27 C
Medan
Wednesday, July 3, 2024

Ekspor Sawit dan Karet Turun

MEDAN- Diprediksi tahun 2012 ini ekspor karet dan sawit akan menurun bila dibandingkan tahun sebelumnya. Dan, penurunan ini akan berdampak pada pertumbuhan perekonomian. Mengingat, sawit dan karet merupakan komoditas utama ekspor di Sumatera Utara. Dan pasti, dengan penurunan ini, akan menurunkan devisa non migas yang tahun 2012 sudah turun sekitar 12,66 persen.

Keterpurukan ekspor kedua komoditas itu akan berdampak multi player. Mulai dari moda transportasi, daya beli konsumen, petani yang tidak bisa panen, dan perawatan untuk perkebunan itu sendiri.
“Sawit dan karet kan merupakan Sumber Daya Alam dari Sumut yang sangat besar menyumbang devisa. Jadi, kalau ini terus menurun, jelas akan sangat berdampak pada ekonomi masyarakat,” ujar Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Sumut, Sofyan Subang.

Dijelaskannya, selain permintaan yang menurun, harga TBS (Tandan Buah Segar) juga turun. Padahal, dari TBS yang menyokong perekonomian petani. “Kalau harga TBS turun, yang paling terasa itu petani. Karena mereka tidak memiliki Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sehingga tidak mampu mengelola sendiri. Selain itu, petani juga butuh uang untuk perawatan. Bahkan, saat harga TBS turun atau sangat rendah, cenderung petani tidak mau panen. Malah, membiarkan buah busuk. Karena rugi,” ujarnya.

Karena itu, Sofyan mengharapkan agar dilakukan efisiensi peraturan terkait dengan ekspor dua komoditas ini. Misalnya, dengan penurunan biaya bea keluar (BK) atau merevisi peraturan yang memberatkan. “Saat ini, kalau saya tidak salah, BK sudah mencapai 9 persen. Nah, BK itukan yang nanggung petani, jadi harganya semakin turun,” tambahnya. Selain itu, kerjasama antara negara pembeli dan Indonesia ditingkatkan, serta pemerintah membeli produk petani.
“Kerjasama antara Thailand dan Malaysia dalam ekspor karet menurut saya bagus, karena terbukti dapat mendokrang harga,” lanjutnya.

Sofyan menambahkan, saat ini perekonomian di Eropa dan Amerika sudah berdampak ke negara-negara lain di Asia, seperti India dan Cina. Dan kedua negara merupakan negara tujuan utama untuk ekspor komoditas tersebut. “Ekspor terus menurun. Dan ini tidak baik untuk perekonomian. Karena komoditas ini penyanggah ekonomi sumut,” ujarnya.

Dijelaskannya, penurunan ini sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2011 yang lalu. Hanya saja, tahun 2012 ini yang paling berat karena resesi yang diberbagai negara Eropa dan Amerika tidak kunjung reda. Bahkan saat ini, berbagai negara di Asia juga mulai merasakan dampaknya. “Saat ini, permintaan sawit dan karet dari India dan Cina terus menurun.” tambahnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo), Anizar membenarkan bahwa harga TBS terus menurun. Bahkan, saat ini sudah berada di posisi Rp800 per kg. “Dengan harga tersebut, jelas tidak bisa mencukupi kebutuhan petani. Bahkan, harga tersebut tidak mampu membuat petani mengurus kebun sawitnya,” ungkapnya.

Untuk harga TBS yang standar untuk petani, menurut Anizar sekitar Rp1000 atau Rp1100 per kilo. Dan untuk tahun ini, harga tersebut belum dapat tercapai. “Tercapai, tapi pada awal tahun. Kalau sekarang mulai dari bulan April kemarin, harga stabil tidak tercapai,” tambahnya.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, Suharno, menyebutkan,  nilai ekspor Sumut hingga September tinggal 7, 826 miliar dolar AS atau turun 12,66 persen dari periode sama tahun lalu yang sudah  8,960 miliar dolar AS. Nilai ekspor yang menurun itu disebabkan karena harga jual berbagai komoditas khususnya sawit dan karet yang menurun. “Penurunan devisa memang karena harga jual, karena nyatanya volume ekspor masih tetap naik dari  5,11 juta ton tahun lalu menjadi   6,24 juta ton tahun ini,”katanya.

