh kepada aktivitas akar dalam mengambil nutrisi di dalam tanah lebih sedikit. Sehingga, pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan terhambat dan mengakibatkan kemampuan kapasitas produksi akan lebih rendah.

Akibat yang ditimbulkan dari penggenangan air tersebut, maka budidaya padi SRI dapat diartikan sebagai upaya budidaya tanaman padi yang memperhatikan semua komponen yang ada di ekosistem, baik itu tanah, tanaman, mikro organisme, makro organisme, udara, sinar matahari dan air.

Upaya menanam padi menggunakan sistem SRI yang dilakukan AQUA, ternyata membuahkan hasil yang luar biasa. Hasil tanaman padi yang menggunakan pupuk kimia dikalahkan dengan tanaman padi yang menggunakan sistem organik. Meski demikian, hal tersebut tak juga membuat Supriyanto dan para petani di sana mudah percaya. Itu karena belum bisa move on (pindah,Red) begitu saja dari pupuk kimia.

“Awalnya saya tidak percaya dengan pupuk kompos. Saya pikir kalau pakai kompos sifat kerjanya lambat dibanding dengan pupuk kimia. Hasilnya pun lebih sedikit. Tapi setelah melihat hasil tanam padi itu, saya mulai penasaran,” ujar Supriyanto sambil mengenang.

Meski susah payah membujuk petani yang enggan menerapkan sistem pertanian organik saat itu, tak membuat pihak AQUA Langkat putus asa, tetap bertekad menyalurkan program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan pertanian ramah lingkungan.

AQUA Langkat bersama SOI kemudian mengutus 6 orang petani, Supriyanto, Yono, Buaming, Yogi, Tejo, Jamil, untuk belajar di Pertanian Alternatif Nusantara Sumatera Utara (Pansu) di Lubuk Pakam selama seminggu. Komitmennya, petani yang ikut latihan itu harus mengaplikasikan ilmunya kepada petani lain di wilayahnya. “Kami dilatih selama seminggu bagaimana menerapkan sistem pertanian ramah lingkungan serta menggunakan pupuk kompos,” kata Supriyanto lagi.

Seusai mengikuti pelatihan selama seminggu di Pansu, Supriyanto dan kawan petani kembali ke desa untuk melakukan uji coba menerapkan ilmu yang mereka dapatkan di lahan masing-masing. Hasilnya tentu saja mengembirakan. Tanaman jagung milik Supriyanto tumbuh subur. “Buah jagung tak kerdil lagi, jagungnya tumbuh besar. Warnanya juga cantik,” tutur Supriyanto.

Ketika Supriyanto, Yono, Buaming, Yogi, dan Tejo sudah merasakan manfaat bertani organik menggunakan pupuk kompos, mereka pun lantas mendirikan Kelompok Tani Sehat atas persetujuan dan binaan AQUA dan SOI. Berdirinya Kelompok Tani Sehat tak terlepas akibat sulit dan mahalnya mendapatkan pupuk kimia. Ditambah lagi, penggunaan pupuk kimia menyebabkan tanah menjadi tandus dan rusak.

“Kondisi masyarakat saat itu 90 persen pertanian menggunakan pupuk kimia. Padahal, pupuk kimia sangat sulit didapat dan harganya pun sangat tinggi, bahkan hasil panen tidak menutupi biaya yang sudah dikeluarkan. Makanya kami lalu bertekad mendirikan Kelompok Tani Sehat,” tutur Supriyanto sambil menyerumput kopinya.

Mereka pun lantas bergerak mengumpulkan para petani sekitar dengan melakukan pertemuan kali pertama di malam hari, tepatnya di sebuah warung. Imbalannya, pihak AQUA bersama SOI menyediakan bibit tanaman tomat untuk mereka yang hadir.

“Jadi saat itu orang berkumpul di warung. Kita sediakan tong besar untuk tempat pupuk kompos dan bibit tomat yang diberikan AQUA. Tujuannya agar petani yang datang bisa mengambil kompos dan bibit tomat untuk ditanam di lahan mereka. Kita ajari mereka cara menanam organik,” kata Supriyanto lagi.

Buah dari kerja keras itu, akhirnya para petani mulai mengerti manfaat bertanam organik dengan pupuk kompos. Misalnya pada pupuk kompos cair, Kelompok Tani Sehat menggunakan bahan utama air kelapa, air cucian beras, kulit nanas, kulit pisang, semuanya dicampur, lalu difermentasi selama 10 hari hingga 15 hari.

“Sari-sarinya kita gunakan untuk menyiram tanaman sayur atau tanaman lain. Air kelapa karbohidratnya tinggi, nutrisinya juga tinggi dan menyuburkan tanaman. Para petani menerapkan pupuk kompos cair ini ke tanaman mereka dan membuktikan hasilnya sendiri,” ungkap Supriyanto.

