MEDAN, SUMUTPOS.CO – Lagi, pasien Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Sumatera Utara, dinyatakan sembuh dari perawatannya di sejumlah rumah sakit rujukan, Minggu (26/4). Jumlah yang sembuh kemarin sebanyak 8 orang. Karena itu, saat ini total telah 33 orang yang sudah sembuh dari virus corona.
Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Sumut, dr Aris Yudhariansyah, menyebutkan, 8 pasien ini dirawat di enam RS. Pasien inisial AS dan ES dirawat di RSUD dr Pirngadi. Pasien inisial G dirawat di RSU Sembiring Delitua. Pasien inisial SE dan RS dirawat di RSU Columbia Asia. Pasien inisial T dirawat di RSU GL Tobing, SS dirawat di RSU Siloam, dan JE dirawat RSU Djasamen Saragih Pematangsiantar.
“Kedelapan pasien yang sembuh dengan spesimen follow up dua kali hasilnya negatif. Total sudah ada 33 pasien Covid-19 yang dinyatakan sembuh,” ungkapnya.
Dalam keterangan pers video streaming Aris menyatakan, hingga Minggu sore tercatat Orang Dalam Pemantauan (ODP) berjumlah 2.443 orang, Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang dirawat 150 orang. Sedangkan pasien konfirmasi positif PCR 111 orang dan rapid test 18 orang. Pasien yang meninggal 12 orang.
Aris menyebutkan, jenazah yang sudah dikebumikan dengan protokol Covid-19 sebanyak 61 orang. Dari jumlah tersebut, terdapat 43 orang hasil swabnya dinyatakan negatif, lalu 12 orang positif, dan sisanya 6 orang lagi masih menunggu hasil pemeriksaan laboratorium.
Lebih jauh Aris mengatakan, akhir-akhir ini sering muncul kegelisahan tentang positif, namun setelah ditelusuri ternyata itu baru hasil rapid test. Tetapi tetap ada yang gelisah ketika puluhan bahkan mendekati ratusan orang positif lewat rapid test. Oleh karenan itu ia mengingatkan, hal yang paling penting bahwa diagnosis adalah ranah dokter.
“Diagnosis pasien Covid-19 tidak boleh sembarang orang memutuskan sendiri, untuk menuju diagnosis ada urutan langkah,” katanya.
Pertama adalah anamnesis, yaitu wawancara terpimpin untuk mengumpulkan informasi yang terarah. Informasi yang dicari termasuk risiko kontak, misalnya riwayat perjalanan ke daerah berbahaya atau kontak dengan pasien yang berisiko. Setelah itu, ada pemeriksaan fisik.
“Di sinilah dicari informasi objektif ada urutan rincinya juga informasi dari anamnesis dan pemeriksaan fisik diputuskan diagnosis kerja. Terkadang, disertai juga dengan beberapa diagnosis banding. Namun, keduanya menjadi dasar ke tahap berikutnya dalam tatalaksana pemberian terapi,” papar Aris.
Dalam proses tatalaksana itulah bisa saja diperlukan pemeriksaan penunjang, bentuk yang umum adalah pemeriksaan radiologi dan laboratorium. Foto rontgen dada dan CT Scan sangat penting dalam alur penanganan Covid-19, selanjutnya pemeriksaan laboratorium tapi belum PCR. “Ada pemeriksaan awal dulu, kalau timbul kecurigaan Covid-19 baru masuk ke pemeriksaan PCR.
PCR itu spesifik, kalau hasilnya positif maka harus dipastikan ada virus apakah pasti Covid-19? Hal ini kembali diagnosis adalah ranah dokter. Pemeriksaan hanya menyampaikan temuan dan analisisnya saja, bila sudah sejak awal urut dan terstruktur maka temuan virus ini mengkonfirmasi infeksi Covid-19.
Namun, kalau PCR negatif tidak boleh disimpulkan melainkan harus ada pemeriksaan dengan sampel kedua diambil di hari berikutnya. Bila sudah dua kali negatif, baru dapat disimpulkan bahwa PCR hasilnya negatif,” jabarnya.