Dia menyebutkan, dari total nilai devisa itu, sebesar 41,79 persen atau sebanyak 3,270 miliar dolar AS merupakan kontribusi dari ekspor lemak dan minyak hewan/nabati dan 23,51 persen dari karet dan barang dari karet atau 2,763 miliar dolar AS. (ram)

MEDAN- Diprediksi tahun 2012 ini ekspor karet dan sawit akan menurun bila dibandingkan tahun sebelumnya. Dan, penurunan ini akan berdampak pada pertumbuhan perekonomian. Mengingat, sawit dan karet merupakan komoditas utama ekspor di Sumatera Utara. Dan pasti, dengan penurunan ini, akan menurunkan devisa non migas yang tahun 2012 sudah turun sekitar 12,66 persen.

Keterpurukan ekspor kedua komoditas itu akan berdampak multi player. Mulai dari moda transportasi, daya beli konsumen, petani yang tidak bisa panen, dan perawatan untuk perkebunan itu sendiri.
“Sawit dan karet kan merupakan Sumber Daya Alam dari Sumut yang sangat besar menyumbang devisa. Jadi, kalau ini terus menurun, jelas akan sangat berdampak pada ekonomi masyarakat,” ujar Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia (GPEI) Sumut, Sofyan Subang.

Dijelaskannya, selain permintaan yang menurun, harga TBS (Tandan Buah Segar) juga turun. Padahal, dari TBS yang menyokong perekonomian petani. “Kalau harga TBS turun, yang paling terasa itu petani. Karena mereka tidak memiliki Pabrik Kelapa Sawit (PKS) sehingga tidak mampu mengelola sendiri. Selain itu, petani juga butuh uang untuk perawatan. Bahkan, saat harga TBS turun atau sangat rendah, cenderung petani tidak mau panen. Malah, membiarkan buah busuk. Karena rugi,” ujarnya.

Karena itu, Sofyan mengharapkan agar dilakukan efisiensi peraturan terkait dengan ekspor dua komoditas ini. Misalnya, dengan penurunan biaya bea keluar (BK) atau merevisi peraturan yang memberatkan. “Saat ini, kalau saya tidak salah, BK sudah mencapai 9 persen. Nah, BK itukan yang nanggung petani, jadi harganya semakin turun,” tambahnya. Selain itu, kerjasama antara negara pembeli dan Indonesia ditingkatkan, serta pemerintah membeli produk petani.
“Kerjasama antara Thailand dan Malaysia dalam ekspor karet menurut saya bagus, karena terbukti dapat mendokrang harga,” lanjutnya.

Sofyan menambahkan, saat ini perekonomian di Eropa dan Amerika sudah berdampak ke negara-negara lain di Asia, seperti India dan Cina. Dan kedua negara merupakan negara tujuan utama untuk ekspor komoditas tersebut. “Ekspor terus menurun. Dan ini tidak baik untuk perekonomian. Karena komoditas ini penyanggah ekonomi sumut,” ujarnya.

Dijelaskannya, penurunan ini sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2011 yang lalu. Hanya saja, tahun 2012 ini yang paling berat karena resesi yang diberbagai negara Eropa dan Amerika tidak kunjung reda. Bahkan saat ini, berbagai negara di Asia juga mulai merasakan dampaknya. “Saat ini, permintaan sawit dan karet dari India dan Cina terus menurun.” tambahnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit (Apkasindo), Anizar membenarkan bahwa harga TBS terus menurun. Bahkan, saat ini sudah berada di posisi Rp800 per kg. “Dengan harga tersebut, jelas tidak bisa mencukupi kebutuhan petani. Bahkan, harga tersebut tidak mampu membuat petani mengurus kebun sawitnya,” ungkapnya.

Untuk harga TBS yang standar untuk petani, menurut Anizar sekitar Rp1000 atau Rp1100 per kilo. Dan untuk tahun ini, harga tersebut belum dapat tercapai. “Tercapai, tapi pada awal tahun. Kalau sekarang mulai dari bulan April kemarin, harga stabil tidak tercapai,” tambahnya.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, Suharno, menyebutkan,  nilai ekspor Sumut hingga September tinggal 7, 826 miliar dolar AS atau turun 12,66 persen dari periode sama tahun lalu yang sudah  8,960 miliar dolar AS. Nilai ekspor yang menurun itu disebabkan karena harga jual berbagai komoditas khususnya sawit dan karet yang menurun. “Penurunan devisa memang karena harga jual, karena nyatanya volume ekspor masih tetap naik dari  5,11 juta ton tahun lalu menjadi   6,24 juta ton tahun ini,”katanya.

Dia menyebutkan, dari total nilai devisa itu, sebesar 41,79 persen atau sebanyak 3,270 miliar dolar AS merupakan kontribusi dari ekspor lemak dan minyak hewan/nabati dan 23,51 persen dari karet dan barang dari karet atau 2,763 miliar dolar AS. (ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/