25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Kenaikan Elpiji, Appetizer 2014

SUMUTPOS.CO – LONJAKAN harga gas elpiji 12 kilogram (kg) dari semula Rp70.200 per tabung menjadi Rp117.708 per tabung per 1 Januari 2014 menghentak publik. Kenaikan gas elpiji sebesar 68 persen ini bagai ‘hidangan pembuka (appetizer) berat di awal tahun.

Paling membingungkan justru nyaris semua penyelenggara negara ‘bingung’ atas lonjakan drastis tersebut. Presiden SBY selaku pimpinan negara merasa belum dikoordinasikan, setali tiga uang dengan Menko Ekuin Hatta Rajasa dan Menteri ESDM Jero Wacik yang mengaku tak diberitahu. Padahal Pertamina menyatakan kenaikan elpiji di awal tahun ini sudah disampaikan di depan rapat Komisi VII DPR.

Tak tahan dengan tekanan publik yang semakin kuat, terkesan mendadak, pada Selasa (7/1) pukul 00.00 WIB atau dini hari tadi, Pertamina memutuskan kenaikan harga elpiji menjadi Rp1.000 per kg atau Rp12.000 per tabung, dari harga kenaikan awal Rp3.959 per kg.

Apa pun alasan Pertamina, aksi ‘jilat-ludah’ ini jelas keputusan yang membingungkan. Siapa sebetulnya bertanggungjawab atas kenaikan ini? Kok bikin keputusan nggak kompak seperti ini? Kok mengurus negara (baca: rakyat) main-main begini?

Jauh-jauh hari Pertamina sudah menjelaskan kenapa harga gas elpiji 12 kg harus naik pada 2014. Dengan menaikkan harga rata-rata sebesar Rp3.959 per kg saja, Pertamina mengaku, masih ‘jual-rugi’ kepada konsumen elpiji non-subsidi kemasan 12 kg. Nilai rugi itu mencapai Rp2.100 per kg. Jika ditotal setahun Pertamina ‘mengaku’ masih rugi Rp5,7 triliun.

Alasan lain, harga pokok perolehan (HPP) elpiji rata-rata meningkat menjadi 873 dolar AS plus nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS. Kerugian ini timbul akibat harga jual elpiji non-subsidi 12 kg yang masih jauh di bawah HPP.

Pertamina beralasan, harga jual elpiji terakhir sebelum naik 68 persen adalah harga yang ditetapkan pada Oktober 2009, yaitu Rp5.850 per kg, sedangkan HPP kini menyentuh Rp10.785 per kg. Dengan kondisi ini disebutkan Pertamina selama ini ‘jual-rugi’, dan   menanggung selisihnya sehingga akumulasi nilai kerugian mencapai Rp22 triliun dalam enam tahun terakhir. Jujur saja, hitung-hitungan nilai keekonomian itu cuma Pertamina yang tahu detailnya.

Sebagai BUMN yang mengeksplorasi dan menjual sumber daya mineral di perut bumi Indonesia, rincian akuntansi perusahaan plat merah ini cuma diketahui oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Itu pun kalau tak ada pembukuan ganda (double accounting).

Jika dilihat lebih jauh, Indonesia merupakan negeri yang amat kaya sumber daya alam gas. Cadangan gas bumi kita mencapai 152,89 triliun standard cubic feet (TSCF). Dengan produksi gas per tahun sebesar 471.507 million standard cubic feet (MSFC) atau Juta Standar Kaki Kubik per hari, maka gas di perut bumi kita bisa cukup dikonsumsi lebih dari 40 tahun ke depan. Kemungkinan cadangan gas akan terus bertambah dengan ditemukannya cadangan gas yang lain.

Sejatinya, seluruh rakyat Indonesia bisa menikmati gas elpji dengan harga murah. Bukan hanya konsumen elpiji 3 kg subsidi saja, tapi konsumen non-subsidi seperti 12 kg, termasuk industri juga pantas mendapatkan harga murah. Bahkan, Singapura rela membeli gas dengan harga mahal dari Indonesia untuk kemudian dijual murah ke industrinya.

Lalu kenapa sebagai pemilik gas, rakyat Indonesia justru harus membayar mahal elpiji?

