Dari lantai atas hotel Fairmont Mekah ini saya bisa menatap Ka’bah yang agung di tengah-tengah pusaran manusia yang lagi tawaf di Masjidil Haram. Di lantai inilah saya siap-siap shalat tarawih malam itu, malam ke-29 bulan puasa. Di lantai ini pulalah saya diagendakan bertemu pemilik kerajaan bisnis Saudi Binladin Group, Syekh Bakr bin Ladin.
Inilah lantai di mana Syekh Bakr tinggal. Salah satu ruangannya dijadikan tempat shalat. Yakni ruang yang persis menghadap Masjidil Haram. Dari kaca ruang ini, lautan manusia di bawah sana terlihat menyemut. Masjid yang terang lampunya bak siang itu, dengan menara-menara yang gemerlap bercahaya. Manusia di dalamnya terlihat tidak henti-hentinya memutari Ka’bah.
Dari sini pula terlihat bangunan baru yang arsitekturnya mirip Masjidil Haram. Inilah bangunan tambahan yang besarnya melebihi Masjidil Haram itu sendiri. Bangunan ini hampir jadi. Letaknya persis di sebelahnya dalam posisi menonjol karena bertumpu di bukit yang lebih tinggi. Lokasi ini dulunya dikenal sebagai Hotel Mekah dan sekitarnya. Bulan puasa tahun depan bangunan ini jadi 100 persen.
Dari arah atas ini pula terlihat seperempat bagian Masjidil Haram yang dibongkar dan kini sedang dibangun lagi. Di bagian inilah BUMN PT Waskita Karya (Persero) Tbk ikut berperan. Proyek ini didapat Waskita dari kontraktor utama Binladin. Tiap tahun ditargetkan seperempat pembongkaran dilakukan untuk dibangun kembali. Dengan demikian seluruh Masjidil Haram selesai direnovasi tahun 2018. Berarti, selama itu pula Waskita akan terus bekerja di sana. Insya-Allah.
Dari kamar khusus Syekh Bakr itu semua aktivitas di Masjidil Haram dan sekitarnya terlihat sempurna.
Saya, Dirut Waskita Karya M Choliq, dan manajer Waskita di Arab Saudi, sudah siap di kamar itu menjelang adzan Isya. Ditemani beberapa staf inti Binladin Group. Termasuk adik kandung Syekh Bakr yang juga direktur keuangan grup itu.
“Syekh masih di sana, tapi segera tiba,” ujar salah satu staf inti Binladin Group. Berkata begitu ia sambil menunjuk bangunan tinggi di sebelah Masjidil Haram, arah kanan depan Fairmont Hotel. Itulah bangunan di mana Raja Arab Saudi dan keluarganya tinggal untuk beribadah selama 10 hari terakhir bulan puasa.
Syekh Bakr bin Ladin masih di gedung kerajaan itu. Kami pun shalat tarawih mengikuti imam Masjidil Haram. Sound system di kamar itu memang tersambung sound system masjid. Adzan dan suara imam juga tersambung ke seluruh kamar hotel sehingga banyak penghuni hotel yang shalat lima waktu di kamar masing-masing dengan imam dari Masjidil Haram.
Usai shalat tarawih, yang ditunggu pun tiba. Syekh Bakr ternyata cukup santai, tanpa tutup kepala dan bicaranya ceplas-ceplos seperti umumnya pengusaha. Di situlah kami membicarakan proyek-proyek Waskita dan masa depannya. Termasuk keinginan Syekh Bakr untuk terus menambah orang agar Waskita bisa ikut mempercepat penyelesaian proyek.
“Di sini selalu diinginkan serba cepat. Proyek lima tahun kalau bisa selesai dalam dua tahun,” kata Syekh Bakr.
Ternyata Syekh Bakr juga sudah tahu maksud kedatangan saya. “Waskita akan kami ikutkan di proyek perluasan Masjid Nabawi di Madinah,” tegasnya. “Kalau perlu tidak hanya proyeknya. Juga sampai pemeliharaannya,” tambahnya. “Pokoknya peranan Waskita harus kita tingkatkan terus,” katanya lagi. Kali ini sambil menatap wajah-wajah staf intinya.
Entah apa yang baru dia bicarakan di gedung kerajaan di sana, yang jelas malam itu Syekh Bakr menyambut baik semua rencana kami. Termasuk mengundangnya untuk berinvestasi di Indonesia. “Kami akan serius masuk Indonesia,” katanya.
Yang juga terlihat spontan adalah kata-kata terakhirnya kepada para stafnya: tiap tahun beliau ini harus jadi tamu kita di sini, dan malam ini antarkan beliau ke atas!
