30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pemakzulan Wali Kota Siantar, Gubsu Diminta Turun Tangan

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Usulan pemakzulan Wali Kota Susanti Dewayani bakal diajukan DPRD Pematangsiantar ke Mahkamah Agung (MA) pada Senin (27/3) pekan depan. Untuk itu, Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi diminta segera turun tangan mengambil langkah menyelesaikan konflik di antara Wali Kota dengan DPRD Kota Pematangsiantar.

Pengamat Politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr Arifin Saleh Siregar menilai, pemakzulan ini tidak lepas dari komunikasi politik yang tersumbat antara Susanti dengan DPRD Pematangsiantar. Sehingga permasalahan terjadi berlarut, timbul hak angket dalam Pansus yang berujung pemberhentian Wali Kota Pematangsiantar dari jabatannya.

“Ada komunikasi tersumbat. Kalau komunikasi lancar, pasti ada masalah bisa diselesaikan. Ada sumbatan-sumbatan politik, harus di-clear-kan dan dicairkan. Ini perlu lobi-lobi dan negosiasi. Ini sah saja di komunikasi politik,” kata Arifin kepada Sumut Pos, Kamis (23/3).

Menurut Arifin, komunikasi politik ini dibangun semata-mata untuk kepentingan pembangunan di Pematangsiantar. Kemudian, singkirkan kepentingan pribadi dan ego kepentingan kelompok. “Ego disingkirkan, kepentingan daerah nomor satu, apalagi kepentingan masyarakat,” sebutnya.

Dengan begitu, Arifin meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut dalam hal ini Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi segera menyelesaikan pemakzulan ini. “Jangan sampai Pemerintah Pusat turun tangan menyelesaikan permasalahan ini. Pemerintah Daerah tersebut, tambah malu,” tandasnya.

Praktisi hukum Edi Sihombing SH menilai, Wali Kota Pematangsiantar Susanti Dewayani memenuhi syarat untuk diberhentikan sesuai ketentuan Pasal 78 dan Pasal 80 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. “Jika benar dan terbukti Susanti melakukan penyalahgunaan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya, maka poin ini bisa menjadi pertimbangan hakim dalam membuat keputusan untuk memberhentikan Susanti sebagai Wali Kota Pematangsiantar,” katanya.

Edi menguraikan pendapat DPRD Kota Pematangsiantar tentang pemberhentian Walikota Pematangsiantar akan disidangkan selama 30 hari di Mahkamah Agung berdasarkan pasal 80 ayat (1) huruf c, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pendapat tersebut tertuang pada Keputusan DPRD Kota Pematangsiantar Nomor 5 Tahun 2023, tanggal 20 Maret 2023, yang menyatakan bahwa kebijakan Wali Kota Pematang Siantar Susanti Dewayani yang melakukan pergantian pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Pematangsiantar melalui Surat Keputusan (SK) Wali Kota Pematang Siantar Nomor: 800/929/IX/WK-THN 2022, tanggal 2 September 2022, tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat Administrasi di Lingkungan Pemerintah Kota Pematang Siantar, melanggar ketentuan undang-undang.

“Pelanggaran undang-undang tersebut secara tidak langsung diakui oleh Wali Kota Pematangsiantar dalam sidang paripurna pada tanggal 20 Maret 2022. Dalam jawabannya disebutkan bahwa wali kota telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 800/1368/XII/WK-THN 2022, tanggal 30 Desember 2022, untuk mengembalikan pejabat ke dalam jabatan yang setara sebanyak delapan orang dan diberikan waktu sampai dengan bulan April 2023 untuk memeriksa dan mengembalikan PNS sesuai dengan hasil-hasil rapat wali kota dengan Deputi Bidang Pengawasan dan Pengendalian Badan Kepegawaian Negara,” ujarnya.

Disebutkan Edi, hal ini kemudian menjadi alasan bagi Wali Kota Pematangsiantar menyatakan pendapat bahwa DPRD tidak relevan karena permasalahan pengangkatan jabatan tersebut dalam penyelesaian oleh Badan Kepegawaian Negara. “Mungkin dalil ini nantinya yang akan dipakai wali kota untuk melakukan pembelaan di MA untuk menolak pendapat DPRD,” sebut Edi.

Menurut Edi Sihombing, sesungguhnya pergantian pejabat sangat janggal dilakukan di saat Susanti belum genap enam bulan menjabat. Padahal ada larangan kecuali telah ada izin tertulis dari menteri berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2016 tentang Pendelegasian Wewenang Penandatanganan Persetujuan Tertulis Untuk Melakukan Penggantian Pejabat Di Lingkungan Pemerintah Daerah.

