29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Serapan Global Minim, Harga Batu Bara Rontok

BATU BARA:  Harga acuan batu bara terus turun, di tengah minimnya serapan pasar global di tengah pandemi Covid-19.
BATU BARA: Harga acuan batu bara terus turun, di tengah minimnya serapan pasar global di tengah pandemi Covid-19.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Masih dampak pandemi Covid-19 terhadap industri tambang minerba tanah air, komoditas batu bara yang sempat berjaya selama belasan tahun, ternyata paling terdampak. Minimnya serapan pasar global, menyebabkan produksi batu bara tak tersalurkan. Efeknya, harga batu bara rontok.

BERKURANGNYA konsumsi batu bara dari Indonesia, tak lepas dari kebijakan lockdown yang membatasi aktivitas ekonomi masing-masing negara. Tren penurunan terjadi sejak WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi pada pertengahan Maret lalu.

Faktor paling signifikan di balik penurunan itu adalah stok batu bara di India dan China yang terbilang tinggi. “Dua negara tadi sedang mengutamakan pasokan (batu bara) dalam negeri,” ujar Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu bara Irwandy Arif, Prof Dr Irwandi Arif, dalam webinar ‘Sektor Pertambangan Minerba di Era Pandemi Covid-19’ yang digelar PT Agincourt Resources, Kamis (16/7).

Di tengah pandemi, juga ada kecenderungan beberapa negara beralih ke sumber energi alternatif dalam negeri. “Sejumlah negara menjadikan krisis Covid-19 sebagai momentum beralih ke energi alternatif. Pasar Eropa tidak lagi menyerap batu bara. Mereka mulai beralih ke energi terbarukan,” kata Irwandy.

Jerman misalnya, komitmen untuk terus meninggalkan batu bara. Pemerintah Negeri Panser itu memberikan bonus bagi perusahaan utilitas yang beralih dari batu bara ke sumber energi lainnya. Tujuannya, untuk membuat pembangkit listrik Jerman bebas dari batu bara pada tahun 2033.

“Market batu bara Indonesia tinggal sejumlah negara di Asia, seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang. Namun itupun tercatat masih rendah,” kata Irwandy.

Melimpahnya pasokan serta murahnya harga gas alam, berpotensi membuat Korsel dan Jepang beralih menggunakan energi yang dinilai lebih ramah lingkungan tersebut.

Hingga Mei 2020, produksi batu bara tanah air hanya 230 juta ton. Dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 250,3 juta ton, capaian produksi ini turun 10 persen.

“Data Kemen ESDM, rencana produksi batu bara tahun 2020 sebesar 550 juta ton. Artinya, persentase produksi hingga Mei 2020 baru tercapai 42 persen (230 juta ton),” kata Irwandy.

Sementara pencapaian DMO (domestic market obligation atau kewajiban memasok kebutuhan barang dalam negeri) hingga Mei 2020 masih 55,34 juta ton atau hanya 35,7 persen dari rencana DMO 155 juta ton.

Bandingkan dengan realisasi produksi tahun 2019 lalu sebesar 616 juta ton, dengan DMO 138 juta ton. “Masuk bulan Juli, produksi terus menurun dan makin jauh dari target. Semua dampak dari Covid-19,” kata Irwandy.

Selain permintaan yang turun, kata dia, harga batu bara di pasar dunia juga ikut anjlok. Kementerian ESDM menetapkan harga batu bara acuan (HBA) periode Juli 2020 sebesar US$ 52,16 per ton (sekitar Rp776 ribu per ton). Maret lalu, harga acuan sempat di level US$ 67,08 per ton (sekitar Rp998 ribu per ton).

“Kualitas yang disetarakan pada kalori 6.322 kcal per kilogram GAR. Artinya, kalori di bawah itu harganya lebih rendah lagi. Bayangkan berapa kerugian yang dialami pengusaha,” kata Irwandy.

Untuk itu, kata Irwandy, pemerintah telah mengeluarkan Permen ESDM No. 7 Tahun 2020 yang memungkinkan perusahaan mengajukan revisi rencana produksi melalui perubahan RKAB 2020. Boleh memangkas produksi 15-20% dari target awal.

Dengan kondisi ini, terjadi penurunan pendapatan dari sektor PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak), yang berdampak pada pendapatan nasional.

“Tahun 2019 lalu, PNBP tercatat Rp 45 triliun dari sektor tambang. Kalau Desember 2020 Covid masih lanjut, diperkirakan akan turun 20 persen dari Rp 45 triliun. Mungkin sekitar Rp 30 triliun,” ungkapnya. Adapun PDB sektor pertambangan tahun 2019 mencapai 10,9 triliun.

Sebanyak 73 persen dari keseluruhan PNBP minerba tanah air ternyata berasal dari tambang batu bara. “Bayangkan saja jika produksi dan harga batu bara anjlok, berapa kontribusi pendapatan negara dari PNBP yang hilang,” ujar Irwandy.

