JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Kebijakan Presiden Jokowi melarang ekspor CPO dan minyak goreng menuai pro dan kontra. Meski tujuannya menjaga kestabilan minyak goreng dalam negeri, namun larangan itu berdampak negatif pada petani sawit.
“Hari ini harga Tanda Buah Segar (TBS) milik petani sawit sudah anjlok Rp1.000, akibat kebijakan larangan ekspor,” kata Anggota Komisi VI DPR, Rudi Hartono Bangun kepada Wartawan di Jakarta, Senin (25/4/2022).
Pasalnya, kata Rudi, pabrik CPO tak mau menerima TBS dari petani terlalu banyak. Karena kapasitas tanki penyimpanan pabrik (storage) terbatas, sebab pabrik juga memiliki simpanan TBS dari kebun. Sementara petani sawit tak memiliki tanki penyimpanan. “Jadi posisi petani sawit ini serba salah, dijual harganya turun, tidak dijual jadi busuk,” ujarnya.
Politisi Nasdem ini menjelaskan daerah pemilihannya merupakan mayoritas petani yang menggantungkan hidupnya dari kebun sawit. “Para petani sawit kecil ini rata-rata memiliki kebun 2 hektare hingga 10 hektare, sementara petani kelas menengah memiliki 500 hektare hingga 1.000 hektare. Selebihnya dikuasai perusahaan besar yang memiliki pabrik pengolahan,” ungkapnya.
Legislator dari Dapil Sumut III ini mengaku mendapatkan aduan dari para petani sawit terkait nasibnya ke depan. Karena kebijakan larangan ekspor ini berimbas pada kehidupan keluarganya. “Ada jutaan petani sawit yang hidup hanya dari perkebunan kelapa sawit,” paparnya.
Belum lama ini, ungkap Rudi, petani sawit di daerahnya mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Jokowi. Karen mulai tanggal 26 April 2022, PMKS yang berada di daerah kami, tidak lagi menerima/membeli buah sawit hasil panen dari kebun kami, sampai batas waktu yang belum ditentukan. “Saya mendapat info dari masyarakat, perusahaan swasta PT.RMM yang selama ini menampung sawit petani, tidak lagi membeli,” paparnya.
Makanya, Rudi mendesak pemerintah, ketimbang melarang ekspor CPO lebih baik menghukum dan menjatuhkan sanksi keras kepada perusahaan-perusahaan CPO nakal. “Saya mendukung penangkapan yang dilakukan Kejaksaan Agung. Bahkan kalau perlu mengganti semua jajaran Kemendag, termasuk Menterinya. ibaratnya, kita mau menangkap 3 ekor tikus, tapi satu lumbung padi malah kita bakar,” terangnya.
Oleh karena itu, sambung Rudi, sebaiknya pemerintah perlu mempertegas dan memperketat implementasi kebijakan DMO dan DPO. Jadi tidak perlu melarang ekspor, karena petani kecil yang menerima dampaknya. “Perusahaan CPO besar harus kontrol ketat, begitupun dengan pejabat Kemendag harus diawasi ketat,” pungkasnya. (adz)