28 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Pengusaha Sumut Ogah Bayar Biaya Tambahan

Permentan No73/2012 Dikeluarkan, Biaya Ekspor Bengkak Rp200 Ribu per Kontainer

MEDAN- Peraturan Menteri Pertanian No 73 tahun 2012 Persyaratan teknis penetapan instalasi karantina tumbuhan milik perorangan atau badan hukum sudah diterbitkan 14 Desember lalu. Namun hingga kemarin, peraturan ini belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Padahal, secara nasional peraturan ini harus dilakukan pada awal Februari.

SANDAR: Kapal Tanto Sejati bermuatan kontainer saat akan sandar  dermaga Pelabuhan Belawan, beberapa waktu lalu.  Terhitung Februari 2013, pemerintah memberlakukan Permentan No73/2012 tentang karantina.
SANDAR: Kapal Tanto Sejati bermuatan kontainer saat akan sandar di dermaga Pelabuhan Belawan, beberapa waktu lalu. Terhitung Februari 2013, pemerintah memberlakukan Permentan No73/2012 tentang karantina.

Peraturan tersebut menyatakan bahwa karantina produk ekspor harus dilakukan di Instalansi Karantina Tumbuhan (IKT) sebelum dikirim ke buyer (negara tujuan ekspor). IKT itu dapat dibangun sendiri oleh pengusaha, badan hukum, maupun perusahaan yang telah ditunjuk oleh pemerintah.

Eksportir dan Importir di Sumatera Utara tak rela melaksanakan amanah Permentan tersebut karena dianggap akan menambah biaya pengeluaran produksi.

“Ini menambah cost kita. Hingga saat ini, kita masih menunggu bagaimana ketentuan Permentan ini,” ujar Ketua Gabungan Importir Seluruh Indonesia Sumut dan Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia Sumut (GINSI-GPEI), Khairul Mahali dalam acara Sosialisasi Perman no 73/2012 di Hotel Grand Antares kemarin (4/2).

Dijelaskaskannya, saat ini para pengusaha sedang melakukan perundingan untuk menentukan apakah akan menerima atau menolak Permentan tersebut. “Jadi, 15 Februari lah baru ada keputusan dari kita, apakah menerima atau tidak,” lanjutnya.
Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Sumut, Saidul Alam juga menyatakan keberatan akan peraturan ini.

Menurutnya, banyak keganjilan yang terjadi. Misalnya, dalam IKT, saat ini bisa dilakukan oleh perseorangan maupun badan hukum. Padahal, sebelum adanya ketentuan ini, masa karantina dilakukan oleh Badan Karantina yang datang ke gudang-gudang eksportir. “Dengan biaya resmi minimal Rp55 ribu per kontainer. Nah, saat ini harus melalui IKT, baik milik pribadi maupun melalui perusahaan lain. Jelas ini menambah biaya kita,” lanjutnya.

Pria yang akrab disapa Alam ini juga menyatakan, untuk membangun IKT saat ini bukanlah hal yang mudah. Banyak investasi yang harus ditanamkan. Seperti fasilitas pembersih, incinerator, fasilitas pemadam kebakaran, lapangan, gudang, dan berbagai fasilitas lainnya. “Kalau ditanya nominalnya, saya jelas tidak tahu. Karena yang harus dilengkapi untuk IKT ini adalah harus bangunan sendiri, dan akses jalan yang memadai dan lokasi yang strategis,” ungkapnya.

Dengan naiknya biaya produksi, jelas biaya jual akan bertambah. Sementara itu, ekspor Sumut saat ini sedang defisit, jadi menaikkan harga ke buyer bukanlah hal yang baik dengan kondisi ekonomi global yang belum menentu ini. “Intinya, saat ini ekspor kita tidak menunjukkan perbaikan. Nah, kalau kita naikkan harga, jangan-jangan kita nanti yang ditinggal,” lanjutnya.
Bila tidak membangun instalasi sendiri, terbuka kemungkinan memanfaatkan instalasi milik pihak ketiga.

Perusahaan yang ditunjuk untuk melakukan IKT ini di Sumatera Utara adalah PT Samudera Lautan Luas (SLL) untuk eksportir dan PT Catur Batavia Transindo untuk importir. Manager Operasional PT Samudera Lautan Luas, Hendri Gay menyatakan untuk IKT berkisar Rp202 ribu hingga Rp250 ribu perkontainer, dan harga tersebut sudah masuk biaya administrasi dan pajak. Itu berarti ada selisih tambahan biaya Rp147 ribu sampai Rp195 ribu per kontainer.