Untuk itu, Irwandy berharap pandemi Covid-19 segera berakhir, agar pasar tidak semakin tertekan. “Kita berdoa semoga pandemi Covid-19 segera berakhir. Jika terus berlanjut, tidak bisa tidak, langkah efisiensi mesti ditempuh,” kata Irwandy mengakhiri. (mea/habis)

BATU BARA:  Harga acuan batu bara terus turun, di tengah minimnya serapan pasar global di tengah pandemi Covid-19.
BATU BARA: Harga acuan batu bara terus turun, di tengah minimnya serapan pasar global di tengah pandemi Covid-19.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Masih dampak pandemi Covid-19 terhadap industri tambang minerba tanah air, komoditas batu bara yang sempat berjaya selama belasan tahun, ternyata paling terdampak. Minimnya serapan pasar global, menyebabkan produksi batu bara tak tersalurkan. Efeknya, harga batu bara rontok.

BERKURANGNYA konsumsi batu bara dari Indonesia, tak lepas dari kebijakan lockdown yang membatasi aktivitas ekonomi masing-masing negara. Tren penurunan terjadi sejak WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi pada pertengahan Maret lalu.

Faktor paling signifikan di balik penurunan itu adalah stok batu bara di India dan China yang terbilang tinggi. “Dua negara tadi sedang mengutamakan pasokan (batu bara) dalam negeri,” ujar Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu bara Irwandy Arif, Prof Dr Irwandi Arif, dalam webinar ‘Sektor Pertambangan Minerba di Era Pandemi Covid-19’ yang digelar PT Agincourt Resources, Kamis (16/7).

Di tengah pandemi, juga ada kecenderungan beberapa negara beralih ke sumber energi alternatif dalam negeri. “Sejumlah negara menjadikan krisis Covid-19 sebagai momentum beralih ke energi alternatif. Pasar Eropa tidak lagi menyerap batu bara. Mereka mulai beralih ke energi terbarukan,” kata Irwandy.

Jerman misalnya, komitmen untuk terus meninggalkan batu bara. Pemerintah Negeri Panser itu memberikan bonus bagi perusahaan utilitas yang beralih dari batu bara ke sumber energi lainnya. Tujuannya, untuk membuat pembangkit listrik Jerman bebas dari batu bara pada tahun 2033.

“Market batu bara Indonesia tinggal sejumlah negara di Asia, seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Jepang. Namun itupun tercatat masih rendah,” kata Irwandy.

Melimpahnya pasokan serta murahnya harga gas alam, berpotensi membuat Korsel dan Jepang beralih menggunakan energi yang dinilai lebih ramah lingkungan tersebut.

Hingga Mei 2020, produksi batu bara tanah air hanya 230 juta ton. Dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 250,3 juta ton, capaian produksi ini turun 10 persen.

“Data Kemen ESDM, rencana produksi batu bara tahun 2020 sebesar 550 juta ton. Artinya, persentase produksi hingga Mei 2020 baru tercapai 42 persen (230 juta ton),” kata Irwandy.

Sementara pencapaian DMO (domestic market obligation atau kewajiban memasok kebutuhan barang dalam negeri) hingga Mei 2020 masih 55,34 juta ton atau hanya 35,7 persen dari rencana DMO 155 juta ton.

Bandingkan dengan realisasi produksi tahun 2019 lalu sebesar 616 juta ton, dengan DMO 138 juta ton. “Masuk bulan Juli, produksi terus menurun dan makin jauh dari target. Semua dampak dari Covid-19,” kata Irwandy.

Selain permintaan yang turun, kata dia, harga batu bara di pasar dunia juga ikut anjlok. Kementerian ESDM menetapkan harga batu bara acuan (HBA) periode Juli 2020 sebesar US$ 52,16 per ton (sekitar Rp776 ribu per ton). Maret lalu, harga acuan sempat di level US$ 67,08 per ton (sekitar Rp998 ribu per ton).

“Kualitas yang disetarakan pada kalori 6.322 kcal per kilogram GAR. Artinya, kalori di bawah itu harganya lebih rendah lagi. Bayangkan berapa kerugian yang dialami pengusaha,” kata Irwandy.

Untuk itu, kata Irwandy, pemerintah telah mengeluarkan Permen ESDM No. 7 Tahun 2020 yang memungkinkan perusahaan mengajukan revisi rencana produksi melalui perubahan RKAB 2020. Boleh memangkas produksi 15-20% dari target awal.

Dengan kondisi ini, terjadi penurunan pendapatan dari sektor PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak), yang berdampak pada pendapatan nasional.

“Tahun 2019 lalu, PNBP tercatat Rp 45 triliun dari sektor tambang. Kalau Desember 2020 Covid masih lanjut, diperkirakan akan turun 20 persen dari Rp 45 triliun. Mungkin sekitar Rp 30 triliun,” ungkapnya. Adapun PDB sektor pertambangan tahun 2019 mencapai 10,9 triliun.

Sebanyak 73 persen dari keseluruhan PNBP minerba tanah air ternyata berasal dari tambang batu bara. “Bayangkan saja jika produksi dan harga batu bara anjlok, berapa kontribusi pendapatan negara dari PNBP yang hilang,” ujar Irwandy.

Untuk itu, Irwandy berharap pandemi Covid-19 segera berakhir, agar pasar tidak semakin tertekan. “Kita berdoa semoga pandemi Covid-19 segera berakhir. Jika terus berlanjut, tidak bisa tidak, langkah efisiensi mesti ditempuh,” kata Irwandy mengakhiri. (mea/habis)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/