25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Pengungsi di Hutan Butuh Makanan

PENGUNGSIAN: Seorang nenek duduk di dekat perapian untuk masak di tenda pengungsian yang mereka dirikan sendiri di Tugucatur perbatasan Kabupaten Karo dan Langkat, Senin (25/11).//AMINOER RASYID/SUMUT POS
PENGUNGSIAN: Seorang nenek duduk di dekat perapian untuk masak di tenda pengungsian yang mereka dirikan sendiri di Tugucatur perbatasan Kabupaten Karo dan Langkat, Senin (25/11).//AMINOER RASYID/SUMUT POS

KARO-Belasan ribu pengungsi Sinabung telah tertampung di lokasi-lokasi yang disediakan pemerintah. Meski minim biaya hidup, namun kebutuhan seperti makanan, selimut, dan sebagainya cenderung terpenuhi. Hal ini sangat berbeda dengan pengungsian yang berada di perbatasan Karo-Langkat. Kondisi puluhan orang yang memilih mengungsi di tempat itu sangat mengkhawatirkan.

Seperti yang dilakoni Helvina (30) warga Desa Kutarayat, bersama anggota keluarga lainnya. Wanita ini memutuskan mengungsi hingga ke hutan di wilayah perbatasan Langkat-Karo. Langkah ini dilakukannya sejak status Gunung Sinabung ditingkatkan statusnya menjadi Awas dari yang sebelumnya berstatus siaga. Artinya, desa mereka yang berada di radius 5 kilometer dari puncak harus dikosongkan. Tapi, untuk mengungsi terlalu jauh dari kampung mereka enggan. Itulah mereka lebih memilih hutan di perbatasan Karo-langkat itu.

Jarak antara kampung mereka ke lokasi pengungsian mencapai 10 kilometer, sementara ke perbatasan langkat hanya 2 kilometer. Sementara, dari kampung mereka untuk mencapai lokasi pengungsian yang disediakan pemerintah yang berada di Kabanjahe terentang jarak 23 kilometer.

Selain Helvina, dalam rombongannya turut pula empat kepala keluarga lainnya selain seratusan pengungsi lainnya yang memberanikan diri untuk mengungsi di Hutan Tugucatur yang lokasinya terletak di perbatasan Karo dan Langkat itu. Masalahnya, lokasi mereka jauh dari pantauan. Tidak ada bantuan yang datang. Jangankan selimut, terbebas dari hujan saja mereka sudah cukup bersyukur. Ya, mereka hanya mengandalkan terpal biru sebagai tenda. Selain itu, mereka hanya membawa kebutuhan dasar seperti beras, sayur, dan barang-barang perlengkapan dapur.

“Bekal kami ini hanya mampu bertahan untuk memenuhi kebutuhan kami selama tiga hari ke depan,” urai Helvina.

“Untuk itu kami mengharapkan adanya perhatian yang layak dari pemerintah kendati kami memilih untuk tidak mengungsi ke tempat yang telah disediakan. Kami terpaksa melakukan ini semua,” tambahnya.

Wanita muda ini menjelaskan untuk menutupi stok kebutuhan yang kian menipis itu, mereka terpaksa kembali ke kampung mereka, Kutarayat untuk mengambil kebutuhan seperti beras. Keterbatasan bahan pangan tadi membuat mereka tak jarang mengonsumsi umbut alias batang pisang yang disirami jeruk nipis.

Saat Sumut Pos mengunjungi lokasi tersebut, terlihat ratusan pengungsi yang umumnya berasal dari Kutarakyat dan Jalan Jahe, Kecamatan Namanteran, itu beraktivitas seadanya. Beberapa anak tampak asyik bermain di tanah merah basah yang berlumut. Seorang nenek duduk di sisi semacam api unggun yang dijadikan tempat untuk memasak.