“Tetapi itu bukan harga ketetapan, karena masih dalam tahap sosialisasi. Jadi, ada kemungkinan perubahan,” ujarnya.
Hendri menambahkan, PT SLL ini telah aktif sejak tanggal 14 januari kemarin. Walaupun begitu, dirinya yakin mampu bersaing dengan para pengusaha yang berniat untuk membangun IKT nantinya. “Mekanisme pasar akan berkerja. Kalau memang kita mampu memberikan pelayanan dan fasilitas yang bagus, kita pasti akan dipilih,” lanjutnya.

Dijelaskannya, untuk membangun IKT ini dibutuhkan dana yang tidak sedikit, walaupun bisa juga dikatakan relatif, tergantung sarana yang dimiliki dan letak dari IKT itu sendiri. “Perawatannya jangan lupa, karena setiap 6 bulan sekali, Balai Karantina akan memeriksa IKT itu sendiri,” tutupnya.

Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Belawan, Azwin Amir, dalam kesempatan yang sama menyatakan bahwa peraturan ini dilakukan untuk menghindari penularan kuman dari produk ekspor. Selain itu, juga untuk meningkatkan kualitas produk dalam negeri. “Dengan ITK, produk yang keluar akan lebih terjamin mutunya. Sehingga kita tidak perlu ragu untuk menggirimkannya keluar negeri,” lanjutnya.

Dirinya menyadari bahwa eksportir maupun importir banyak yang tidak setuju dengan peraturan ini. Tetapi, ini sudah menjadi peraturan pusat, yang mau tidak mau harus dilaksanakan. “Jadi, karena ini masih sosialisasi dengan para pengusaha, kita masih menghormati keputusam mereka. Tapi nantinya, kita lihat perkembangan saja,” tambahnya.
Pelaksanaan peraturan inipun belum bisa memastikan waktu yang tepat. Diharapkannya, pada 15 Februari mendatang sudah ada jawaban. (ram)

Permentan No73/2012 Dikeluarkan, Biaya Ekspor Bengkak Rp200 Ribu per Kontainer

MEDAN- Peraturan Menteri Pertanian No 73 tahun 2012 Persyaratan teknis penetapan instalasi karantina tumbuhan milik perorangan atau badan hukum sudah diterbitkan 14 Desember lalu. Namun hingga kemarin, peraturan ini belum bisa dilaksanakan sepenuhnya. Padahal, secara nasional peraturan ini harus dilakukan pada awal Februari.

SANDAR: Kapal Tanto Sejati bermuatan kontainer saat akan sandar  dermaga Pelabuhan Belawan, beberapa waktu lalu.  Terhitung Februari 2013, pemerintah memberlakukan Permentan No73/2012 tentang karantina.
SANDAR: Kapal Tanto Sejati bermuatan kontainer saat akan sandar di dermaga Pelabuhan Belawan, beberapa waktu lalu. Terhitung Februari 2013, pemerintah memberlakukan Permentan No73/2012 tentang karantina.

Peraturan tersebut menyatakan bahwa karantina produk ekspor harus dilakukan di Instalansi Karantina Tumbuhan (IKT) sebelum dikirim ke buyer (negara tujuan ekspor). IKT itu dapat dibangun sendiri oleh pengusaha, badan hukum, maupun perusahaan yang telah ditunjuk oleh pemerintah.

Eksportir dan Importir di Sumatera Utara tak rela melaksanakan amanah Permentan tersebut karena dianggap akan menambah biaya pengeluaran produksi.

“Ini menambah cost kita. Hingga saat ini, kita masih menunggu bagaimana ketentuan Permentan ini,” ujar Ketua Gabungan Importir Seluruh Indonesia Sumut dan Gabungan Pengusaha Eksportir Indonesia Sumut (GINSI-GPEI), Khairul Mahali dalam acara Sosialisasi Perman no 73/2012 di Hotel Grand Antares kemarin (4/2).

Dijelaskaskannya, saat ini para pengusaha sedang melakukan perundingan untuk menentukan apakah akan menerima atau menolak Permentan tersebut. “Jadi, 15 Februari lah baru ada keputusan dari kita, apakah menerima atau tidak,” lanjutnya.
Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Sumut, Saidul Alam juga menyatakan keberatan akan peraturan ini.