Dia menilai, Wali Kota Pematangsiantar terkesan terburu-buru untuk melakukan pergantian pejabat, hal yang serupa selalu terjadi di daerah lain setelah pergantian kepala daerah. Padahal pegawai negeri sipil dilindungi undang-undang agar kepala daerah tidak sewenang-wenang melakukan pergantian pejabat.

“Sehingga, sangat beralasan secara hukum bagi anggota DPRD menggunakan hak angket dan menyatakan pendapat atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh walikota,” ujar Edi Sihombing SH yang memiliki kantor hukum bernama Edsa Attorney At Law.

Memperhatikan pertimbangan hukum pada keputusan DPRD, anggota dewan berpendapat bahwa walikota melanggar beberapa ketentuan aturan sekaligus. Dalam dalilnya, ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh walikota dalam melakukan pemberhentian dan pergantian sebagaimana yang tertuang pada Undang- undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 kemudian telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil, serta aturan lainnya.

“Oleh karenanya, memenuhi syarat untuk diberhentikan sesuai ketentuan pasal 78 dan pasal 80 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Permasalahannya adalah, apakah dalil ini cukup bagi Mahkamah Agung untuk mengabulkan maupun menerima pendapat DPRD, sementara wali kota dalam hal ini masih mengikuti penyelesaian pergantian pejabat dari BKN, dan belum ada sanksi dari kementerian terhadap tindakan walikota karena tidak mengikuti aturan kepegawaian,” beber Edi.

“Dan, belum ada putusan pengadilan Tata Usaha Negara yang membatalkan keputusan walikota. Meskipun dalam prakteknya, gugatan TUN bukan pilihan bagi pegawai karena terjebak birokrasi, sehingga anggota dewan mengambil alih peran itu dalam konteks tata Negara,” terang Edi lagi.

“Apabila pendapat DPRD Kota Pematangsiantar ini dikabulkan MA, maka peristiwa ini menjadi terobosan hukum baru dalam kasus pemberhentian kepala daerah. Dan terkadang perlu ada tindakan hukum agar kepala daerah tidak sewenang-wenang memutasi pejabat ASN,” tutup Edi Sihombing SH. (gus/mag-7/adz)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Usulan pemakzulan Wali Kota Susanti Dewayani bakal diajukan DPRD Pematangsiantar ke Mahkamah Agung (MA) pada Senin (27/3) pekan depan. Untuk itu, Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Edy Rahmayadi diminta segera turun tangan mengambil langkah menyelesaikan konflik di antara Wali Kota dengan DPRD Kota Pematangsiantar.

Pengamat Politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Dr Arifin Saleh Siregar menilai, pemakzulan ini tidak lepas dari komunikasi politik yang tersumbat antara Susanti dengan DPRD Pematangsiantar. Sehingga permasalahan terjadi berlarut, timbul hak angket dalam Pansus yang berujung pemberhentian Wali Kota Pematangsiantar dari jabatannya.

“Ada komunikasi tersumbat. Kalau komunikasi lancar, pasti ada masalah bisa diselesaikan. Ada sumbatan-sumbatan politik, harus di-clear-kan dan dicairkan. Ini perlu lobi-lobi dan negosiasi. Ini sah saja di komunikasi politik,” kata Arifin kepada Sumut Pos, Kamis (23/3).

Menurut Arifin, komunikasi politik ini dibangun semata-mata untuk kepentingan pembangunan di Pematangsiantar. Kemudian, singkirkan kepentingan pribadi dan ego kepentingan kelompok. “Ego disingkirkan, kepentingan daerah nomor satu, apalagi kepentingan masyarakat,” sebutnya.

Dengan begitu, Arifin meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut dalam hal ini Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi segera menyelesaikan pemakzulan ini. “Jangan sampai Pemerintah Pusat turun tangan menyelesaikan permasalahan ini. Pemerintah Daerah tersebut, tambah malu,” tandasnya.

Praktisi hukum Edi Sihombing SH menilai, Wali Kota Pematangsiantar Susanti Dewayani memenuhi syarat untuk diberhentikan sesuai ketentuan Pasal 78 dan Pasal 80 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. “Jika benar dan terbukti Susanti melakukan penyalahgunaan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya, maka poin ini bisa menjadi pertimbangan hakim dalam membuat keputusan untuk memberhentikan Susanti sebagai Wali Kota Pematangsiantar,” katanya.

