MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sejumlah peternak babi di Sumut tidak keberatan ternak babi mereka yang masih hidup dan sehat dimusnahkan massal pascaserangan wabah hog cholera, asal pemerintah memberi ganti rugi. Menanggapi permintaan itu, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi mengatakan, jika ternak babi dimusnahkan, tentu diganti rugi ke peternak.
“Tentu diganti rugi. Tetapi untuk memastikan babi itu dibayar atau tidak bayar harus ada statusnya dan itu dari pusat. Dampak dari penentuan itu, babi harus diambil dan dimusnahkan karena hog cholera tidak ada obatnya,” kata Edy menjawab wartawan, Senin (25/11).
Setelah babi dimusnahkan dengan pemberian ganti rugi, menurut Gubsu, mungkin pemerintah akan memberlakukan peraturan yang diterapkan di China. Yakni, bagi daerah yang terkena virus kolera, tidak boleh beternak babi lagi selama dua puluh tahun. “Inilah yang masih saya pikirkan dua-tiga hari ini sebelum memutuskan. Rakyat ini ‘kan tidak bisa disemena-menakan. Makan apa dia nanti?” katanya.
Saat ini, Pemprovsu masih menunggu petunjuk lebih lanjut dari pemerintah pusat mengenai rencana pemusnahan massal babi.
Edy menegaskan, pihaknya memberi atensi khusus atas kasus kolera babi yang terjadi saat ini. Namun dia ingatkan kepada para peternak babi, juga mesti memerhatikan hewan ternak yang dipelihara tersebut.
Hal selanjutnya menyikapi kasus virus kolera babi ini, kata dia, yang bisa dilakukan adalah melokalisir babi-babi yang ada. Artinya jangan sampai babi di suatu daerah yang sudah terpapar, keluar dari daerah itu lalu membuat penyebaran virus semakin masif.
“Dan untuk melakukan itu kita perlu dana, terutama pada posko-posko ditiap kecamatan yang telah kita bentuk. Untuk mencegah babi-babi yang sudah kena, tidak keluar. Kemudian apabila babi-babi itu mati, kita siapkan dana untuk membantu rakyat dalam penguburannya, supaya tidak dibuang lagi seenaknya,” pungkasnya.
Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumut, Azhar Harahap mengatakan, syarat dilakukan pemusnahan massal terhadap sekitar 1,2 juta ekor ternak babi di Sumut, adalah adanya status tanggap darurat yang dikeluarkan pemerintah pusat. “Kalau belum dikeluarkan menteri, tidak bisalah itu kita lakukan,” katanya.
Sebelumnya, merespons peristiwa kematian babi di Provinsi Sumatera Utara, Kementerian Pertanian yang diwakili Kepala Badan Karantina Pertanian, Ali Jamil, dan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita dampingi Ketua dan Anggota Komisi IV DPR RI melalukan kunjungan kerja spesifik ke Sumatera Utara.
“Sebenarnya kami tidak ada jadwal ke Sumatera Utara, namun melihat kondisi kematian babi di Sumut terus meningkat, kami ingin mengetahui kondisi sebenarnya, dan kita cari solusi bersama,” ujar Sudin, Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin, di kantor Gubernur Sumut, Jumat (22/11) pekan lalu.
“Kita memberikan dukungan penuh kepada gubernur untuk mengatasi masalah ini. Jika persoalan ini memerlukan anggaran untuk menyelesaikan, kita bisa realokasi anggaran dan kami akan bantu. Kita tidak ingin masalah ini semakin besar dan semakin lama. Saya ingin cepat terselesaikan,” tegas Sudin.
Politisi PDI Perjuangan itu melanjutkan, saat ini masih ada dua juta ekor babi yang belum terinfeksi virus mematikan ini. Untuk itu, Komisi IV DPR RI mendorong Pemerintah Provinsi Sumut bisa menyelesaikan persoalan ini dengan cepat. Jangan sampai permasalahan ini berdampak ke daerah lain di sekitar Sumut.
“Saya harapkan masukan-masukan saya dapat diterima (Pemprov Sumut), segera dibuat surat kepada Kementrian Pertanian agar kasus kematian ternak babi di Sumut merupakan suatu wabah. Sehingga dana yang diperlukan untuk menangani wabah tersebut bisa dicairkan dan segera digunakan dari dana khusus,” pesan legislator dapil Lampung itu.
Sementara Kepala Badan Karantina Pertanian, Ali Jamil juga menjamin telah melakukan upaya pencegahan masuknya virus ASF dari luar negeri. “Petugas Karantina Pertanian telah melakukan pengetatan pengawasan di seluruh pintu-pintu pemasukan wilayah Indonesia. Setiap produk daging babi yang dibawa penumpang ataupun sisa makanan/catering pesawat yang datang dari negara tertular semuanya dipastikan untuk dimusnahkan,” ujar Jamil.
Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, I Ketut Diarmita menerangkan, sejak menerima laporan tentang adanya kematian ternak babi pada akhir bulan September 2019, Kementan langsung menurunkan Tim Respon Cepat bersama dinas yang membidangi fungsi PKH Provinsi Sumatera Utara dan kabupaten/kota terdampak guna melakukan investigasi dan menangani kasus tersebut.
Dirjen PKH juga menjelaskan, dalam rangka mempercepat informasi pelaporan dan respon penanganan terhadap babi sakit, mati, ataupun aduan adanya pembuangan babi mati ke sungai ataupun tempat lain, Kementan dan pemda telah mengaktifkan Posko di setiap kabupaten/kota terdampak serta di tingkat provinsi. “Adanya posko ini diharapkan dapat mengoptimalkan penanganan kasus. Saya mengimbau kepada masyarakat agar memanfaatkan keberadaan Posko tersebut untuk menyampaikan informasi terkait kasus babi yang sakit, mati, atau dibuang sembarangan,” terang Ketut.
Sementara untuk menyetop lalu lintas babi dan produknya dari Provinsi Sumatera Utara, pihaknya belum dapat melakukan jika belum ada ketetapan terjadi wabah di Propinsi Sumut. “Saat ini saya minta agar Dinas Peternakan Propinsi Sumut tidak lagi menerbitkan SKKH (Surat Keterangan Kesehatan Hewan) bagi babi dan produknya yang akan keluar Sumut, sehingga petugas karantina pertanian dapat melarang babi dan produknya asal Sumut dilalulintaskan,” tambahnya.
Jamil juga menerangkan, pengawasan lalulintas babi dan produknya antar wilayah akan diperketat untuk mencegah perluasan kasus ke luar dari Provinsi Sumut.
Sumatera Utara memiliki populasi babi terbesar ke-2 setelah NTT. Ketua Komisi IV DPR RI mendorong Kementan untuk segera menetapkan status Propinsi Sumatera Utara agar langkah penanggulangan bencana ini dapat lebih spesifik.
Stop Pengiriman Babi dari Sumut
Sementara itu wabah demam babi yang menyebabkan kematian masal ternak babi di Sumatera Utara, kendati tidak berbahaya bagi manusia, namun sangat merugikan dari sisi ekonomi.
Yaka, juru bicara Himpunan Peternak Babi Surakarta (HPBS), mengatakan saat ini harga babi terjun bebas. Per September lalu, sekor babi berbobot 100 kilogram (kg) laku Rp3 juta. Kini turun jadi Rp2,7 juta per ekor. Babi dari peternak di Solo dipasok ke Jakarta, Tangerang, dan Bandung. Per hari sanggup mengirim sekitar 600 ekor.
“Akibat isu ASF (african swine fever), teman-teman pedagang babi merugi Rp300 ribu per ekor atau setara Rp180 juta per hari atau Rp5,4 miliar per bulan. Bahkan beberapa teman pedagang terpaksa menurunkan populasi hingga 50 persen. Karena yang mengonsumsi daging babi berkurang,” beber Yaka.
Kabar baiknya, lanjut Yaka, tim Bidang Kesehatan Hewan di Kota Bengawan belum mendeteksi virus ASF di Surakarta. Tantangan ke depan memutus rantai pasokan babi dari Sumatera Utara ke Jawa.
Budhi Santoso, peternak babi asal Solo khawatir distribusi babi dari Sumatera Utara masuk ke Lampung atau daerah sekitarnya dengan surat pengganti. Mendapat surat kesehatan hewan dari wilayah tersebut. Sehingga lolos karantina di Pelabuhan Bakauheni dan Merak.
“Kami khawatirnya itu. Babi dari Sumatera Utara mungkin diganti surat sehatnya di daerah lain. Kalau sampai masuk ke kandang peternak di Jawa, kan bahaya,” ujarnya.
Pakar penyakit hewan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Prof. Wayan T. Wibawan menyampaikan, ASF tidak sama dengan hog cholera dan flu babi. Dia menyebut flu babi bersifat zoonosis atau dapat menyerang manusia. Sedangkan ASF tidak.
“Meski tidak menular ke manusia, peternak babi diimbau tetap mencegah. Meningkatkan biosekuriti dan meningkatkan daya tahan tubuh nonspesifik. Cara pertama dengan isolasi atau membatasi kontak babi dengan manusia, kendaraan, dan barang dari luar. Kedua, memperketat sanitasi manusia dengan cara mandi dan mencuci peralatan kandang serta kendaraan dengan desinfektan,” jelasnya. (prn/gis/fer/jpc)