Batas wilayah di Sumuatera Utara (Sumut) tidak menjadi persoalan untuk dibahas bagi masyarakat. Buktinya, lihat saja sejumlah instansi ataupun perumahan sudah banyak berdiri yang lokasinya di wilayah antara perbatasan Kota Medan dan Kabupaten Deliserdang.
Kota Medan dikelilingi oleh wilayah Deliserdang. Banyak usaha atau perumahan dan komplek pertokoan yang menggunakan branding Medan untuk nama. Sementara wilayah atau lokasinya berada di atas tanah Deliserdang.
Misalnya saja Medan Metro Trade Centre (MMTC) yang berdiri luas di Jalan Williem Iskandar. Kemudian bangunan MAN 1 Medan, MAN 2 Medan, SMP Negeri 27 Medan, SMP Negeri 35 Medan, RS Haji Medan, Madrasyah Tsanawiyah (MTs) Negeri Medan, dan Madrasyah Ibtidaiyah Negeri (MIN) I Medan serta Universitas Negeri Medan (Unimed)n
Kondisi ini sudah berjalan belasan tahun lalu. Bahkan dianggap hal yang biasa saja. Kemudian, ada pula yang menganggap tidak ada persoalan karena secara administrasi instansinya masih berhubungan dengan Pemerintah Kota Medan.
Kepala Madrasah Aliyah Negeri 2 (MAN 2) Medan Drs H Amarullah SH mengatakan wilayah administrasi yang berkaitan dengan bangunan dan tanah, Madrasah berada di Kabupaten Deliserdang, namun kepengurusan administrasinya ada masuk dalam wilayah Kota Medan.
“Kalau kita di sini segala administrasi yang berhubungan dengan Madrasah semuanya berurusan dengan Pemerintah Kota Medan, karena kita kan MAN 2 Medan. Sedangkan untuk tanah dan bangunan berdirinya Madrasah ini memang berada di wilayah Kabupaten Deliserdang. Ini kan termasuk tanah eks HGU PTPN 2 yang sampai sekarang belum juga kita dapatkan surat kepemilikannya,” katanya.
Direktur Pusat Studi Ilmu-Ilmu Sosial dan Sejarah (PUSIS) Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr Phil Ichwan Azhari MS memandang berbeda wilayah secara administratif dengan dunia usaha atau bisnis.
Dia memaparkan, wilayah administratif dengan wilayah kosmopolitan itu bisa tidak sama. Contoh misalnya Bandara Soekarno Hatta Cengkareng yang diketahui orang itu Jakarta, padahal itu daerah berada di Provinsi Banten. Begitu juga dengan Bandara Kualanamu yang juga nanti akan mengalami hal yang sama. Namanya Kualanamu, namun yang orang tahu Kualanamu itu Bandara wilayah di Medan. Jadi batas-batas administratif tidak bisa dikalim sebagai wilayah yang digunakan untuk atas nama pencitraan, karena sebetulnya walaupun dalam persoalan batas ini wilayah yang dimaksud itu Deliserdang, tetapi dia lebih dekat ke Medan daripada ke Ibu kota Kabupaten. Jadi dari segi itu masih memungkinkan dan banyak kasus di Indonesia seperti itu.
Ichwan menyampaikan, bila nama Deliserdang dipakai untuk nama usahanya, bisa jadi gengsinya kurang dibanding dengan nama Medan. Di sinilah biasanya terjadi pengaburan batas-batas wilayah, karena orang merasa tidak di Deliserdang. Mereka mengklaim bagian dari Kota Medan. “Jadi tidak bisa disamakan atau sah-sah saja, kecuali membuat alamat tempatnya di Medan, itu baru salah,” katanya.
Pengamat Sosial dan Pemerintahan Dadang Darmawan juga berpendapat tidak jauh berbeda. Menurutnya Medan merupakan branding bagi pelaku usaha yang ingin memajukan bisnisnya.
“Kondisi ini disebabkan karena semua orang membutuhkan branding, butuh merk, simbol dan label. Medan merupakan simbol kota besar yang memiliki gengsi tinggi. Saya kira kalau mereka memakai nama Deliserdang, itu bukan strategi yang bisa menjual dari segi bisnis. Saya kira rata-rata pengusaha yang berada di pinggir perbatasan pasti akan memanfaatkan nama Medan sebagai simbol dalam konteks bisnis,” katanya.
Dia menyebutkan, memang melihat pinggiran atau batas-batas Medan-Deliserdang ini sebenarnya lebih banyak dipercayai sebagai daerah Medan. Karenanya batas-batas daerah menjadi tidak jelas. Kita tidak dapat menjelaskan atau menegaskan batas-batas itu karena percampuran permukiman dan gedung-gedung yang ada diatasnya itu memang tidak bisa dibatasi sebagaimana bentuk-bentuk fisiknya. Dengan begitu, orang akan mengidentifikasi kawasan tersebut sebagai bagian dari Kota Medan sekalipun faktanya itu ada di area Deliserdang,” katanya.
Alasan ini yang menurut Dadang merupakan faktor mengapa banyak usaha atau pelaku usaha menggunakan nama Medan sebagai nama usahanya selain juga karena letaknya berdekatan.
“Persoalan di perbatasan ini memang tidak menguntungkan bagi mereka untuk menggunakan nama kabupatennya. Secara logis orang akan memanfaatkan nama Medan dan itu menurut saya biasa saja. Di sini juga banyak perusahaan yang memakai nama Jakarta tetapi beroperasi di Medan. Jadi pelaku usaha itu memang cenderung memanfaatkan hal yang strategis sebagai basis peningkatan bisnis mereka,” tambahnya.
Dari sisi penguasaan wilayah pemerintahan, tidak ada hal yang mengatur persoalan nama. Namun, menurutnya antara kedua daerah, sangat dimungkinkan ada tarik-menarik wilayah sesuai dengan kebutuhan pembangunan. “Pemerintah sendiri tidak ada aturan tentang itu dan memang tidak mungkin diatur. Namun sering sekali pengembangan batas-batas ini menjadi rebutan, karena ini menyangkut Pendapatan Asli Daerah (PAD) seperti pajak, retribusi dan peningkatan kas daerah yang sudah tentu Deliserdang akan berupaya untuk tetap memepertahankan daerah itu sementara Medan juga membutuhkan pengembangan wilayah. Jadi dia memanfaatkan nama besar Medan sebagai strategi bisnis, tetapi tetap administrasinya dipegang oleh Deliserdang,” jelasnya.
Namun hal ini erat kaitannya dengan bagaimana Kota Medan dan Deliserdang menggunakan konsep megapolitan yang saling bersambungan, agar tidak perlu ada batas-batas yang harus dipertegas antara Medan dan Deliserdang, karena sudah sama karakter bisnisnya. Jadi Medan harus menjadi kota yang majemuk, harus berdampingan dengan wilayah lain,” terangnya.
Masalahnya adalah bagaimana menghilangkan sentimen kedaerahan atau wilayah akibat konsep otonomi daerah yang masih tinggi antara kedua wilayah. Jika sentimen itu bisa dihilangkan maka konsep megapolitan bisa terbangun. (*)