Menurut Aris, rapid test yang dilakukan sebenarnya tepat dan bermakna, syaratnya tepat waktu penggunaannya. Di masa awal infeksi, pemeriksaan rapid test adalah tidak tepat karena hasilnya hampir pasti negatif. Akibatnya, bisa mengaburkan kondisi yang sebenarnya merasa aman padahal itu karena tidak tepat penggunaan rapid test.
“Rapid test baru tepat dan bermakna saat antibodi sudah timbul, maka paling cepat adalah minimal 7 hari setelah kontak atau perjalanan dan lebih baik lagi setelah hari ke-10. Bahkan, lebih tepat lagi bila disertai gejala. Apabila tidak tepat, hasil tidak bisa seperti yang diharapkan untuk membantu diagnosis,” katanya.
Setelah ada rapid test positif, maka diteruskan konfirmasi. Sambil menunggu hasil PCR, hasil rapid test positif juga membantu pasien mana yang berisiko tinggi menularkan. “Bila tidak ada gejala dan sementara waktu kontak tidak cukup jelas, maka pilihannya hanya pemeriksaan PCR sehingga tidak tepat menggunakan rapid test.
Oleh karenanya, rapid test dapat digunakan syaratnya dihitung benar jarak terhadap waktu kontak paling cepat 7 hari. Tapi, lebih baik lagi setelah hari ke-10. Apabila hasilnya positif, diteruskan dengan konfirmasi PCR. Namun, bila negatif harus dianggap belum aman. Setelah 7 hingga 10 hari kemudian barulah dilakukan pengulangan rapid test,” sambung Aris.
Jika pada pengulangan rapid test tetap negatif, lanjut dia, berarti belum pernah terinfeksi. Tapi, ini juga berarti belum terbentuk kekebalan tubuh maka harus tetap berhati-hati agar tidak sampai terinfeksi. Bukan justru malah merasa sudah aman, itu adalah salah besar karena bila terjadi positif maka kembali harus dikonfirmasi PCR.
“Adanya rapid test positif memang mengindikasikan risiko tinggi bahwa hasil PCR juga akan positif. Tetapi, rapid test positif tidak menjamin hasil PCR pasti positif. Maka orang dengan hasil rapid test positif, tidak serta merta dinyatakan kasus konfirmasi. Pentingnya rapid test dalam hal ini adalah lebih cepat dapat menepis pasien mana yang lebih berisiko Covid-19, sehingga mana yang membutuhkan sarana dan prasarana alat dan SDM yang terlatih. Kombinasi hasil rapid test dengan PCR,” bebernya.
Diutarakan Aris, kombinasi hasil rapid test dengan PCR dapat memberikan informasi penting bagi seorang dokter, tapi ada beberapa variasi dan maknanya juga bervariasi. Oleh sebab itu, masing-masing berpengaruh ke tatalaksana pasien. Jika hanya ada rapid test, maka harus hati-hati dimaknai. “Rapid test tetap bermakna tapi harus disertai benar penilaian kondisi klinis seseorang, prinsipnya selama masih ada virus dalam tubuh berarti dapat menularkan,” ucapnya.
Ia menambahkan, adanya virus dideteksi dengan PCR, bila PCR sudah negatif berarti virusnya sudah bersih. Akan tetapi, ada informasi yang menyebutkan bisa reaktivasi namun masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Reaktivasi atau reinfeksi karena paparan virus memang saat ini sedang sangat tinggi.
Rata-rata virus bertahan sampai hari ke-20. Setelah antibodi timbul dan matang maka sejak hari ke-10 jumlah virus akan menurun drastis, dan setelah hari ke-14 jumlahnya tinggal sedikit sekali. Tapi memang rata-rata dilaporkan benar-benar bersih pada hari ke-20. Namun, ada juga kasus yang ekstrem virus terus bertahan sampai 28 hingga 37 hari setelah kontak. Maka, bila mau aman digunakan prinsip dua kali PCR yaitu 2×20 hari atau pada 6 pekan.
“Dengan memahami fase dan alur ini, maka pemeriksaan PCR dan rapid test akan bermanfaat secara optimal. Sekaligus bisa bersikap dan merespon secara rasional. Ini artinya kita mampu menjaga hubungan sosial yang kental tanpa menantang risiko Covid-19 yang sedang viral,” imbuhnya. (ris)