Site icon SumutPos

Kejatisu Banding, Kuasa Hukum Terdakwa Beber Fakta

 

MENANGIS: Meiliana menangis mendengar vonis 18 bulan penjara yang dijatuhkan majelis hakim kepadanya,
Selasa (21/8) lalu.

SUMUTPOS.CO – Meiliana (44), terdakwa kasus dugaan penistaan agama berujung ricuh di Tanjungbalai telah divonis 18 bulan penjara, kemarin (21/8). Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan banding atas putusan tersebut.

“UNTUK saat ini, masih berpikir-pikir. Tapi, endingnya pastinya kita banding. Namun, kita tunggu salinan putusan dari PN Medan kita terima,” ungkap Sumanggar kepada Sumut Pos, Kamis (23/8) siang.

Saat ini, JPU sudah mempersiapkan langkah kedepannya untuk mengawal kasus ini ditingkat Pengadilan Tinggi (PT) Medan. Termasuk, penyusunan memory banding.

“Masih ada 14 hari kedepannya. Pastinya, kita melakukan banding untuk mengawal kasus ini banding di PT Medan,” tutur mantan Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum) Kejari Binjai itu.

Banding tersebut menurut Sumanggar, untuk menyikapi sikap disampaikan tim penasehat hukum terdakwa yang melakukan banding atas hukuman 18 bulan penjara.

Dalam amar putusan hakim, terdakwa merupakan pemicu kerusuhan bernuansa SARA di Tanjungbalai dua tahun lalu.

“Terdakwa terbukti melanggar Pasal 156 KUHPidana,” ujar Ketua Majelis Hakim, Wahyu Prasetyo Wibowo dalam sidang putusan, Selasa (21/8).

Putusan itu, sesuai atau sama dengan tuntutan JPU Anggia Y Kesuma.

Terpisah, kuasa hukum Meiliana, Ranto Sibarani SH mengatakan, selama ini mereka diam dan berusaha tidak menuliskan apa pun terkait perkara ini.

“Namun setelah jatuh vonis, kami merasa perlu buka suara. Sebab, medsos bukan lah tempat yang tepat membuktikan kebenaran,” ujar Ranto dalam keterangan tertulisnya.

Ranto kemudian menjelaskan duduk perkara menurut Meiliana. Tanggal 22 Juli 2016,

Meiliana belanja ke tetangganya. Jamaknya ibu-ibu belanja, Meiliana sedikit curhat kepada pemilik warung (hanya mereka berdua).

“Kak, sekarang suara masjid agak keras ya, dulu tidak begitu keras,” kata Ranto seperti yang diakui Meiliana dan dibenarkan saksi di persidangan.

Namun, kemudian pemilik warung menyampaikan curhatan Meiliana kepada saudaranya. Saudaranya menyampaikan kepada bapaknya.

“Bapaknya menyampaikan kepada orang lainnya lagi. Akhirnya tersebar isu bahwa ada “orang melarang Adzan” merujuk kepada ibu Meiliana,” ujar Ranto.

Isu tersebut menyebar luas. Seperti biasa, medsos bekerja dengan cepat.

“Massa menelan mentah-mentah isu tadi, akhirnya massa marah pada tanggal 29 Juli 2016,” jabar Ranto.

Dalam persidangan, kata Ranto, seorang saksi mengaku ada orang yang tidak dikenalnya menelepon dirinya untuk melakukan aksi karena ada yang melarang adzan.

“Kita tidak tahu siapa yang menelpon, dan berapa orang yang ditelepon untuk menciptakan kegaduhan,” tukas Ranto.

Kemudian, tanggal 29 Juli 2016, beberapa orang mendatangi rumah Meiliana. Mereka mempertanyakan kebenaran isu “ada yang melarang Adzan”.

Saat itu, orang-orang semakin ramai mendatangi rumah Meiliana. Rumah Meiliana kemudian dilempari, dirusak dan dibakar.

“Tidak hanya itu, massa yang marah juga membakar puluhan rumah. Termasuk rumah ibadah umat Budha di Tanjungbalai,” beber Ranto.

Singkat cerita, 30 Mei 2018, Kejaksaan Negeri Tanjungbalai mengeluarkan surat perintah menahan Meiliana. Jaksa mendakwa Meiliana, melanggar pasal 156 subsidair pasal 156a Huruf (a) KUHPidana.

“Jaksa mendakwa perbuatan pidana Meiliana dilakukan pada tanggal 29 Juli 2016. Padahal pada tanggal tersebut, Meiliana lah yang menjadi korban tindak pidana dari orang-orang yang beramai-ramai menyatroni rumahnya, mengintimidasi, merusak rumahnya, membakar rumahnya dan melempari rumahnya,” tegas Ranto.

Jaksa kemudian menjadikan surat pernyataan dari orang lain dan fatwa MUI Provinsi Sumut sebagai alat bukti Meiliana melakukan perbuatan yang dituduhkan.

“Surat pernyataan tersebut dengan rinci menguraikan ucapan Meiliana pada tanggal 29 Juli 2016. Meskipun tidak pernah ada rekaman/video yang membuktikan kebenaran surat pernyataan tersebut adalah sama dengan yang diucapkan Meiliana,” tukas Ranto.

Dalam persidangan, kata Ranto, Jaksa Anggia Y Kesuma SH dkk tidak pernah membuktikan kebenaran dakwaannya. Selain itu, jaksa tidak dapat menghadirkan rekaman suara atau video yang bisa membuat terang tindak pidana yang dilakukan oleh Meiliana.

“Jaksa malah menyebutkan dalam tuntutannya, bahwa barang bukti yang mereka buat adalah toa dan amplifier yang tidak pernah diperlihatkan di muka sidang. Padahal, barang bukti tersebut tidak sedikitpun menunjukkan apalagi membuktikan Meiliana mengucapkan apa yang dituduhkan,” beber Meiliana.

Selain itu, ahli bahasa yang dihadirkan jaksa dan yang dihadirkan oleh penasehat hukum telah menerangkan, bahwa rekaman suara adalah suatu hal yang lazim diperdengarkan. Tujuannya untuk menguji kebenaran ucapan seseorang dengan apa yang sudah dituliskan.

“Terkait unsur sengaja di muka umum pun kami anggap tidak terpenuhi. Karena umum tersebutlah yang mendatangi rumah ibu Meiliana pada tanggal 29 Juli 2016,” tutur Ranto.

“Terkait penodaan, keterangan ahli agama Islam, bapak Rumadi Ahmad menjelaskan, bahwa respon terhadap adzan tidak dapat dianggap sebagai respon terhadap ajaran agama. Karena itu tidak dapat dianggap sebagai penodaan terhadap agama itu sendiri,” sambungnya.

Hal ini juga panjang lebar telah diterangkan Rumadi dilaman facebooknya. Tim juga menghadirkan ahli hukum pidana Dr Sri Wiyanti dan ahli Bahasa Dr Mitsuhito Solin.

“Semoga informasi tersebut membantu kita memahami perkara ibu Meiliana,” pungkasnya.(gus/bbs/ala)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version