Menurutnya, banyak keganjilan yang terjadi. Misalnya, dalam IKT, saat ini bisa dilakukan oleh perseorangan maupun badan hukum. Padahal, sebelum adanya ketentuan ini, masa karantina dilakukan oleh Badan Karantina yang datang ke gudang-gudang eksportir. “Dengan biaya resmi minimal Rp55 ribu per kontainer. Nah, saat ini harus melalui IKT, baik milik pribadi maupun melalui perusahaan lain. Jelas ini menambah biaya kita,” lanjutnya.

Pria yang akrab disapa Alam ini juga menyatakan, untuk membangun IKT saat ini bukanlah hal yang mudah. Banyak investasi yang harus ditanamkan. Seperti fasilitas pembersih, incinerator, fasilitas pemadam kebakaran, lapangan, gudang, dan berbagai fasilitas lainnya. “Kalau ditanya nominalnya, saya jelas tidak tahu. Karena yang harus dilengkapi untuk IKT ini adalah harus bangunan sendiri, dan akses jalan yang memadai dan lokasi yang strategis,” ungkapnya.

Dengan naiknya biaya produksi, jelas biaya jual akan bertambah. Sementara itu, ekspor Sumut saat ini sedang defisit, jadi menaikkan harga ke buyer bukanlah hal yang baik dengan kondisi ekonomi global yang belum menentu ini. “Intinya, saat ini ekspor kita tidak menunjukkan perbaikan. Nah, kalau kita naikkan harga, jangan-jangan kita nanti yang ditinggal,” lanjutnya.
Bila tidak membangun instalasi sendiri, terbuka kemungkinan memanfaatkan instalasi milik pihak ketiga.

Perusahaan yang ditunjuk untuk melakukan IKT ini di Sumatera Utara adalah PT Samudera Lautan Luas (SLL) untuk eksportir dan PT Catur Batavia Transindo untuk importir. Manager Operasional PT Samudera Lautan Luas, Hendri Gay menyatakan untuk IKT berkisar Rp202 ribu hingga Rp250 ribu perkontainer, dan harga tersebut sudah masuk biaya administrasi dan pajak. Itu berarti ada selisih tambahan biaya Rp147 ribu sampai Rp195 ribu per kontainer.

“Tetapi itu bukan harga ketetapan, karena masih dalam tahap sosialisasi. Jadi, ada kemungkinan perubahan,” ujarnya.
Hendri menambahkan, PT SLL ini telah aktif sejak tanggal 14 januari kemarin. Walaupun begitu, dirinya yakin mampu bersaing dengan para pengusaha yang berniat untuk membangun IKT nantinya. “Mekanisme pasar akan berkerja. Kalau memang kita mampu memberikan pelayanan dan fasilitas yang bagus, kita pasti akan dipilih,” lanjutnya.

Dijelaskannya, untuk membangun IKT ini dibutuhkan dana yang tidak sedikit, walaupun bisa juga dikatakan relatif, tergantung sarana yang dimiliki dan letak dari IKT itu sendiri. “Perawatannya jangan lupa, karena setiap 6 bulan sekali, Balai Karantina akan memeriksa IKT itu sendiri,” tutupnya.

Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Belawan, Azwin Amir, dalam kesempatan yang sama menyatakan bahwa peraturan ini dilakukan untuk menghindari penularan kuman dari produk ekspor. Selain itu, juga untuk meningkatkan kualitas produk dalam negeri. “Dengan ITK, produk yang keluar akan lebih terjamin mutunya. Sehingga kita tidak perlu ragu untuk menggirimkannya keluar negeri,” lanjutnya.

Dirinya menyadari bahwa eksportir maupun importir banyak yang tidak setuju dengan peraturan ini. Tetapi, ini sudah menjadi peraturan pusat, yang mau tidak mau harus dilaksanakan. “Jadi, karena ini masih sosialisasi dengan para pengusaha, kita masih menghormati keputusam mereka. Tapi nantinya, kita lihat perkembangan saja,” tambahnya.
Pelaksanaan peraturan inipun belum bisa memastikan waktu yang tepat. Diharapkannya, pada 15 Februari mendatang sudah ada jawaban. (ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/