BOGOR, SUMUTPOS.CO –Direktur Penelitian, Pengembangan, Pengaturan, dan Perizinan Perbankan Syariah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Deden Firman menyebutkan, tingkat inklusi keuangan di Indonesia mencapai 21 persen.
Sedangkan tingkat literasinya baru 59 persen. Besarnya potensi yang belum termanfaatkan itu mendorong investor dari negara-negara seperti Malaysia, Kuwait, Qatar, dan Bahrain getol menanyakan cara menjadi strategic investor perbankan syariah. Mereka menargetkan pasar ritel. “Mereka tanya-tanya syarat mendirikan bank (syariah, Red),” katanya.
Sejumlah negara juga belajar dari Indonesia tentang pengembangan industri keuangan syariah. Misalnya, Uganda, Kazakhstan, Tajikistan, Tanzania, dan Nigeria. Negara-negara itu memiliki pangsa pasar perbankan syariah yang cukup prospektif. Karena itu, mereka belajar cara mendirikan bank syariah. “Jepang dan Australia juga tertarik mendirikan bank syariah karena membutuhkan alternatif instrumen investasi,” jelas Deden.
Berdasar Ernst & Young World Islamic Banking Competitiveness Report 2016, pertumbuhan aset perbankan syariah Indonesia lebih tinggi bila dibandingkan dengan Malaysia, Turki, Qatar, Uni Emirat Arab (UEA), dan Arab Saudi.
Laju pertumbuhan majemuk tahunan (compound annual growth rate) perbankan syariah Indonesia mencapai 29 persen pada 2010–2014.
Di dalam negeri, perbankan syariah Indonesia terdorong perubahan BPD Aceh menjadi bank umum syariah (BUS). Hingga Agustus, aset perbankan syariah tumbuh 11,3 persen.
OJK pun merevisi target pertumbuhan aset bank syariah tahun ini dari hanya sepuluh menjadi 12 persen. “Kami mengimbau semua unit usaha syariah segera spin-off menjadi bank umum syariah. Sebab, pada awal 2024, seluruh bank syariah di Indonesia harus berstatus BUS,” terang Deden. (rin/c14/noe/jos/jpnn)