26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Devisa Hasil Ekspor Wajib di Perbankan Indonesia

Perkuat Perbankan dan Ekonomi Indonesia

MEDAN- Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan lalu lintas devisa terkait dengan penerimaan devisa hasil ekspor (DHE) dan devisa penarikan utang luar negeri (DULN).  Dengan kebijakan itu, eksportir diwajibkan menerima DHE melalui bank devisa di Indonesia. Begitu juga debitor utang luar negeri diwajibkan menarik DULN melalui bank devisa di Indonesia.

Kebijakan yang mulai berlaku 2 Januari 2012 itu diyakini dapat meningkatkan kesinambungan pasokan devisa ke pasar valas domestik, sehingga ketergantungan terhadap dana jangka pendek yang bersifat spekulatif (hot money) berkurang dan nilai tukar rupiah akan lebih stabil.
Peraturan itu sesuai dengan UU No 24/1999 mengenai Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar yang mewajibkan eksportir dan debitor untuk beberapa lama menyimpan DHE dan DULN di perbankan dalam negeri dan atau mengonversi ke mata uang rupiah. Selain itu, kebijakan itu ditujukan untuk meningkatkan kualitas statistik ekspor, impor, utang luar negeri, neraca pembayaran, dan monitoring devisa sehingga mendukung kebijakan moneter serta kebijakan perpajakan dan kepabeanan.

Peneliti Madya Senior Bank Indonesia Muqorobin mengatakan, kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) ini untuk mendapatkan data yang akurat dari ekspor, karena selama ini data untuk menanda kan bahwa itu ekspor murni atau rakitan tidak diketahui sama sekali. “Kan ada ekspor yang disini hanya rakit, tapi yang tercatat kan ekspor. Nah ini yang mau kita jalankan kebijakannya,” ujar Muqorobin, Senin (16/1) di Bank Indonesia Medan.
Selain itu, lanjutnya, dengan penyimpanan DHE ini untuk mengaktifkan pasar valuta asing di dalam negeri, memperkuat stabilitas nilai tukar dan ketahanan eksternal. Ini yang terpenting untuk memperkuat perbankan dan perekonomian Indonesia. “Kalau ekonomi nasional kuat, maka perbankan juga menjadi kuat dan sehat,” ujar Muqorobin.

Nantinya, pihak BI akan memantau jalannya kebijakan ini, dengan melihat data dari perbankan dan juga Bea Cukai. Maksimal 90 hari, eksportir sudah memasukkan dananya ke bank devisa di Indonesia. “Tidak masalah bila uang itu hanya di parkir, yang penting harus masuk dulu ke bank di Indonesia,” tambah Muqorobin.

Tapi, lanjut dia, bila eksportir tidak memasukkan uangnya ke bank di Indonesia, maka akan mendapat sangsi. Maknya diharapkan, dana yang masuk ke bank devisa di Indonesia tersebut 100 persen, kalau pun tidak mencukupi, harus ada keterangan. “Kalau berkurang sekitar 10 persen, masih ditoleransi. Tetapi kalau sudah di atas tersebut, wajib ada keterangan yang lebih lanjut,” ungkap nya.

Sekretaris Eksekutif GPEI Sumut Sofyan Subang mengatakan, untuk Sumut para eksportir yang jumahnya berkisar 500-an eksportir ini menyambut baik kebijakan ini. “Tujuannya lainnya untuk pendataan nilai ekspor, yang selama ini mendapat data dari Bea Cukai. Selain untuk kebaikan secara nasional dapat menstabilkan nilai rupiah di pasar dalam dan luar negeri. “Bagi eksportir ini tidak menjadi masalah, karena nantinya kita terima juga rupiah kan,” ujar Sofyan Subang kepada wartawan Sumut Pos.

Diakuinya, kebijakan ini bakal mempersulit perusahaan asing yang ada di Indonesia. Pasalnya, pada umumnya perusahaan asing menerima dana dari bank di luar negeri karena bunganya ringan, sekitar 4 hingga 5 persen. Sedangkan di Indonesia, bunga pinjaman berkisar 12 persen.  “Bukan masalah serius, hanya saja pasti ada dampaknya, karena perusahaan asing harus menyimpan dana ke dalam negeri. Sementara kreditnya ada di luar negeri,” tambah Sofian.