Setelah pembuktian itu, Kelompok Tani Sehat mengajukan kepada pihak AQUA untuk menyediakan lahan pertanian organik sebagai percontohan. Pihak AQUA pun menyetujuinya dengan menyewa lahan, tepatnya tahun 2021. Ini tentu saja sejalan dengan program AQUA dalam pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan pertanian ramah lingkungan, dengan mendorong pertanian holtikultura melalui komoditas tomat, cabai, jagung, melon, dan lain-lain sebagai bahan belajar kelompok.

”Pihak AQUA menyewa lahan milik Pak Yogi yang juga anggotaKelompok Tani Sehat. Tapi saat itu lahannya sudah tandus dan rusak karena banyak menggunakan cairan pupuk kimia. Kami suburkan lahan kembali dengan menggunakan kompos selama empat bulan,” kata Supriyanto kala mengingat perjuangan mereka memulai tanaman organik.

Setelah lahan subur, barulah Kelompok Tani Sehat saat itu menanami lahan dengan sayur pare, cabai dan tomat. Hasilnya cukup lumayan, mereka memanen tanaman pare hingga 2,5 ton. Di lahan inilah menjadi tempat pertemuan Kelompok Tani Sehat yang saat ini sudah beranggotakan hampir 30 petani. Mereka mengembangkan lahan percontohan itu sekaligus tempat berdiskusi.

Supriyanto pun saat ini kian bersemangat bertani menggunakan pupuk kompos. Dulu, kata dia, saat pakai pupuk kimia, hasil panen mencapai 60 persen sangat sulit. Bahkan,Supriyanto dan para petani selalu terlilit utang karena tingginya biaya produksi menggunakan pupuk kimia.

“Kalau dulu, pinjam modal sama agen atau tengkulak untuk biaya produksi. Saat panen kita bayar utang, habis itu utang lagi untuk biaya produksi karena mahalnya pupuk dan tingginya biaya produksi. Tapi sekarang, setelah pakai sistem organik, biaya lebih rendah, hasil panen lebih baik dan tak terlilit utang lagi di agen,” kata Supriyanto tersenyum ceria.

Bahkan, Supriyanto bilang, dengan menggunakan pupuk organik, istrinya menjadi bahagia. Ini karena Supriyanto tidak pernah lagi meminta uang kepada istrinya untuk membeli racun tanaman. ”Pupuk kompos memang kotor dan bau, tapi mampu mensejahterakan petani. Kami seperti menggali emas di tumpukan kompos. Bagi saya, kompos itu memang bernilai seperti emas,” pungkas Supriyanto.

Sedangkan Tejo juga bercerita ihwal dirinya tak percaya dengan tanaman organik menggunakan pupuk kompos. “Awalnya saya tidak percaya dengan organik ini. Lalu saya coba pada tanaman padi di lahan saya dengan 70 persen pakai organik dan 30 pakai kimia. Hasilnya lumayan dan alhamdulillah bisa mengurangi biaya produksi,” ungkap Tejo yang duduk bersebelahan dengan Supriyanto.

Tejo mengaku kalau Kelompok Tani Sehat dulu sempat diejek gila dan ditertawakan oleh para petani sekitar. Itu terjadi saat mereka mengambil telur serangga hama wereng di tanaman. Padahal, itu mencegah telur agar tidak menetas. “Wereng paling merusak tanaman di masa pembenihan. Kita tidak gunakan racun pestisida karena telur wereng sudah kita hancurkan. Ternyata hasilnya, lahan tani milik tetangga diserang hama, sedangkan lahan kami tidak,” kata Tejo penuh semangat.

Begitu juga dengan Jamil, juga mengakui kalau saat ini pertanian mereka dengan sistem organik menggunakan pupuk kompos, jauh lebih baik dibanding dulu. Saat ini dirinya sudah terlepas dari jerat utang tengkulak karena bertani organik tak membutuhkan biaya produksi yang mahal. “Hasil tanaman pakai pupuk kompos lebih banyak. Contohnya padi. Kalau pakai pupuk kimia, gabah padi bentuknya besar, kulitnya tebal. Tapi kadar susut airnya tinggi setelah digiling. Beda sama gabah pakai pupuk kompos, kulit padinya tipis, tapi kadar susut airnya tidak tinggi. Harga beras organik juga lebih mahal,” kata Jamil.

Contoh lain, saat Jamil menanam buah bengkoang di atas tanah seluas 4 rante (1 rante = 400 meter), bisa menghasilkan berat bengkoang 6 ton. Padahal saat pakai pupuk kimia, untuk mendapatkan 1 ton bengkoang di lahan satu rante sangat sulit. “Buah bengkoang yang menggunakan pupuk kompos bobotnya lebih berat. Kalau saya ibaratkan kompos dan pupuk kimia itu seperti wanita. Kalau wanita tinggal di kota memang cantik tapi boros karena banyak polesan. Beda sama wanita di kampung, cantik tanpa polesan dan tidak boros,” ujar Jamil berkelakar.