Anwar Sitepu (45), Kepala Dusun 5 Kutarayat, sejatinya berharap para pengungsi dialihkan ke Kabanjahe. Dia merasa sangat prihatin atas kehidupan di tenda pengungsian di dalam hutan itu, Pasalnya tenda yang dibangun oleh swadaya masyarakat itu terlihat hanya seperti kandang ternak dan terlihat usang. “Tidur beralaskan tenda biru tanpa tikar apalagi selimut. Apalagi kalau malam hari, dinginnya nggak ketulungan. Aku berharap mereka (pengungsi) mau dipindahkan ke posko-posko yang sudah disiapkan oleh pemerintah, seperti di gereja GBKP dan sebagainya,” papar Anwar.

Selama ini, mereka memilih mengungsi di hutan karena tak ingin jauh dari ladang dan kampung mereka. Artinya, mereka bias bolak-balik ke kampung dan ladang mereka. Dan ketika terjadi letusan besar, mereka bias cepat menyelamatkan diri.

Ketika pengungsi yang memilih bertahan di hutan karena ‘takut’ kehilangan kampung mereka, di sisi lain ada pula pengungsi yang berharap direlokasi dari kampung mereka. “Desa yang kami tempati sangat tidak layak lagi. Setiap saat kami merasa was-was Gunung Sinabung meletus lebih besar lagi. Bikinlah rumah baru kami di tempat baru, di mana kami bisa hidup normal seperti semula,” ujar Idawati Br Ginting, pengungsi dari Desa Sukameriah saat ini mengungsi di Masjid Nurul Awwaliah Desa Payung, Kecamatan Payung.

Ditambahkan pengungsi lainnya Sukaesih Br Sembiring, sampai saat ini terhitung dua bulan mereka mengungsi dari Desa Sukameriah. Desa Sukameriah hanya berjarak 2,4 kilometer dari Gunung Sinabung. “Awan panas sudah sampai ke ladang kami, kami takut sekali, kembali pun tidak mungkin karena selain berbahaya, kami tidak diijinkan aparat kembali ke kampung, padahal barang-barang kami masih ada banyak di dalam rumah,” katanya.

Kendala utama yang dikeluhkan adalah gagal panen sehingga mereka kesulitan memperoleh biaya pendidikan bagi anak-anaknya. “Minimal Rp25.000 untuk transportasi dan jajan anak pulang pergi ke Kabanjahe,” kata Songkoria Br Tarigan. “Saat ini kami hanya bergantung pada sumbangan dari petinggi dan relawan, tapi tidak mungkin selamanya seperti ini, kami harap tempat baru bagi kami segera dibangun pemerintah,” tambahnya.

Kendati demikian menurut Sukaesih, ada saja suami yang menantang bahaya kembali ke ladang untuk memanen lobak dan lain-lain karena kebutuhan yang sangat mendesak bagi biaya pendidikan anak mereka.

Selain pengungsi yang rawan pangan tadi, Kabupaten Langkat juga menampung ratusan pengungsi Sinabung. Bahkan, jumlah yang mengungsi di Desa Telaga Kecamatan Seibingai Langkat disinyalir mencapai 180-an. Berdasarkan informasi diperoleh, Senin (25/11), pengungsi dimaksud berasal dari Desa Kutagugung, Kutarakyat, Sigaranggarang, Dalanjahe, dan Kebayekan keseluruhannya asal Kecamatan Namanteran.

Terkait kondisi itu, Ketua DPD PG Langkat H Ngogesa Sitepu melalui Ketua PK Golkar Sei Bingai, Justin, diinstruksikan kepada segenap anggota membantu para pengungsi termasuk kebutuhan pokoknya. “Sesuai dengan instruksi kami terima dari ketua, bantuan serupa akan disesuaikan dengan jumlah pengungsi yang diperkirakan terus bertambah jumlahnya,” aku Justin sebagaimana disampaikan Camat Sei Bingai, M Akhyar.

Enam Kali Meletus

Sementara kemarin, dalam sehari ini Senin (25/11) 6 kali  Gunung Sinabung meletus. Pernyataan tersebut ditegaskan Kepala Bidang Humas BNBP Sutopo Purwo Nugroho, pada wartawan Senin (25/11) kemarin.

Menurut Sutopo, debu vulkanik itu saat ini berhembus menuju arah Timur Gunung Sinabung atau mengarah ke Kota Medan. Dan diyakini, Kota Medan masih akan terus dihujani debu vulkanik Sinabung. “Arah angin menuju Timur arah Kota Medan,” ucap Sutopo.

