BINJAI, SUMUTPOS.CO – Penagihan pajak restoran dan rumah makan kepada pedagang kaki lima (PKL) yang dilakukan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dinilai tidak tepat sasaran. Pasalnya, PKL yang berjualan di badan jalan boleh jadi tidak memiliki lokasi usaha permanen.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Sumatera Utara, Wahyu Ario menyesalkan hal tersebut. Sejatinya, ia menilai, Pemerintah Kota (Pemko) Binjai memberikan keringan kepada pedagang untuk saat ini dalam kondisi di tengah pandemi.
Bahkan, Pemko Binjai menetapkan status pembatasan pemberlakuan kegiatan masyarakat level 3. Ditambah lagi, PKL pun berjualan selalu berpindah-pindah menjajakan usahanya kepada pembeli.
“Kalau kaki lima tidak dipungut, tapi mereka retribusi kepada pemerintah. Karena PKL tidak permanen, berjualan dengan gerobak dan selalu berpindah-pindah,” jelasnya, Senin (30/8).
Keringanan dimaksud kepada pedagang, ujar dia, dengan tidak memberlakukan denda kepada setiap wajib pajak. Menurut dia, setiap pedagang tetap harus bayar kepada negara.
“Pajak tetap bayar, tetapi dendanya janganlah dibebankan kepada pedagang. Mereka juga sudah mendapatkan beban karena dampak pandemi ini,” serunya.
Begitu juga dengan pemberlakuan tagihan pajak ke pedagang, dia menilai, Pemko Binjai juga wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada pedagang. Jangan mendadak pemerintah menagih.
Kata dia, hal tersebut terkesan memaksa kepada setiap wajib pajak untuk membayar iuran. “Ada pemberitahuan dulu, tidak langsung serta merta begitu saja,” ujarnya.
Dia menambahkan, seharusnya pemerintah tak membebankan masyarakat lagi di tengah Kota Binjai ditetapkan PPKM level 3. Karenanya, dia menyarankan, Pemko Binjai harus memikirkan bagaimana memulihkan ekonomi masyarakat di tengah PPKM.
“Seharusnya pemerintah memikirkan bagaimana dapat memulihkan ekonomi masyarakat yang sudah terdampak karena Covid-19,” tambahnya.
Memang dalam aturan, pemerintah memang harus memungut iuran pajak kepada masyarakat. Hal tersebut dilakukan untuk mendongkrak pendapatan asli daerah dan akan digunakan untuk kepentingannya rakyat.
“Wajar itu, kalau tidak dikutip pajak, dari mana pemerintah mau membangun daerah,” serunya.
Namun, pajak yang dikutip dipergunakan untuk kepentingan rakyat. “Membelanjakan pendapatan itu lebih efisien. Jangan pula nanti uang itu dipakai untuk membeli mobil baru, komputer baru yang semuanya untuk kepentingan pemerintah sendiri, bukan rakyat,” ujarnya.
Dalam peraturan daerah (Perda), seluruh daerah sama memberlakukan besaran tagihan pajak, yakni 10 persen. Karenanya, dia berharap, Pemko Binjai dapat mempertimbangkan aspek sosial masyarakat daripada memberlakukan aturan. “Kalau pajak itu seluruh daerah sama, tidak ada bedanya,” tandasnya.(ted/azw)