Saya tidak menyangka mendapat kesempatan naik ke ketinggian 400 meter di puncak bangunan itu. Yakni ke ruangan yang terletak di balik “Jam Mekah” warna hijau yang terlihat dari seluruh penjuru kota, bahkan terlihat dari Mina dan Muzdalifah itu. Inilah jam terbesar yang diletakkan di ketinggian tertinggi di dunia. Kalau Big Band London yang terkenal itu tingginya hanya enam meter, Jam Mekah ini 43 meter!
Tulisan “Allah” (dalam huruf Arab) yang ada di dekat jam itu terbesar dan tertinggi di dunia. Panjang huruf alifnya saja 23 meter.
Ruangan di balik jam itu ternyata dijadikan diorama untuk menunjukkan keagungan jagad raya. Foto tiga dimensi matahari, lengkap dengan inti matahari, ada di situ. Demikian juga foto tata surya, jagad raya dan planet-planetnya. Termasuk pergerakan putaran bumi dan planet-planet lainnya. Ayat-ayat Al Quran yang terkait dengan alam raya di-display di sana-sini. Di ruang ini kita sungguh mengagumi erciptanya alam raya. Dan lebih-lebih mengagumi penciptanya.
Jam itu benar-benar raksasa. Empat buah jumlahnya untuk empat penjuru angin. Beratnya 23 ton!
Warna dasar jam itu hijau. Warna itu dibentuk oleh lampu-lampu LED dengan background material warna putih. Untuk menghijaukan warna empat buah jam itu diperlukan dua juta lampu LED.
Jarum jamnya dibuat warna putih yang juga terbentuk oleh lampu LED bercahaya putih, dengan dasar material hitam.
Pilihan warna dasar hijau dan jarum warna putih ini berdasar hasil riset yang mendalam. “Warna hijau dan putih adalah warna yang bisa terlihat dari jarak paling jauh. Sejauh apa pun, Anda masih bisa melihat jam ini dengan jelas. Kalau warna lain tidak akan sejelas hijau dan putih,” ujar seorang Jerman, muslim, arsitek gedung sekaligus pendesain jam ini. Saya beruntung bahwa dia diminta mendampingi saya untuk menjelaskan semua itu.
Keperluan listrik untuk jam ini saja, ampun-ampun, 2 MW! Maklum mesin jam itu (bisa kami lihat dari arah belakang jam) seperti gigi-gigi mesin pabrik gula!
Di ketinggian 400 meter itu (sekitar empat kali tinggi Monas) juga tersedia balkon. Kita bisa ke luar gedung untuk melihat Ka’bah dari atas. Juga untuk melihat seluruh kota Mekah. Allahu Akbar!
Tidak hanya Fairmont yang ada di gedung ini. Juga beberapa hotel lainnya. Superblok ini (disebut Clock Tower) memang sangat besar. Lantai bawahnya dibuat mal yang di waktu shalat diubah jadi tempat shalat berjamaah. Lantai mal ini memang connect dengan halaman Masjidil Haram. Beberapa lantai bagian depan superblok ini juga untuk masjid yang makmum ke imam Masjidil Haram.
Di salah satu ruang di Clock Tower ini pula saya menerima Presiden Islamic Development Bank (IDB), Dr Ahmed Muhammed Ali sehari sebelumnya. Terutama karena IDB memiliki fasilitas kredit ekspor. Fasilitas inilah yang harus dimanfaatkan oleh PT Dirgantara Indonesia (Persero) untuk menjual pesawat ke negara-negara anggota IDB. Saya minta manajemen PT DI serius menindaklanjutinya.
Bahkan kalau perlu BUMN lain tidak usah memanfaatkan kredit IDB. Seluruh dana IDB untuk Indonesia yang sebesar Rp 30 triliun bisa dialokasikan sepenuhnya untuk penjualan pesawat PT DI. Sedangkan untuk dermaga pelabuhan Belawan Medan, misalnya, Pelindo I sebenarnya mampu membiayainya sendiri. Bahkan bisa lebih cepat terwujud.
Kalau BUMN lain meminjam dana itu, BUMN itu yang harus mengembalikannya. Tapi kalau PT DI yang dapat fasilitas itu, negara pembeli pesawat yang harus melunasinya. Dr Ahmed terlihat antusias untuk bisa membiayai ekspor pesawat PT DI. “Saya pernah berkunjung ke PT DI di Bandung. Saya sangat terkesan,” katanya. “Waktu itu saya diundang Dr Habibie,” tambahnya.
Indonesia adalah anggota penting IDB. Juga salah satu pendirinya. Di ulang tahun IDB ke-40 tahun depan, ada baiknya ditandai dengan terealisasinya kredit ekspor untuk PT DI itu.