MEDAN, SUMUTPOS.CO – Wacana penerapan new normal life atau pola hidup baru di masa Covid-19 di Sumatera Utara oleh Pemprov Sumut melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 Sumut, mendapat tanggapan dari Ketua Komisi A DPRD Sumut, Hendro Susanto. Hendro menilai, wacana new normal belum tepat dilakukan.
“Di beberapa negara lain, pelonggaran restriksi (pembatasan) sosial diberlakukan, karena jumlah kasus di negara mereka sudah berada di single digit setiap hari, sebelum new normal dijalankan,” katanya menjawab Sumut Pos, Kamis (28/5).
Sementara di Indonesia, penularan pasien kasus positif Covid-19 masih terbilang cukup tinggi. Hingga kemarin, GTPP Covid-19 mencatat jumlah kasus konfirmasi positif corona mencapai 24.358 orang. Bertambah 687 orang dibandingkan hari sebelumnya.
“Sementara data di Sumut per tanggal 27 Mei, ada 332 yang positif dengan pertambahan sebanyak 17 orang,” ujarnya.
Menurut penilaiannya, Indonesia bisa meniru Jerman yang melakukan pelonggaran lockdown atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara bertahap. Jerman mulai melakukan pelonggaran setelah pertambahan jumlah kasus positif di negaranya mencapai 400 orang per hari. Setelah melewati peak yang mencapai 6.000 kasus per harinya.
“Jadi memang sudah menurun, meski ekornya belum ketahuan di mana. Sedangkan di Indonesia karena angka pemeriksaan sedikit, peak-nya belum ketahuan. Jadi menurut saya, new normal ini bentuk tindakan gegabah,” tegas politisi PKS ini.
Ia menambahkan, pemerintah butuh skenario mitigasi untuk kemungkinan terburuk, jika new normal life di Indonesia —terhusus Sumut— diterapkan. Misalnya, skenario containment jika ada penyebaran masif lokal, ketersediaan fasilitas rumah sakit kesehatan di suatu daerah, sarana pengobatan yang baik, ketersedian swab PCR di daerah, dan seterusnya.
“Jadi tetap butuh data dan pemantauan. Nggak bisa berdamai gitu aja. Apalagi untuk masyarakat dengan risk factor yang tinggi. Ketika new normal diberlakukan secara efektif pun, daya angkat industri terhadap perekonomian tidak akan sama dan tidak akan sekuat ketika sebelum pandemi corona terjadi,” tutur Hendro.
Kelaziman hidup baru, imbuh dia, belum semestinya diberlakukan pemerintah saat ini karena jumlah pertambahan kasus yang masih cukup tinggi. “Saat ini saja, bagi daerah yang PSBB belum bisa dikatakan efektif. Masih banyak masyarakat beraktifitas keluar rumah tanpa masker atau tanpa jaga jarak. Sumut apalagi, pengajuan PSBB pun tidak ada oleh Gubsu,” kritiknya.
Untuk di Sumut, menurutnya ada empat hal yang harus dipenuhi sebelum melakukan pelonggaran pembatasan sosial atau sekarang disebut “new normal. Pertama, laju kasus baru sudah turun secara konsisten, atau angka reproduksi (R0) kasus turun signifikan misalnya sudah sampai dengan kurang dari sama dengan satu di Sumut.
Kedua, adanya tren penurunan populasi berisiko dalam hal penurunan PDP, ODP, dan OTG di Sumut.
Ketiga, jumlah dan kecepatan tes sudah memadai, yaitu kapasitas tes swab dengan PCR, jadi minimal sudah tidak ada lagi tumpukan antrean sample di laboratorium dan stok reagen aman untuk 1-2 bulan ke depan.
“Terakhir, kesiapan sistem kesehatan. Tidak hanya kapasitas rumah sakit rujukan maupun RS vertikal dan daerah serta RS swasta, yang siap menampung jika terjadi lonjakan kasus, tapi juga kapasitas tim di lapangan dalam melakukan deteksi dini, pelacakan kasus dan kontak, serta pelaporan secara real time. Ketika empat syarat tersebut belum terpenuhi maka keputusan melakukan pelonggaran pembatasan sosial di Sumut yang kita cintai ini, akan sangat berbahaya karena berpotensi meningkatkan risiko penularan Covid-19 di masyarakat,” terangnya.