Letusan pertama kali, sambung Sutopo, pada Senin (25/11) dini hari pukul 01:00:29 WIB dengan tinggi kolom erupsi 500 meter mengarah ke Timur. Letusan kedua  pukul 01:56:27 WIB dengan tinggi kolom erupsi 500 meter, arah angin ke Timur, dan awan panas 500 meter mengarah ke Tenggara.

Dandim Karo Letkol Kav Prince Meyer Putong, ketika dikonfirmasi  menjelaskan lahar dan awan panas belum sampai menyentuh pemukiman penduduk. Meski penyebarannya masih di sekitar lereng sekitar  radius 1,5 km, namun tetap diwaspadai erupsi yang lebih besar.

Akibat peningkatan status Awas Gunungapi Sinabung dan adanya rekomendasi desa-desa yang berada dalam radius 5 km harus diungsikan, maka jumlah pengungsi meningkat banyak. “Pada Senin sore (25/11) tercatat 17.713 jiwa atau 5.304 KK. Pengungsi tersebar di 31 pos pengungsian. Pengungsi ini berasal dari 17 desa di dalam radius 5 km dan 4 desa arah bukaan kawah yang rawan lontaran material gunung,” tegasnya.

Sementara itu berdasarkan perhitungan jumlah penduduk dari Sensus Penduduk BPS Tahun 2010, maka pada 21 desa tersebut berjumlah 20.270 jiwa atau 5.623 kepala keluarga. Berdasarkan SP 2010 tersebut penduduk rentan dalam kelompok usia balita yang terdapat pada 17 desa tercatat sejumlah 2.327 jiwa, yang terdiri dari balita perempuan: 1.115 jiwa dan balita laki-laki: 1.212 jiwa.

Sementara itu, untuk kelompok rentan dengan usia lebih dari 60 tahun di 17 desa tersebut tercatat sejumlah: 1.711 jiwa, dengan perincian perempuan sejumlah 1.047 jiwa dan laki-laki sejumlah 664 jiwa. (sid/nit/jie/rud)

PENGUNGSIAN: Seorang nenek duduk di dekat perapian untuk masak di tenda pengungsian yang mereka dirikan sendiri di Tugucatur perbatasan Kabupaten Karo dan Langkat, Senin (25/11).//AMINOER RASYID/SUMUT POS
PENGUNGSIAN: Seorang nenek duduk di dekat perapian untuk masak di tenda pengungsian yang mereka dirikan sendiri di Tugucatur perbatasan Kabupaten Karo dan Langkat, Senin (25/11).//AMINOER RASYID/SUMUT POS

KARO-Belasan ribu pengungsi Sinabung telah tertampung di lokasi-lokasi yang disediakan pemerintah. Meski minim biaya hidup, namun kebutuhan seperti makanan, selimut, dan sebagainya cenderung terpenuhi. Hal ini sangat berbeda dengan pengungsian yang berada di perbatasan Karo-Langkat. Kondisi puluhan orang yang memilih mengungsi di tempat itu sangat mengkhawatirkan.

Seperti yang dilakoni Helvina (30) warga Desa Kutarayat, bersama anggota keluarga lainnya. Wanita ini memutuskan mengungsi hingga ke hutan di wilayah perbatasan Langkat-Karo. Langkah ini dilakukannya sejak status Gunung Sinabung ditingkatkan statusnya menjadi Awas dari yang sebelumnya berstatus siaga. Artinya, desa mereka yang berada di radius 5 kilometer dari puncak harus dikosongkan. Tapi, untuk mengungsi terlalu jauh dari kampung mereka enggan. Itulah mereka lebih memilih hutan di perbatasan Karo-langkat itu.

Jarak antara kampung mereka ke lokasi pengungsian mencapai 10 kilometer, sementara ke perbatasan langkat hanya 2 kilometer. Sementara, dari kampung mereka untuk mencapai lokasi pengungsian yang disediakan pemerintah yang berada di Kabanjahe terentang jarak 23 kilometer.