Salah satu jawaban kunci adalah salah kelola sumber daya alam gas. Bukan rahasia lagi bila sebagian besar gas Indonesia justru diekspor, demi memenuhi kebutuhan industri negara lain. Sebaliknya, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Pertamina justru melakukan impor.

Berdasarkan catatan Pertamina, 50 persen kebutuhan gas elpiji nasional masih diimpor dari negara lain. Terbesar dari Arab Saudi, khususnya dari perusahaan Saudi Aramco. Sehingga jika harga elpiji internasional naik, sesuai patokan contract price (CP) Aramco, maka harga elpiji dalam negeri juga naik.

Dampak kenaikan harga elpiji terhadap rakyat tentu tak sedikit. Kendati Pertamina mengklaim sasaran elpiji 12 kg adalah kalangan menengah ke atas, toh realitanya banyak yang tiba-tiba hijrah ke tabung elpiji 3 kg. Disparitas harga elpiji 12 kg dengan 3 kg adalah penyebab utamanya.

Lihat saja belum apa-apa kelangkaan tabung 3 kg mulai terjadi. Ini efek domino di luar kendali. Tentu iba melihat pengusaha kecil seperti penjual bakso, gorengan, warung kopi, atau rumah makan yang menjadi konsumen permanen gas elpiji 3 kg yang nota bene mendapat subsidi  pemerintah. Harga elpiji yang dijual berbeda di tiap tempat juga jadi persoalan tambahan yang bikin pusing kepala. Pertamina mengaku cuma bisa memonitor di level agen dan pangkalan.

Paling memilukan realitas yang disampaikan pengusaha Vincent Wijaya: ‘’Kalau harga elpiji sempat naik Rp47.508 per tabung yang diikuti harga-harga di pasar ikut naik, terus Pertamina mengoreksi menjadi Rp12.000 per tabung, lantas siapa yang bertanggungjawab mengoreksi harga-harga yang telanjur naik?’’ Sejujurnya efek ini yang tak pernah dipikirkan eksekutor kebijakan di negeri ini.

Wajar, rakyat di negeri ‘gemah ripah loh jinawi’ ini menderita terus. ‘Gendang’-nya cuma dua: negeri ini salah urus, atau jangan-jangan tak pernah diurus! (redaksi@hariansumutpos.com)

SUMUTPOS.CO – LONJAKAN harga gas elpiji 12 kilogram (kg) dari semula Rp70.200 per tabung menjadi Rp117.708 per tabung per 1 Januari 2014 menghentak publik. Kenaikan gas elpiji sebesar 68 persen ini bagai ‘hidangan pembuka (appetizer) berat di awal tahun.

Paling membingungkan justru nyaris semua penyelenggara negara ‘bingung’ atas lonjakan drastis tersebut. Presiden SBY selaku pimpinan negara merasa belum dikoordinasikan, setali tiga uang dengan Menko Ekuin Hatta Rajasa dan Menteri ESDM Jero Wacik yang mengaku tak diberitahu. Padahal Pertamina menyatakan kenaikan elpiji di awal tahun ini sudah disampaikan di depan rapat Komisi VII DPR.

Tak tahan dengan tekanan publik yang semakin kuat, terkesan mendadak, pada Selasa (7/1) pukul 00.00 WIB atau dini hari tadi, Pertamina memutuskan kenaikan harga elpiji menjadi Rp1.000 per kg atau Rp12.000 per tabung, dari harga kenaikan awal Rp3.959 per kg.

Apa pun alasan Pertamina, aksi ‘jilat-ludah’ ini jelas keputusan yang membingungkan. Siapa sebetulnya bertanggungjawab atas kenaikan ini? Kok bikin keputusan nggak kompak seperti ini? Kok mengurus negara (baca: rakyat) main-main begini?

Jauh-jauh hari Pertamina sudah menjelaskan kenapa harga gas elpiji 12 kg harus naik pada 2014. Dengan menaikkan harga rata-rata sebesar Rp3.959 per kg saja, Pertamina mengaku, masih ‘jual-rugi’ kepada konsumen elpiji non-subsidi kemasan 12 kg. Nilai rugi itu mencapai Rp2.100 per kg. Jika ditotal setahun Pertamina ‘mengaku’ masih rugi Rp5,7 triliun.

Alasan lain, harga pokok perolehan (HPP) elpiji rata-rata meningkat menjadi 873 dolar AS plus nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS. Kerugian ini timbul akibat harga jual elpiji non-subsidi 12 kg yang masih jauh di bawah HPP.