Apalagi berdasarkan penelitian di luar negeri bahwa sekitar 80% kasus Covid-19 adalah kasus infeksi tanpa gejala. “Adanya pelonggaran ini saya kira tidak berdasar pada kajian epidemologi dan kesehatan masyarakat karena sampai saat ini laju pertumbuhan kasus di Indonesia dan khususnya di Sumut belum turun secara konsisten, selain itu jumlah tes harian masih minim, dan penerapan PSBB di Sumut belum sama sekali. PSBB aja belum, ini malah mau ada wacana new normal di Sumut. Semoga Pak Gubsu mendengar masukan dari kami selaku DPRD Sumut, yang merupakan wakil rakyat,” pungkasnya.
Pemprovsu sebelumnya mengkaji kemungkinan perpanjangan masa Tanggap Darurat Covid-19 yang akan berakhir 29 Mei ini. Begitu juga dengan masa belajar mandiri dari rumah untuk murid setingkat SMA/SMK sederajat.
DPRD Medan juga Mengkritik
Senada dengan Komisi A DPRD Sumut, anggota DPRD Medan juga menilai Kota Medan belum saatnya menerapkan New Normal. Pasalnya, dari 21 kecamatan yang ada, hanya 1 kecamatan, yakni Medan Belawan yang belum berstatus kawasan zona merah (red zone) —masih bersatus zona kuning.
“Artinya, hampir seluruh kecamatan di Kota Medan sudah masuk ke dalam kawasan zona merah. Ketika status zona merah belum turun, bagaimana mungkin kita bisa menerapkan new normal? Kita juga mau lihat sejauh mana Perwal 11/2020 berperan mencegah penyebaran covid-19 di Kota Medan,” ucap Wakil Ketua DPRD Medan, HT Bahrumsyah SH MH, kkepada Sumut Pos di kantor DPRD Medan, Kamis (28/5).
Dikatakan Bahrum, Pemko Medan harus melakukan evaluasi serta melakukan validasi status Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Pelaku Perjalanan (PP), dan status lainnya yang ada di Kota Medan, kepada masyarakat maupun DPRD Medan.
Bahrum juga mengaku heran dengan kebijakan Pemko Medan yang melonggarkan kembali aktivitas jual beli di pasar modern (mal), sementara status zona merah mengalami kenaikan dari hari ke hari.
“Lebih parahnya lagi, warga Kota Medan yang hendak ke luar daerah saja tidak dibenarkan. Saya mau ke Aceh saja harus pegang surat bebas Covid-19 dari yang berwenang. Jadi bagaimana mungkin dalam kondisi seperti itu New Normal bisa diterapkan?” ungkapnya.
Ketua DPD PAN Kota Medan ini menyebutkan, istilah New Normal dapat dijalankan di Kota Medan, apabila ada kajian yang mendalam dari sisi kesehatan. “Harus ada kajian dari sisi kesehatan, bukan dari sisi politik. New Normal ini ‘kan untuk kepentingan elit. Seharusnya ada juga pendapat-pendapat dari ahli kesehatan. Pelaku-pelaku kesehatan yang ada di rumah sakit saat ini, kita juga perlu mendapatkan informasi tentang mereka,” sebutnya.
Dijelaskan Bahrum, Perwal Nomor 11 tahun 2020 tentang Karantina Kesehatan belum berjalan efektif, meski keberadaan Perwal dinilai penting.
“Begitu juga soal anggaran refocusing yang hampir Rp1 triliun itu akan kita evaluasi. Selain untuk kesehatan, untuk wabah itu sendiri atau untuk dampak sosial, sejauh ini sudah seperti apa penggunaannya?” jelasnya.
