28 C
Medan
Thursday, June 27, 2024

Lalat Buah Jadi Penghambat Ekspor Jeruk

MEDAN- Hingga saat ini jeruk asal Berastagi Sumatera Utara belum bisa menembus pasar ekspor. Hal ini disebabkan kualitas juruk yang belum maksimal. Penyebabnya dikarenakan serangan hama lalat buah dan tidak seragamnya produksi jeruk setiap musim panen.

Pelaksana Tugas BBI Kutagadung Berastagi Jonni Akim Purba mengatakan, komoditas jeruk asal Tanah Karo yang merupakan daerah sentra pertanian hortikultura memang belum mendapat minat dari pasar luar. Padahal petani lokal mampu memproduksi jeruk berkualitas tinggi sesuai yang diinginkan, asal harga jual menguntungkan petani.

“Selama ini jeruk kita masih dijual ke pasar domestik seperti ke Medan, Pekan Baru, Batam dan Jakarta. Kalau dari luar negeri permintaan ada saja, tapi produksi kita belum sesuai dengan yang diinginkan pasar,” ujarnya kepada wartawan di Medan, Senin (23/4).

Dikatakannya, kualitas produksi jeruk lokal belum sesuai yang diinginkan pasar ekspor seperti besar dan warna buah yang tidak seragam atau jauh berbeda dengan produksi jeruk dari luar negeri.

Ditambahnya lagi, tanaman jeruk lokal masih mengenal musiman sehingga membuat produksi tidak dapat berkesinambungan.
“Buah dan warna nya tidak seragam. Ini membuat kita tidak sanggup menjual buah yang sesuai baik jumlah dan jumlah produksi ke pasar luar,” ucapnya.
Kendala lainnya, tambah Akim, serangan hama lalat buah membuat jeruk tidak bagus dalam penampilan dan produksinya yang menurun. Dimana serangan hama ini merupakan momok menakutkan untuk petani lokal, karena pengendalian serangan tersebut membutuhkan biaya tinggi dan perhatian ekstra dari awal tanam hingga pasca panen.

Menembus pasar luar atau menghasilkan buah sesuai yang diinginkan pasar luar ini, kata Akim tidak terlalu sulit untuk petani, asalkan harga jual tinggi dan pemasaran yang jelas.

Karena, petani untuk mendapatkan produksi berkualitas harus menambah modal 1,5 kali lipat dari biasanya yang mencapai Rp 70 juta per hektar. “Biaya tambahan itu untuk pengendalian hama, bibit dan perawatan lainnya sehingga buah yang dihasilkan seragam dan sesuai yang diinginkan pasar,” jelasnya.
Selain pengendalian serangan hama lalat buah ini, ia juga menyatakan, tanaman jeruk yang sudah tua atau tidak berproduktif dengan usia rata-rata 20 hingga 25 tahun harus segera diremajakan. Karena sekitar 25 persen dari total luas areal tanaman jeruk di Tanah Karo sekitar 2.000-an hektarnya tidak produktis lagi sehingga produksi buah tidak maksimal.

Untuk itu, pihaknya melakukan kerjasama dengan para penangkar benih jeruk yang sudah dilakukan sejak satu tahun belakangan.  Petani jeruk di Berastagi, Sadrah menyatakan, produksi jeruknya masih menembus pasar domestik dengan harga jual mengikuti mekanisme pasar. “Harga saat ini Rp7.000/kg, ini memang tinggi dan hanya bisa dijual ke Sumatera hingga Jawa. Kalau ke luar negeri belum ada yang pesan dan kita tidak sanggup memenuhi keinginan pasar tersebut,” akunya.(ram)

MEDAN- Hingga saat ini jeruk asal Berastagi Sumatera Utara belum bisa menembus pasar ekspor. Hal ini disebabkan kualitas juruk yang belum maksimal. Penyebabnya dikarenakan serangan hama lalat buah dan tidak seragamnya produksi jeruk setiap musim panen.

Pelaksana Tugas BBI Kutagadung Berastagi Jonni Akim Purba mengatakan, komoditas jeruk asal Tanah Karo yang merupakan daerah sentra pertanian hortikultura memang belum mendapat minat dari pasar luar. Padahal petani lokal mampu memproduksi jeruk berkualitas tinggi sesuai yang diinginkan, asal harga jual menguntungkan petani.

“Selama ini jeruk kita masih dijual ke pasar domestik seperti ke Medan, Pekan Baru, Batam dan Jakarta. Kalau dari luar negeri permintaan ada saja, tapi produksi kita belum sesuai dengan yang diinginkan pasar,” ujarnya kepada wartawan di Medan, Senin (23/4).

Dikatakannya, kualitas produksi jeruk lokal belum sesuai yang diinginkan pasar ekspor seperti besar dan warna buah yang tidak seragam atau jauh berbeda dengan produksi jeruk dari luar negeri.

Ditambahnya lagi, tanaman jeruk lokal masih mengenal musiman sehingga membuat produksi tidak dapat berkesinambungan.
“Buah dan warna nya tidak seragam. Ini membuat kita tidak sanggup menjual buah yang sesuai baik jumlah dan jumlah produksi ke pasar luar,” ucapnya.
Kendala lainnya, tambah Akim, serangan hama lalat buah membuat jeruk tidak bagus dalam penampilan dan produksinya yang menurun. Dimana serangan hama ini merupakan momok menakutkan untuk petani lokal, karena pengendalian serangan tersebut membutuhkan biaya tinggi dan perhatian ekstra dari awal tanam hingga pasca panen.

Menembus pasar luar atau menghasilkan buah sesuai yang diinginkan pasar luar ini, kata Akim tidak terlalu sulit untuk petani, asalkan harga jual tinggi dan pemasaran yang jelas.

Karena, petani untuk mendapatkan produksi berkualitas harus menambah modal 1,5 kali lipat dari biasanya yang mencapai Rp 70 juta per hektar. “Biaya tambahan itu untuk pengendalian hama, bibit dan perawatan lainnya sehingga buah yang dihasilkan seragam dan sesuai yang diinginkan pasar,” jelasnya.
Selain pengendalian serangan hama lalat buah ini, ia juga menyatakan, tanaman jeruk yang sudah tua atau tidak berproduktif dengan usia rata-rata 20 hingga 25 tahun harus segera diremajakan. Karena sekitar 25 persen dari total luas areal tanaman jeruk di Tanah Karo sekitar 2.000-an hektarnya tidak produktis lagi sehingga produksi buah tidak maksimal.

Untuk itu, pihaknya melakukan kerjasama dengan para penangkar benih jeruk yang sudah dilakukan sejak satu tahun belakangan.  Petani jeruk di Berastagi, Sadrah menyatakan, produksi jeruknya masih menembus pasar domestik dengan harga jual mengikuti mekanisme pasar. “Harga saat ini Rp7.000/kg, ini memang tinggi dan hanya bisa dijual ke Sumatera hingga Jawa. Kalau ke luar negeri belum ada yang pesan dan kita tidak sanggup memenuhi keinginan pasar tersebut,” akunya.(ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/