Edi menguraikan pendapat DPRD Kota Pematangsiantar tentang pemberhentian Walikota Pematangsiantar akan disidangkan selama 30 hari di Mahkamah Agung berdasarkan pasal 80 ayat (1) huruf c, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Pendapat tersebut tertuang pada Keputusan DPRD Kota Pematangsiantar Nomor 5 Tahun 2023, tanggal 20 Maret 2023, yang menyatakan bahwa kebijakan Wali Kota Pematang Siantar Susanti Dewayani yang melakukan pergantian pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Pematangsiantar melalui Surat Keputusan (SK) Wali Kota Pematang Siantar Nomor: 800/929/IX/WK-THN 2022, tanggal 2 September 2022, tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat Administrasi di Lingkungan Pemerintah Kota Pematang Siantar, melanggar ketentuan undang-undang.

“Pelanggaran undang-undang tersebut secara tidak langsung diakui oleh Wali Kota Pematangsiantar dalam sidang paripurna pada tanggal 20 Maret 2022. Dalam jawabannya disebutkan bahwa wali kota telah menerbitkan Surat Keputusan Nomor: 800/1368/XII/WK-THN 2022, tanggal 30 Desember 2022, untuk mengembalikan pejabat ke dalam jabatan yang setara sebanyak delapan orang dan diberikan waktu sampai dengan bulan April 2023 untuk memeriksa dan mengembalikan PNS sesuai dengan hasil-hasil rapat wali kota dengan Deputi Bidang Pengawasan dan Pengendalian Badan Kepegawaian Negara,” ujarnya.

Disebutkan Edi, hal ini kemudian menjadi alasan bagi Wali Kota Pematangsiantar menyatakan pendapat bahwa DPRD tidak relevan karena permasalahan pengangkatan jabatan tersebut dalam penyelesaian oleh Badan Kepegawaian Negara. “Mungkin dalil ini nantinya yang akan dipakai wali kota untuk melakukan pembelaan di MA untuk menolak pendapat DPRD,” sebut Edi.

Menurut Edi Sihombing, sesungguhnya pergantian pejabat sangat janggal dilakukan di saat Susanti belum genap enam bulan menjabat. Padahal ada larangan kecuali telah ada izin tertulis dari menteri berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 2016 tentang Pendelegasian Wewenang Penandatanganan Persetujuan Tertulis Untuk Melakukan Penggantian Pejabat Di Lingkungan Pemerintah Daerah.

Dia menilai, Wali Kota Pematangsiantar terkesan terburu-buru untuk melakukan pergantian pejabat, hal yang serupa selalu terjadi di daerah lain setelah pergantian kepala daerah. Padahal pegawai negeri sipil dilindungi undang-undang agar kepala daerah tidak sewenang-wenang melakukan pergantian pejabat.

“Sehingga, sangat beralasan secara hukum bagi anggota DPRD menggunakan hak angket dan menyatakan pendapat atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh walikota,” ujar Edi Sihombing SH yang memiliki kantor hukum bernama Edsa Attorney At Law.

Memperhatikan pertimbangan hukum pada keputusan DPRD, anggota dewan berpendapat bahwa walikota melanggar beberapa ketentuan aturan sekaligus. Dalam dalilnya, ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh walikota dalam melakukan pemberhentian dan pergantian sebagaimana yang tertuang pada Undang- undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 kemudian telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 2019 tentang Penilaian Kinerja Pegawai Negeri Sipil, serta aturan lainnya.

“Oleh karenanya, memenuhi syarat untuk diberhentikan sesuai ketentuan pasal 78 dan pasal 80 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Permasalahannya adalah, apakah dalil ini cukup bagi Mahkamah Agung untuk mengabulkan maupun menerima pendapat DPRD, sementara wali kota dalam hal ini masih mengikuti penyelesaian pergantian pejabat dari BKN, dan belum ada sanksi dari kementerian terhadap tindakan walikota karena tidak mengikuti aturan kepegawaian,” beber Edi.

“Dan, belum ada putusan pengadilan Tata Usaha Negara yang membatalkan keputusan walikota. Meskipun dalam prakteknya, gugatan TUN bukan pilihan bagi pegawai karena terjebak birokrasi, sehingga anggota dewan mengambil alih peran itu dalam konteks tata Negara,” terang Edi lagi.

“Apabila pendapat DPRD Kota Pematangsiantar ini dikabulkan MA, maka peristiwa ini menjadi terobosan hukum baru dalam kasus pemberhentian kepala daerah. Dan terkadang perlu ada tindakan hukum agar kepala daerah tidak sewenang-wenang memutasi pejabat ASN,” tutup Edi Sihombing SH. (gus/mag-7/adz)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/