JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tidak berhenti berproduksi di tengah persebaran virus SARS-CoV-2. Sebaliknya, pabrik-pabrik tekstil makin sibuk. Permintaan alat pelindung diri (APD) yang berupa masker dan baju hazmat terus meningkat. Setelah bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri, kini industri TPT akan mengekspor APD.
MASIH sekitar pukul 09.00 WIB waktu kami tiba di pabrik tekstil kawasan Tangerang, Banten, itu Kamis lalu (18/6). Suara mesin dan langkah kaki para pekerja yang lalu-lalang mewarnai pagi di area PT Pan Brothers tersebut. Ada ratusan buruh di sana. Dan, semua kompak menutup mulut dan hidung dengan masker. Dengan terampil, para pekerja memotong, menjahit, dan merapikan kain-kain di hadapan mereka untuk menjadi baju hazmat.
“Tidak semua line produksi aktif. Pan Brothers membagi sif pekerja sesuai rekomendasi pemerintah,” ujar Corporate Secretary PT Pan Brothers Tbk Iswardeni yang menemani Jawa Pos berkeliling pabrik hari itu.
Line produksi masker dan baju hazmat merupakan yang tetap aktif. Iswar menjelaskan, perusahaannya memang mengalihkan sebagian produksi untuk khusus memproduksi APD. Pan Brothers membentuk divisi produksi APD (masker dan baju hazmat), di luar divisi garmen biasa, April lalu. Itu menjadi bentuk reaksi cepat mereka terhadap pandemi Covid-19.
Vice Chief Executive Officer Pan Brothers Anne Patricia Sutanto melaporkan, kini perusahaannya mampu memproduksi 3 juta sampai 5 juta baju hazmat dan 30 juta masker per bulan. Itu merupakan hasil produksi 25 pabrik milik Pan Brothers. Dalam hitungan bulan, menurut Anne, produksi akan naik menjadi 100 juta masker washable dan 1 juta baju hazmat washable. Juga, 10 juta baju hazmat disposable.
Sebelum pemerintah melarang ekspor APD, Anne mengatakan, pasar global memang menjadi konsumen utama produknya. Sebab, APD dari Indonesia sangat diminati. Kini, setelah beberapa bulan fokus mencukupi kebutuhan APD dalam negeri, dia mengapresiasi kebijakan pemerintah untuk mencabut larangan ekspor.
“Request masker dan APD datang dari benua Amerika, Eropa, dan Afrika. Ada juga dari Timur Tengah,” ujarnya.
Anne yang juga wakil ketua umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengatakan, pelaku industri tekstil akan tetap menempatkan kebutuhan dalam negeri sebagai prioritas. Hanya 30–40 persen produk yang akan dilempar ke pasar ekspor. “Ini jaga-jaga untuk mengantisipasi kenaikan kasus di Indonesia,” bebernya.
Dalam kesempatan sebelumnya, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan sudah menerima laporan tentang masuknya sejumlah permintaan ekspor APD. Namun, Kementerian Perdagangan (Kemendag) belum bisa memerinci potensi volume permintaan dan nilai ekspornya. “Negara-negara yang minta kerja sama ekspor itu Korea dan Jepang. Itu yang sudah ada perjanjiannya,” ungkapnya.
Meski belum ada perjanjian kerja sama, Agus menegaskan bahwa negara-negara lain yang berminat tetap bisa memesan APD dari Indonesia. Menurut dia, selain berpotensi menambah devisa bagi negara, ekspor APD bisa menjaga relasi kemanusiaan dengan negara-negara lain.
Sejalan dengan rencana ekspor APD tersebut, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan bahwa penerbitan izin paling tinggi untuk sektor kesehatan. Salah satunya terkait dengan produksi APD dan berbagai alat kesehatan untuk penanganan pandemi.
“Sebelum adanya pandemi, rata-rata menerbitkan 3.500–4.000 izin usaha per hari. Saat itu sektor perdagangan yang paling tinggi,” ujar Kepala BKPM Bahlil Lahadalia beberapa waktu lalu. (bbs/azw)