30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

DPR RI Minta Wajib PCR Penumpang Pesawat Dievaluasi

LABUHANBATU, SUMUTPOS.CO – Permintaan Presiden RI Joko Widodo untuk menurunkan harga tes PCR menjadi Rp300 ribu mendapat apresiasi dari Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay. Pun begitu, wakil rakyat dari Dapil Sumut II ini minta agar wajib tes PCR bagi penumpang pesawat dihapus.

Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay.

Dalam rilis tertulis anggota DPR RI dari Dapil Sumut II itu, Selasa (26/10) menjelaskan, Presiden Jokowi mendengar keluhan yang ada di tengah masyarakat.

“Dalam konteks ini, presiden kelihatannya tidak mau membebani masyarakat di masa pandemi saat ini,” ujarnya.

Pun begitu, lanjut Saleh Partaonan Daulay, permintaan menurunkan harga PCR dinilai tidak menyelesaikan masalah. Sebab, biaya test PCR tetap saja akan membebani masyarakat. Apalagi yang dibebani adalah para penumpang yang menggunakan transportasi udara. Faktanya, tidak semua orang yang naik pesawat memiliki dana yang berlebih. Masih banyak orang yang merasa berat dengan beban membayar test PCR.

“Belakangan ini, tuntutannya kan menghapus persyaratan test PCR bagi penumpang pesawat. Nah, kalau hanya diturunkan dan diperpanjang masa berlakunya, akar masalahnya belum tuntas. Orang-orang tetap masih harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar test PCR-nya,” paparnya.

Sejalan dengan tuntutan itu, tambah Partaonan Daulay, Presiden diminta untuk mengevaluasi kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat. Sebab, test PCR tersebut dinilai tidak menjamin bahwa semua penumpang tersebut aman dan tidak tertular. Bisa saja, setelah ditest, katanya di antara penumpang itu melakukan kontak erat dengan orang yang terpapar. Akibatnya, bisa terinfeksi dan menularkan di dalam pesawat.

“Orang yang ditest itu aman pada saat dites dan keluar hasilnya. Setelah itu, belum ada jaminan. Bisa saja ada penularan pada masa 3 x 24 jam,” ulasnya.

“Betul, tes PCR ini bisa meningkatkan kehati-hatian. Tetapi, apakah itu bisa diandalkan secara total? Rasanya tidak. Apalagi, test yang sama tidak diberlakukan bagi penumpang angkutan lainnya,” imbuhnya.

Sebagai alternatif, pemerintah diminta untuk memilih salah satu dari kebijakan berikut. Pertama, menghapus kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat. Aturan ini diyakini akan sangat bermanfaat untuk menaikkan jumlah penumpang pesawat yang belakangan sempat terpuruk.

Kedua, kalaupun tes PCR tetap diberlakukan, maka biayanya diharapkan dapat ditanggulangi pemerintah. Dengan begitu, kebijakan tersebut tidak memberatkan siapa pun. Tentu ini tidak mudah. Karena itu perlu perhitungan yang cermat sehingga tidak membebani anggaran pemerintah.

Ketiga, memperpanjang masa berlaku hasil tes PCR. Kalau perlu, masa berlakunya adalah 7 x 24 jam. Meskipun ini tetap membebani para penumpang, tetapi tidak terlalu berat sebab hasil tes tersebut dapat dipergunakan untuk beberapa kali penerbangan.

“Dulu masa berlakunya bisa lebih dari seminggu. Kenapa sekarang semakin diperketat? Kalau kasusnya mereda, semestinya masa berlaku hasil PCR pun diperpanjang. Nanti kalau ada kenaikan lagi, bisa dipikirkan untuk memperketat lagi,” katanya.

