30 C
Medan
Monday, July 1, 2024

Kredit Macet Fintech Meningkat

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Menjelang akhir tahun, permintaan kredit untuk kebutuhan konsumtif melonjak. Kredit itu biasanya diajukan untuk membiayai pembelian ponsel, barang elektronik, dan pakaian baru, hingga membeli tiket untuk traveling akhir tahun. Tidak hanya ke bank dan perusahaan gadai, kredit untuk kebutuhan konsumtif itu juga banyak diajukan ke perusahaan financial technology (fintech) peer-to-peer lending.

Namun, kenaikan pinjaman biasanya juga diikuti dengan non-performing loan (NPL) fintech yang meningkat. Sebab, tidak semua bisa mengembalikan dana yang dipinjamnya tepat waktu. Kenaikan NPL tersebut bahkan bisa lebih dari 5 persen. Untuk mengatasinya, perusahaan fintech melakukan kolektabilitas, tetapi tetap tertib.

Pihak fintech juga dapat memberikan kelonggaran tenggat waktu kepada peminjam jika diperlukan. ”Setelah itu, baru NPL turun dan kembali normal,” ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko.

Dia menyatakan, peminjam tidak perlu takut jika mendapat tagihan dari pihak fintech. Dia menjamin fintech akan menagih sesuai peraturan yang berlaku. ”Kalau dapat telepon dari fintech, angkat saja, tidak apa-apa. Terangkan kalau butuh pelonggaran tenggat waktu,” terangnya.

Direktur Operasional PT Indonesia Fintopia Technology (Easycash) Fitri Lim menyatakan, penagihan yang melibatkan orang terdekat peminjam dilakukan berdasar aturan yang berlaku. Yakni, emergency contacts yang memang sudah diberikan peminjam pada saat mendaftarkan diri. ”Jadi, enggak ada tuh ceritanya fintech meneror customer. Penagihan itu ada etika dan batasannya juga,” ucapnya.

Fitri pun mengimbau customer agar jeli meminjam dana hanya kepada fintech yang terdaftar maupun yang mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab, fintech yang sudah mematuhi aturan OJK semestinya tetap berusaha membuat peminjam nyaman serta tetap menjaga privasi peminjam. Meskipun terjadi keterlambatan pengembalian pinjaman. ”Jadi, kalau ada fintech yang nakal atau yang mengganggu, biasanya itu belum terdaftar atau belum berizin. Kalau yang melanggar, nanti ditindak OJK,” sambungnya.

Penyaluran pinjaman fintech P2P lending di Jatim per September lalu mencapai Rp 6,63 triliun. Jumlah peminjam terus meningkat hingga mencapai 5,81 juta akun. Sunu menambahkan, kenaikan NPL yang tinggi biasanya hanya terjadi pada peminjaman untuk kebutuhan konsumtif. Sementara itu, pinjaman untuk kebutuhan produktif lebih aman. Bahkan, sering NPL-nya hanya 1 hingga 0 persen.

Baiknya, NPL di sektor produktif tersebut mencerminkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang telah mampu mengelola keuangan dengan baik. Mereka berhasil mengendalikan keuangan usahanya sehingga tidak menimbulkan banyak kredit yang macet. (jpc/ram)

JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Menjelang akhir tahun, permintaan kredit untuk kebutuhan konsumtif melonjak. Kredit itu biasanya diajukan untuk membiayai pembelian ponsel, barang elektronik, dan pakaian baru, hingga membeli tiket untuk traveling akhir tahun. Tidak hanya ke bank dan perusahaan gadai, kredit untuk kebutuhan konsumtif itu juga banyak diajukan ke perusahaan financial technology (fintech) peer-to-peer lending.

Namun, kenaikan pinjaman biasanya juga diikuti dengan non-performing loan (NPL) fintech yang meningkat. Sebab, tidak semua bisa mengembalikan dana yang dipinjamnya tepat waktu. Kenaikan NPL tersebut bahkan bisa lebih dari 5 persen. Untuk mengatasinya, perusahaan fintech melakukan kolektabilitas, tetapi tetap tertib.

Pihak fintech juga dapat memberikan kelonggaran tenggat waktu kepada peminjam jika diperlukan. ”Setelah itu, baru NPL turun dan kembali normal,” ujar Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko.

Dia menyatakan, peminjam tidak perlu takut jika mendapat tagihan dari pihak fintech. Dia menjamin fintech akan menagih sesuai peraturan yang berlaku. ”Kalau dapat telepon dari fintech, angkat saja, tidak apa-apa. Terangkan kalau butuh pelonggaran tenggat waktu,” terangnya.

Direktur Operasional PT Indonesia Fintopia Technology (Easycash) Fitri Lim menyatakan, penagihan yang melibatkan orang terdekat peminjam dilakukan berdasar aturan yang berlaku. Yakni, emergency contacts yang memang sudah diberikan peminjam pada saat mendaftarkan diri. ”Jadi, enggak ada tuh ceritanya fintech meneror customer. Penagihan itu ada etika dan batasannya juga,” ucapnya.

Fitri pun mengimbau customer agar jeli meminjam dana hanya kepada fintech yang terdaftar maupun yang mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab, fintech yang sudah mematuhi aturan OJK semestinya tetap berusaha membuat peminjam nyaman serta tetap menjaga privasi peminjam. Meskipun terjadi keterlambatan pengembalian pinjaman. ”Jadi, kalau ada fintech yang nakal atau yang mengganggu, biasanya itu belum terdaftar atau belum berizin. Kalau yang melanggar, nanti ditindak OJK,” sambungnya.

Penyaluran pinjaman fintech P2P lending di Jatim per September lalu mencapai Rp 6,63 triliun. Jumlah peminjam terus meningkat hingga mencapai 5,81 juta akun. Sunu menambahkan, kenaikan NPL yang tinggi biasanya hanya terjadi pada peminjaman untuk kebutuhan konsumtif. Sementara itu, pinjaman untuk kebutuhan produktif lebih aman. Bahkan, sering NPL-nya hanya 1 hingga 0 persen.

Baiknya, NPL di sektor produktif tersebut mencerminkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang telah mampu mengelola keuangan dengan baik. Mereka berhasil mengendalikan keuangan usahanya sehingga tidak menimbulkan banyak kredit yang macet. (jpc/ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/