Selain Helvina, dalam rombongannya turut pula empat kepala keluarga lainnya selain seratusan pengungsi lainnya yang memberanikan diri untuk mengungsi di Hutan Tugucatur yang lokasinya terletak di perbatasan Karo dan Langkat itu. Masalahnya, lokasi mereka jauh dari pantauan. Tidak ada bantuan yang datang. Jangankan selimut, terbebas dari hujan saja mereka sudah cukup bersyukur. Ya, mereka hanya mengandalkan terpal biru sebagai tenda. Selain itu, mereka hanya membawa kebutuhan dasar seperti beras, sayur, dan barang-barang perlengkapan dapur.

“Bekal kami ini hanya mampu bertahan untuk memenuhi kebutuhan kami selama tiga hari ke depan,” urai Helvina.

“Untuk itu kami mengharapkan adanya perhatian yang layak dari pemerintah kendati kami memilih untuk tidak mengungsi ke tempat yang telah disediakan. Kami terpaksa melakukan ini semua,” tambahnya.

Wanita muda ini menjelaskan untuk menutupi stok kebutuhan yang kian menipis itu, mereka terpaksa kembali ke kampung mereka, Kutarayat untuk mengambil kebutuhan seperti beras. Keterbatasan bahan pangan tadi membuat mereka tak jarang mengonsumsi umbut alias batang pisang yang disirami jeruk nipis.

Saat Sumut Pos mengunjungi lokasi tersebut, terlihat ratusan pengungsi yang umumnya berasal dari Kutarakyat dan Jalan Jahe, Kecamatan Namanteran, itu beraktivitas seadanya. Beberapa anak tampak asyik bermain di tanah merah basah yang berlumut. Seorang nenek duduk di sisi semacam api unggun yang dijadikan tempat untuk memasak.

Anwar Sitepu (45), Kepala Dusun 5 Kutarayat, sejatinya berharap para pengungsi dialihkan ke Kabanjahe. Dia merasa sangat prihatin atas kehidupan di tenda pengungsian di dalam hutan itu, Pasalnya tenda yang dibangun oleh swadaya masyarakat itu terlihat hanya seperti kandang ternak dan terlihat usang. “Tidur beralaskan tenda biru tanpa tikar apalagi selimut. Apalagi kalau malam hari, dinginnya nggak ketulungan. Aku berharap mereka (pengungsi) mau dipindahkan ke posko-posko yang sudah disiapkan oleh pemerintah, seperti di gereja GBKP dan sebagainya,” papar Anwar.

Selama ini, mereka memilih mengungsi di hutan karena tak ingin jauh dari ladang dan kampung mereka. Artinya, mereka bias bolak-balik ke kampung dan ladang mereka. Dan ketika terjadi letusan besar, mereka bias cepat menyelamatkan diri.

Ketika pengungsi yang memilih bertahan di hutan karena ‘takut’ kehilangan kampung mereka, di sisi lain ada pula pengungsi yang berharap direlokasi dari kampung mereka. “Desa yang kami tempati sangat tidak layak lagi. Setiap saat kami merasa was-was Gunung Sinabung meletus lebih besar lagi. Bikinlah rumah baru kami di tempat baru, di mana kami bisa hidup normal seperti semula,” ujar Idawati Br Ginting, pengungsi dari Desa Sukameriah saat ini mengungsi di Masjid Nurul Awwaliah Desa Payung, Kecamatan Payung.

Ditambahkan pengungsi lainnya Sukaesih Br Sembiring, sampai saat ini terhitung dua bulan mereka mengungsi dari Desa Sukameriah. Desa Sukameriah hanya berjarak 2,4 kilometer dari Gunung Sinabung. “Awan panas sudah sampai ke ladang kami, kami takut sekali, kembali pun tidak mungkin karena selain berbahaya, kami tidak diijinkan aparat kembali ke kampung, padahal barang-barang kami masih ada banyak di dalam rumah,” katanya.

Kendala utama yang dikeluhkan adalah gagal panen sehingga mereka kesulitan memperoleh biaya pendidikan bagi anak-anaknya. “Minimal Rp25.000 untuk transportasi dan jajan anak pulang pergi ke Kabanjahe,” kata Songkoria Br Tarigan. “Saat ini kami hanya bergantung pada sumbangan dari petinggi dan relawan, tapi tidak mungkin selamanya seperti ini, kami harap tempat baru bagi kami segera dibangun pemerintah,” tambahnya.