Keempat, kebijakan tes PCR diganti dengan tes antigen. Meski tingkat akurasinya lebih rendah dari PCR, namun biaya testingnya jauh lebih rendah. Para penumpang diyakini masih bisa menjangkaunya. (fdh/han)

LABUHANBATU, SUMUTPOS.CO – Permintaan Presiden RI Joko Widodo untuk menurunkan harga tes PCR menjadi Rp300 ribu mendapat apresiasi dari Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay. Pun begitu, wakil rakyat dari Dapil Sumut II ini minta agar wajib tes PCR bagi penumpang pesawat dihapus.

Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay.

Dalam rilis tertulis anggota DPR RI dari Dapil Sumut II itu, Selasa (26/10) menjelaskan, Presiden Jokowi mendengar keluhan yang ada di tengah masyarakat.

“Dalam konteks ini, presiden kelihatannya tidak mau membebani masyarakat di masa pandemi saat ini,” ujarnya.

Pun begitu, lanjut Saleh Partaonan Daulay, permintaan menurunkan harga PCR dinilai tidak menyelesaikan masalah. Sebab, biaya test PCR tetap saja akan membebani masyarakat. Apalagi yang dibebani adalah para penumpang yang menggunakan transportasi udara. Faktanya, tidak semua orang yang naik pesawat memiliki dana yang berlebih. Masih banyak orang yang merasa berat dengan beban membayar test PCR.

“Belakangan ini, tuntutannya kan menghapus persyaratan test PCR bagi penumpang pesawat. Nah, kalau hanya diturunkan dan diperpanjang masa berlakunya, akar masalahnya belum tuntas. Orang-orang tetap masih harus merogoh kocek lebih dalam untuk membayar test PCR-nya,” paparnya.

Sejalan dengan tuntutan itu, tambah Partaonan Daulay, Presiden diminta untuk mengevaluasi kebijakan wajib PCR bagi penumpang pesawat. Sebab, test PCR tersebut dinilai tidak menjamin bahwa semua penumpang tersebut aman dan tidak tertular. Bisa saja, setelah ditest, katanya di antara penumpang itu melakukan kontak erat dengan orang yang terpapar. Akibatnya, bisa terinfeksi dan menularkan di dalam pesawat.

“Orang yang ditest itu aman pada saat dites dan keluar hasilnya. Setelah itu, belum ada jaminan. Bisa saja ada penularan pada masa 3 x 24 jam,” ulasnya.

“Betul, tes PCR ini bisa meningkatkan kehati-hatian. Tetapi, apakah itu bisa diandalkan secara total? Rasanya tidak. Apalagi, test yang sama tidak diberlakukan bagi penumpang angkutan lainnya,” imbuhnya.

Sebagai alternatif, pemerintah diminta untuk memilih salah satu dari kebijakan berikut. Pertama, menghapus kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat. Aturan ini diyakini akan sangat bermanfaat untuk menaikkan jumlah penumpang pesawat yang belakangan sempat terpuruk.

Kedua, kalaupun tes PCR tetap diberlakukan, maka biayanya diharapkan dapat ditanggulangi pemerintah. Dengan begitu, kebijakan tersebut tidak memberatkan siapa pun. Tentu ini tidak mudah. Karena itu perlu perhitungan yang cermat sehingga tidak membebani anggaran pemerintah.

Ketiga, memperpanjang masa berlaku hasil tes PCR. Kalau perlu, masa berlakunya adalah 7 x 24 jam. Meskipun ini tetap membebani para penumpang, tetapi tidak terlalu berat sebab hasil tes tersebut dapat dipergunakan untuk beberapa kali penerbangan.

“Dulu masa berlakunya bisa lebih dari seminggu. Kenapa sekarang semakin diperketat? Kalau kasusnya mereda, semestinya masa berlaku hasil PCR pun diperpanjang. Nanti kalau ada kenaikan lagi, bisa dipikirkan untuk memperketat lagi,” katanya.

Keempat, kebijakan tes PCR diganti dengan tes antigen. Meski tingkat akurasinya lebih rendah dari PCR, namun biaya testingnya jauh lebih rendah. Para penumpang diyakini masih bisa menjangkaunya. (fdh/han)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/