MEDAN, SUMUTPOS.CO -Ketua Komisi VII DPR RI, Gus Irawan Pasaribu menyatakan setuju, dengan skenario pemerintah menggunakan gross split dalam bagi hasil pada kontrak kerja sama migas yang selama ini menggunakan production sharing contract (PSC).
Hal itu diungkapkan Gus, Senin (19/12) di Medan, menyikapi keinginan pemerintah, seperti yang dilontarkan Menteri ESDM Ignasius Jonan. Gus menyatakan, selama ini negara banyak dirugikan dengan skenario PSC, dengan memasukkan cost recovery yang sangat mengurangi bagian negara, karena harus mengganti biaya yang cukup besar kepada kontraktor migas.
Ia mengatakan, setiap rapat di Komisi VII membahas cost recovery, umumnya menjadi sangat dinamis. “Karena kami di Komisi VII tidak pernah puas terkait penjelasan cost recovery. Sistem ini cenderung boros. Malah sistem ini tidak mendorong prinsip efisiensi terhadap kontraktor kontrak kerja sama (K3S). Sebab semua biaya produksi dibebankan ke negara,” jelas Gus.
Gus menyatakan, tidak setuju dengan cost recovery. Sebab, mestinya semua kegiatan pengelolaan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi di Indonesia, mengedepankan prinsip efisiensi. Sementara cost recovery yang digunakan dalam PSC terlihat jelas sangat boros. “K3S misalnya menyewat jet pribadi, atau main golf sampai ke Singapura, bisa dimasukkan ke dalam biaya cost recovery. Ini tidak efisien,” tegas Wakil Ketua Fraksi Gerindra di DPR-RI ini.
Lebih lanjut ia mengatakan, cost recovery adalah biaya yang dikeluarkan pemerintah melalui APBN kepada kontraktor, sebagai beban atas semua eksploitasi minyak di Indonesia. “Berapa pun biaya yang dikeluarkan kontraktor, akan dimasukkan ke cost recovery,” kata Gus.
Gus menceritakan, saat Komisi VII melakukan pengawasan ke Chevron yang ada di Minas, Riau, diketahui Chevron sedang mengembangkan teknologi enchance oil recovery sebagai teknologi untuk memaksimalkan sumur-sumur minyak tua. “Ini teknologinya masih dicoba-coba. Masih diuji. Trial and error. Tapi nanti semua biaya yang dikeluarkan dari riset dan uji coba dimasukkan dalam klaim cost recovery yang harus dibayar lewat APBN. Padahal belum tentu berhasil,” ungkapnya heran.
“Padahal itu baru sebatas penelitian dan percobaan. Bayangkan, jika nanti pemiliknya sudah menemukan formula yang optimal. Teknologi itu akan menjadi milik Chevron. Mereka berhak menggunakan teknologi tersebut pada semua ladang minyak mereka di dunia ini. Padahal untuk membiayai percobaannya lewat cost recovery yang dibayar lewat APBN,” imbuh Gus.
Menurut Gus, prinsip dasar PSC itu mestinya memperhitungkan jumlah produksi, lalu biaya yang dikeluarkan diganti. “Ini belum diterapkan dan masih uji coba, tapi sudah harus dibayar nantinya,” ungkapnya kesal.
PSC, jelasnya, memberikan peluang curang dalam cost recovery. Sayangnya, malah PSC seperti mengelabui. Sebab dalam PSC ditetapkan Indonesia menerima 85 persen hasil dan kontraktor hanya 15 persen. “Dengan sumur minyak semakin tua, cost recovery-nya akan semakin tinggi. Lalu dari yang 85 persen itu kemudian bagian Indonesia akhirnya tinggal 10 persen, 8 persen, atau malah 5 persen. Apa kita masih bangga dengan itu?” tanya Gus.
Gus menginginkan ada pengawasan maksimal dari SKK Migas soal cost recovery. “Namun tak semua bisa diawasi. Wacana yang disampaikan Kementerian ESDM soal gross split menjadi menarik, karena akan menghilangkan cost recovery,” jelasnya.
Gross split, lanjut Gus, disepakati di awal kontrak dan mendorong K3S lebih produktif dan efisien. “Semangatnya saya lihat lebih bagus. Kekhawatiran penggunaan gross split adalah minimnya tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Sebab bisa saja kontraktor mendatangkan semua dari luar negeri. Tapi kembali lagi ini kan perlu pengawasan pemerintah,” ujarnya.
“Apalagi gross split ini akan diterapkan dalam kontrak baru. Tapi kalau pemerintah dan kontraktor sepakat membuat adendum atau perubahan dalam kontrak, bisa saja segera dilakukan,” imbuh Gus.
Satu hal pasti, Gus mendukung penerapan gross split. “Saya juga mau sedikit menegaskan pilihan Indonesia untuk tidak masuk dalam keanggotan OPEC sudah pas. Sudah bertahun-tahun kita jadi net importir. Tidak pas kita ada di negara anggota OPEC sebagai eksportir,” ujarnya.
Alasannya, bila Indonesia masuk di OPEC, malah harus tunduk untuk menurunkan produksi minyak demi menjaga harga di pasar internasional. “Saya tidak setuju. Produksi kita sudah sedikit malah suruh diturunkan lagi,” pungkas Gus. (ila/saz)