Kendati demikian menurut Sukaesih, ada saja suami yang menantang bahaya kembali ke ladang untuk memanen lobak dan lain-lain karena kebutuhan yang sangat mendesak bagi biaya pendidikan anak mereka.

Selain pengungsi yang rawan pangan tadi, Kabupaten Langkat juga menampung ratusan pengungsi Sinabung. Bahkan, jumlah yang mengungsi di Desa Telaga Kecamatan Seibingai Langkat disinyalir mencapai 180-an. Berdasarkan informasi diperoleh, Senin (25/11), pengungsi dimaksud berasal dari Desa Kutagugung, Kutarakyat, Sigaranggarang, Dalanjahe, dan Kebayekan keseluruhannya asal Kecamatan Namanteran.

Terkait kondisi itu, Ketua DPD PG Langkat H Ngogesa Sitepu melalui Ketua PK Golkar Sei Bingai, Justin, diinstruksikan kepada segenap anggota membantu para pengungsi termasuk kebutuhan pokoknya. “Sesuai dengan instruksi kami terima dari ketua, bantuan serupa akan disesuaikan dengan jumlah pengungsi yang diperkirakan terus bertambah jumlahnya,” aku Justin sebagaimana disampaikan Camat Sei Bingai, M Akhyar.

Enam Kali Meletus

Sementara kemarin, dalam sehari ini Senin (25/11) 6 kali  Gunung Sinabung meletus. Pernyataan tersebut ditegaskan Kepala Bidang Humas BNBP Sutopo Purwo Nugroho, pada wartawan Senin (25/11) kemarin.

Menurut Sutopo, debu vulkanik itu saat ini berhembus menuju arah Timur Gunung Sinabung atau mengarah ke Kota Medan. Dan diyakini, Kota Medan masih akan terus dihujani debu vulkanik Sinabung. “Arah angin menuju Timur arah Kota Medan,” ucap Sutopo.

Letusan pertama kali, sambung Sutopo, pada Senin (25/11) dini hari pukul 01:00:29 WIB dengan tinggi kolom erupsi 500 meter mengarah ke Timur. Letusan kedua  pukul 01:56:27 WIB dengan tinggi kolom erupsi 500 meter, arah angin ke Timur, dan awan panas 500 meter mengarah ke Tenggara.

Dandim Karo Letkol Kav Prince Meyer Putong, ketika dikonfirmasi  menjelaskan lahar dan awan panas belum sampai menyentuh pemukiman penduduk. Meski penyebarannya masih di sekitar lereng sekitar  radius 1,5 km, namun tetap diwaspadai erupsi yang lebih besar.

Akibat peningkatan status Awas Gunungapi Sinabung dan adanya rekomendasi desa-desa yang berada dalam radius 5 km harus diungsikan, maka jumlah pengungsi meningkat banyak. “Pada Senin sore (25/11) tercatat 17.713 jiwa atau 5.304 KK. Pengungsi tersebar di 31 pos pengungsian. Pengungsi ini berasal dari 17 desa di dalam radius 5 km dan 4 desa arah bukaan kawah yang rawan lontaran material gunung,” tegasnya.

Sementara itu berdasarkan perhitungan jumlah penduduk dari Sensus Penduduk BPS Tahun 2010, maka pada 21 desa tersebut berjumlah 20.270 jiwa atau 5.623 kepala keluarga. Berdasarkan SP 2010 tersebut penduduk rentan dalam kelompok usia balita yang terdapat pada 17 desa tercatat sejumlah 2.327 jiwa, yang terdiri dari balita perempuan: 1.115 jiwa dan balita laki-laki: 1.212 jiwa.

Sementara itu, untuk kelompok rentan dengan usia lebih dari 60 tahun di 17 desa tersebut tercatat sejumlah: 1.711 jiwa, dengan perincian perempuan sejumlah 1.047 jiwa dan laki-laki sejumlah 664 jiwa. (sid/nit/jie/rud)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/