Kini, petani yang tergabung di Kelompok Tani Sehat semakin menggiatkan tanaman organiknya. Mereka memanfaatkan pekarangan rumah dengan menanam sayuran. Pot bunga tak lagi diisi tanaman bunga, berganti tanaman sayuran. Mulai dari selada, sawi, cabai, tomat, kangkung, bayam, dan lainnya. Bahkan, hasil sayuran dari tanaman pekarangan rumah tak hanya dikonsumsi sendiri, tapi juga dijual melalui media sosial. Tentu harganya jauh lebih mahal. Tekad mereka, ingin menghasilkan uang yang cukup banyak agar bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.

Kelompok Tani Sehat juga bertekad mengajak petani sekitar untuk ikut cara bertani organik agar semua petani sejahtera. Mereka ingin mengubah sistem pertanian yang ada di desa mereka beralih ke organik. Mereka berharap tetap didampingi AQUA dan SOI untuk mewudkan cita-cita sosial mereka itu.

Stakeholder Relations Manager Pabrik AQUA Langkat Jimmi Simorangkir mengatakan, kebun sehat yang dikelola Kelompok Tani Sehat diinisiasi tahun 2019. Hal yang melatarbelakangi adalah harga pupuk kimia yang semakin mahal. ”Jadi bagaimana supaya ke depan, tanah yang ada di sekitar perusahaan AQUA bisa kembali sehat. Kegiatan pertanian ramah lingkungan ini bertujuan membantu masyarakat di sekitar Desa Pasar VI Kwala Mencirim dan Desa Namu Ukur Utara dapat meningkatkan perekonomian melalui peningkatan hasil pertanian yang dikelola secara ramah lingkungan. Hasil pertanian dari Kwala Mencirim ini pun jadi lebih sehat untuk dikonsumsi masyarakat,” kata Jimmi.

Jimmi tak menampik kalau betapa sulitnya mengajak petani saat itu untuk mau bertani ramah lingkungan. Pihaknya beberapa kali melakukan pertemuan dengan para petani. ”Awalnya dulu, kita kerja sama dengan Yayasan Pansu yang ada di Deliserdang. Jadi para petani kita belajar di sana selama beberapa hari, dilatih bagaimana menjadi petani organik. Hingga, akhirnya berdirilah Kelompok Tani Sehat,” ujar Jimmi.

Tak sampai di situ saja, lanjut Jimmi, AQUA dan SOI kemudian memberdayakan ibu-ibu setempat membuat Pekarangan Ibu Kreatif (PIK), yakni di setiap pekarangan rumah menanam sayuran organik. Para ibu-ibu itu belajar melalui Kelompok Tani Sehat untuk tanaman organik. “Ini juga berkaitan dengan isu stunting (kekurangan asupan gizi),” bilang Jimmi.

Jimmi mengatakan, awal penyaluran program AQUA Langkat dimulai tahun 2014 saat pabrik berdiri. Kegiatan corporate social responsibility (CSR) langsung dimulai. Misalnya, untuk kerajinan menjahit, merajut dan penyediaan air bersih.

“AQUA Langkat membangun 56 unit air bersih yang bisa dinikmati kurang lebih 4.000 jiwa, berlokasi di fasilitas publik seperti di jambur, masjid, dan gereja. Ada juga program pendampingan posyandu balita, ibu hamil dan lansia (lanjut usia). Ada juga program menjahit, merajut, konservasi, serta program kelompok ikan air tawar,” ungkap Jimmi.

Namun saat ini, AQUA tengah fokus untuk pembuatan rumah kompos. “Ini akan memberikan jalan ke petani karena saat ini tidak bisa lagi mengakses pupuk kimia atau pestisida, apalagi harganya mahal dan langka. Inilah cara AQUA ingin mensejahterakan masyarakat sekitar pabrik,” pungkas Jimmi.

Corporate Communications Danone Indonesia, Michael Liemena mengatakan, AQUA sama sekali tidak mengambil keuntungan dalam membina para petani. Dengan mahalnya harga pupuk kimia yang membuat petani kalang kabut, AQUA hadir memberikan jalan terbaik dengan pengembangan pertanian organik.

“Kami tidak hanya sibuk memproduksi produk kami saja, tapi kami punya kepedulian dengan masyarakat sekitar dan juga terhadap lingkungan. AQUA memberikan manfaat buat kesehatan, lingkungan untuk masyarakat itu sendiri. Jadi masyarakat terbantu dengan sendirinya,” ujar Michael Liemena. (bersambung)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/