MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level 3-4 yang diperpanjang sampai 9 Agustus 2021 ditolak oleh pengusaha ritel. Ada berbagai alas an yang disebut, seperti peritel akan bangkrut.
Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Belanja (HIPPINDO) meminta pemerintah mengkaji ulang dan merevisi kebijakan tersebut sehingga bisa diakhiri sebelum 9 Agustus.
“Kalau bisa usul, kami mengusulkan agar direvisi lah keputusan ini diperpendek. Jadi kan sekarang dari tanggal 3 mungkin nggak perlu sampai tanggal 9, mungkin sampai tanggal 6 atau gimana sambil melihat penurunan (kasus Covid-19) ini,” kata Ketua Dewan Penasihat Hippindo Handaka Santosa, Selasa (3/8).
Dia menjelaskan bahwa pelaku ritel di dalam mal atau pusat perbelanjaan sudah menerapkan protokol kesehatan yang ketat selama ini. Dia juga menerangkan bahwa 90% lebih pekerja ritel sudah divaksinasi.
“Kalau sudah menerapkan protokol kesehatan secara ketat ya mestinya kan sudah bisa diterima dong. Kan yang diminta ketat,” sebutnya.
ika PPKM berkepanjangan, di mana bisnis ritel tidak dapat beroperasi, Handaka khawatir dengan nasib pekerja ritel. Saat ini saja para pekerja sudah dirumahkan.
“Kalau lebih lama lagi ya tentunya akan lebih buruk situasinya. Makanya saya usulkan pemerintah segera mengkoreksi keputusannya dan memperpendek apa yang diterapkan, dengan pemikiran tadi bahwa sudah di atas 90% (pekerja ritel divaksinasi), terus apa lagi yang dikhawatirkan? malah yang belum melakukan dengan ketat protokol kesehatan malah sudah dibuka,” tambahnya.
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan diperpanjangnya PPKM ini bisa mengancam eksistensi para penyewa toko di mal. Bahkan mereka bisa tutup permanen alias bangkrut.
“Penutupan usaha yang terus berkepanjangan akan mengakibatkan kembali banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) dan memulai terjadinya penutupan usaha para penyewa secara permanen,” paparnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja meminta pemerintah untuk memberikan insentif kepada pengusaha di sektor usaha ritel, khususnya mal dan pusat perbelanjaan. Insentif tersebut dapat diberikan dalam bentuk pembebasan PPh final, biaya layanan (service charge), dan penggantian biaya listrik.
“Pusat Perbelanjaan memerlukan penghapusan PPh final atas biaya sewa, service charge dan penggantian biaya listrik,” kata Alphonzus.
Dia mengatakan, usulan tersebut telah sejak lama disampaikan kepada pemerintah. Namun, hingga kini tak kunjung mendapatkan perhatian. “Sampai dengan saat ini masih belum direspons oleh pemerintah,” ujarnya.
PPh final yang dimaksud yaitu pajak yang dikenakan dengan tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diperoleh pengusaha atau pengelola selama setahun berjalan.
Pihaknya berharap penghapusan PPh final tersebut dapat diberikan paling tidak selama setahun. Dia mengungkapkan, pengusaha mal setiap tahunnya membayar PPh Rp 5,4 triliun per tahun.
Hal itu tentu sulit untuk dipenuhi mengingat kondisi pusat perbelanjaan yang belum berangsur pulih. “Karena Pusat Perbelanjaan sudah mengalami keterpurukan kurang lebih selama 18 bulan ini ditambah dengan penutupan operasional selama pemberlakuan PPKM Darurat dan PPKM Level sampai dengan saat ini,” imbuhnya.
Menurutnya,dampak PPKM Darurat dan PPKM berdasarkan level masih akan terus dirasakan meski pemberlakuannya nanti akan berakhir. (dtc/ram)