Dia bilang, perjalanan devisa ini, eksportir memberikan data bank penerima LC (Li of Credit), sedangkan bayer (pembeli) memberikan dana melalui banknya yang memberikan LC. Dari bank tersebut dikirim ke bank yang ada di Indonesia. (ram)

Perkuat Perbankan dan Ekonomi Indonesia

MEDAN- Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan lalu lintas devisa terkait dengan penerimaan devisa hasil ekspor (DHE) dan devisa penarikan utang luar negeri (DULN).  Dengan kebijakan itu, eksportir diwajibkan menerima DHE melalui bank devisa di Indonesia. Begitu juga debitor utang luar negeri diwajibkan menarik DULN melalui bank devisa di Indonesia.

Kebijakan yang mulai berlaku 2 Januari 2012 itu diyakini dapat meningkatkan kesinambungan pasokan devisa ke pasar valas domestik, sehingga ketergantungan terhadap dana jangka pendek yang bersifat spekulatif (hot money) berkurang dan nilai tukar rupiah akan lebih stabil.
Peraturan itu sesuai dengan UU No 24/1999 mengenai Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar yang mewajibkan eksportir dan debitor untuk beberapa lama menyimpan DHE dan DULN di perbankan dalam negeri dan atau mengonversi ke mata uang rupiah. Selain itu, kebijakan itu ditujukan untuk meningkatkan kualitas statistik ekspor, impor, utang luar negeri, neraca pembayaran, dan monitoring devisa sehingga mendukung kebijakan moneter serta kebijakan perpajakan dan kepabeanan.

Peneliti Madya Senior Bank Indonesia Muqorobin mengatakan, kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) ini untuk mendapatkan data yang akurat dari ekspor, karena selama ini data untuk menanda kan bahwa itu ekspor murni atau rakitan tidak diketahui sama sekali. “Kan ada ekspor yang disini hanya rakit, tapi yang tercatat kan ekspor. Nah ini yang mau kita jalankan kebijakannya,” ujar Muqorobin, Senin (16/1) di Bank Indonesia Medan.
Selain itu, lanjutnya, dengan penyimpanan DHE ini untuk mengaktifkan pasar valuta asing di dalam negeri, memperkuat stabilitas nilai tukar dan ketahanan eksternal. Ini yang terpenting untuk memperkuat perbankan dan perekonomian Indonesia. “Kalau ekonomi nasional kuat, maka perbankan juga menjadi kuat dan sehat,” ujar Muqorobin.

Nantinya, pihak BI akan memantau jalannya kebijakan ini, dengan melihat data dari perbankan dan juga Bea Cukai. Maksimal 90 hari, eksportir sudah memasukkan dananya ke bank devisa di Indonesia. “Tidak masalah bila uang itu hanya di parkir, yang penting harus masuk dulu ke bank di Indonesia,” tambah Muqorobin.

Tapi, lanjut dia, bila eksportir tidak memasukkan uangnya ke bank di Indonesia, maka akan mendapat sangsi. Maknya diharapkan, dana yang masuk ke bank devisa di Indonesia tersebut 100 persen, kalau pun tidak mencukupi, harus ada keterangan. “Kalau berkurang sekitar 10 persen, masih ditoleransi. Tetapi kalau sudah di atas tersebut, wajib ada keterangan yang lebih lanjut,” ungkap nya.

Sekretaris Eksekutif GPEI Sumut Sofyan Subang mengatakan, untuk Sumut para eksportir yang jumahnya berkisar 500-an eksportir ini menyambut baik kebijakan ini. “Tujuannya lainnya untuk pendataan nilai ekspor, yang selama ini mendapat data dari Bea Cukai. Selain untuk kebaikan secara nasional dapat menstabilkan nilai rupiah di pasar dalam dan luar negeri. “Bagi eksportir ini tidak menjadi masalah, karena nantinya kita terima juga rupiah kan,” ujar Sofyan Subang kepada wartawan Sumut Pos.

Diakuinya, kebijakan ini bakal mempersulit perusahaan asing yang ada di Indonesia. Pasalnya, pada umumnya perusahaan asing menerima dana dari bank di luar negeri karena bunganya ringan, sekitar 4 hingga 5 persen. Sedangkan di Indonesia, bunga pinjaman berkisar 12 persen.  “Bukan masalah serius, hanya saja pasti ada dampaknya, karena perusahaan asing harus menyimpan dana ke dalam negeri. Sementara kreditnya ada di luar negeri,” tambah Sofian.

Dia bilang, perjalanan devisa ini, eksportir memberikan data bank penerima LC (Li of Credit), sedangkan bayer (pembeli) memberikan dana melalui banknya yang memberikan LC. Dari bank tersebut dikirim ke bank yang ada di Indonesia. (ram)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/