Pertamina beralasan, harga jual elpiji terakhir sebelum naik 68 persen adalah harga yang ditetapkan pada Oktober 2009, yaitu Rp5.850 per kg, sedangkan HPP kini menyentuh Rp10.785 per kg. Dengan kondisi ini disebutkan Pertamina selama ini ‘jual-rugi’, dan   menanggung selisihnya sehingga akumulasi nilai kerugian mencapai Rp22 triliun dalam enam tahun terakhir. Jujur saja, hitung-hitungan nilai keekonomian itu cuma Pertamina yang tahu detailnya.

Sebagai BUMN yang mengeksplorasi dan menjual sumber daya mineral di perut bumi Indonesia, rincian akuntansi perusahaan plat merah ini cuma diketahui oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Itu pun kalau tak ada pembukuan ganda (double accounting).

Jika dilihat lebih jauh, Indonesia merupakan negeri yang amat kaya sumber daya alam gas. Cadangan gas bumi kita mencapai 152,89 triliun standard cubic feet (TSCF). Dengan produksi gas per tahun sebesar 471.507 million standard cubic feet (MSFC) atau Juta Standar Kaki Kubik per hari, maka gas di perut bumi kita bisa cukup dikonsumsi lebih dari 40 tahun ke depan. Kemungkinan cadangan gas akan terus bertambah dengan ditemukannya cadangan gas yang lain.

Sejatinya, seluruh rakyat Indonesia bisa menikmati gas elpji dengan harga murah. Bukan hanya konsumen elpiji 3 kg subsidi saja, tapi konsumen non-subsidi seperti 12 kg, termasuk industri juga pantas mendapatkan harga murah. Bahkan, Singapura rela membeli gas dengan harga mahal dari Indonesia untuk kemudian dijual murah ke industrinya.

Lalu kenapa sebagai pemilik gas, rakyat Indonesia justru harus membayar mahal elpiji?

Salah satu jawaban kunci adalah salah kelola sumber daya alam gas. Bukan rahasia lagi bila sebagian besar gas Indonesia justru diekspor, demi memenuhi kebutuhan industri negara lain. Sebaliknya, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Pertamina justru melakukan impor.

Berdasarkan catatan Pertamina, 50 persen kebutuhan gas elpiji nasional masih diimpor dari negara lain. Terbesar dari Arab Saudi, khususnya dari perusahaan Saudi Aramco. Sehingga jika harga elpiji internasional naik, sesuai patokan contract price (CP) Aramco, maka harga elpiji dalam negeri juga naik.

Dampak kenaikan harga elpiji terhadap rakyat tentu tak sedikit. Kendati Pertamina mengklaim sasaran elpiji 12 kg adalah kalangan menengah ke atas, toh realitanya banyak yang tiba-tiba hijrah ke tabung elpiji 3 kg. Disparitas harga elpiji 12 kg dengan 3 kg adalah penyebab utamanya.

Lihat saja belum apa-apa kelangkaan tabung 3 kg mulai terjadi. Ini efek domino di luar kendali. Tentu iba melihat pengusaha kecil seperti penjual bakso, gorengan, warung kopi, atau rumah makan yang menjadi konsumen permanen gas elpiji 3 kg yang nota bene mendapat subsidi  pemerintah. Harga elpiji yang dijual berbeda di tiap tempat juga jadi persoalan tambahan yang bikin pusing kepala. Pertamina mengaku cuma bisa memonitor di level agen dan pangkalan.

Paling memilukan realitas yang disampaikan pengusaha Vincent Wijaya: ‘’Kalau harga elpiji sempat naik Rp47.508 per tabung yang diikuti harga-harga di pasar ikut naik, terus Pertamina mengoreksi menjadi Rp12.000 per tabung, lantas siapa yang bertanggungjawab mengoreksi harga-harga yang telanjur naik?’’ Sejujurnya efek ini yang tak pernah dipikirkan eksekutor kebijakan di negeri ini.

Wajar, rakyat di negeri ‘gemah ripah loh jinawi’ ini menderita terus. ‘Gendang’-nya cuma dua: negeri ini salah urus, atau jangan-jangan tak pernah diurus! (redaksi@hariansumutpos.com)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/