Menurut Bahrum, DPRD Medan telah mengalokasikan dana bantuan sosial yang diperuntukkan bagi 300 ribu kepala keluarga. Sehingga tidak bijak rasanya jika di lapangan terjadi gejolak. “Kalau memang kurang, kita akan tambah. Yang sudah terima bantuan tidak boleh ditarik kembali karena kesalahan data. Ini tidak boleh terjadi. Banyak kok yang terima PKH dapat bantuan beras juga,” tegasnya.
Menurutnya, penerima bantuan dari Pemko Medan bukan persoalan mampu atau tidak mampu dari sisi ekonomi, melainkan terdampak sosial pandemi Covid-19. “Kalau dia korban terdampak Covid-19, harus diberikan bantuan. Tapi berdasarkan surat edaran Dinsos, lebih diprioritaskan bagi yang belum mendapat bantuan,” tandasnya.
Angkasa Pura II Siapkan Protokol
Masih terkait wacana New Normal, Manajeman Kantor Cabang PT Angkasa Pura II (Persero) Bandar Udara Internasional Kualanamu Deliserdang, mengatakan tengah menyiapkan protokol antisipasi skenario The New Normal di tengah pandemi global COVID-19.
“Sesuai arahan Menteri BUMN, setiap BUMN termasuk PT Angkasa Pura II diminta mempersiapkan protokol guna mengantisipasi The New Normal di tengah COVID-19 sejalan dengan bidang usaha masing-masing,” ujar Executive General Manager PT Angkasa Pura II Djodi Prasetyo.
Untuk itu, perseroan telah menetapkan Task Force Penanganan COVID-19, dan segera merumuskan Protokol Penanganan COVID-19 terkait tiga aktivitas kebandarudaraan, yaitu operasional, pelayanan dan komersial, selain tentunya juga mengenai proses bisnis di internal perseroan seperti misalnya saja mengenai keputusan karyawan bekerja dari rumah dan bekerja di kantor.
Djodi menegaskan, implementasi protokol The New Normal tersebut bergantung dari keputusan resmi pemerintah atau Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19.
“Protokol The New Normal BUMN memperhatikan penetapan PSBB dan diberlakukan jika ada keputusan resmi dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 atau dari pemerintah. Belum ada tanggal pasti pemberlakukan protokol ini, baik mengenai kapan karyawan harus kembali bekerja dari kantor serta kriteria siapa saja yang harus bekerja di kantor,” ujarnya.
Protokol The New Normal di lingkungan kebandaraan akan lebih mengedepankan layanan dengan teknologi informasi dan tetap memperhatikan physical distancing. Misalnya, personel PT Angkasa Pura II di bandara akan dilengkapi seragam khusus atau APD. Kemudian sistem biometrik bisa saja digunakan kaitannya dengan pelayanan, keselamatan dan keamanan penerbangan,” katanya.
“Lalu kepada maskapai dan penumpang akan diarahkan untuk lebih menggunakan self check in kiosk, mobile check in dan web check in, dibandingkan dengan datang ke konter check in,” katanya.
Di samping itu, protokol The New Normal juga akan menyentuh aktivitas tenant komersial misalnya adanya kewajiban bagi tenant untuk menyediakan hand sanitizer, dan diarahkan untuk menerapkan transaksi secara nontunai (cashless) menggunakan kartu atau dompet elektronik, serta menerapkan prosedur physical distancing.
Djodi Prasetyo menuturkan timeline implementasi protokol The New Normal ini akan diajukan ke Kementerian BUMN pada 25 Mei 2020. “Yang jelas, kami siap mengantisipasi skenario The New Normal karena memang sudah sejak 4 tahun terakhir ini pengembangan bandar udara KNIA mengarah ke digitalisasi untuk mewujudkan Smart Digital Airport di Indonesia,” ujar Djodi Prasetyo.
Saat ini KNIA juga telah melakukan sejumlah penyesuaian minimum operasional sehingga seluruh kegiatan kebandarudaraan tetap beroperasi guna mendukung berbagai program mengatasi COVID-19. (prn/map/btr)